Rabu, 13 Juni 2012

Pengelolaan Hutan: Masyarakat Pemilik Hutan Tak Terlindungi

Jakarta, Kompas --- Kepemilikan dan hak masyarakat adat pemilik areal hutan dan lahan minim perlindungan pemerintah. Swasta masih bisa membeli lahan/hutan adat dengan harga yang sangat murah.
    Setidaknya itulah hasil investigasi bersama oleh lembaga swadaya masyarakat Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) belum lama ini. Masaih ada tanah di Sorong, Papua Barat yang dibeli sekitar Rp 6.000 per hektar atau 0,65 dolar AS, lebih murah daripada harga gula-gula di negara maju.
   "Kami punya buktinya dari masyarakat sendiri bagaimana perusahaan membayar rendah dan memarjinalisasikan masyarakat adat Moi (masyarakat asli di Sorong) untuk lahan dan kayu," ucap Abu Meridian, Juru Kampanye Telapak, Minggu (10/6), di Jakarta. beberapa tahun yang lalu, investaigasi telapak juga menemukan praktik serupa di Papua.
   Bukti itu berupa salinan "Kontrak" atau kesepakatan [erusahaan dengan kepala marga masyarakat adat Moi. Di dalamnya terdapat rincian pembayaran 923 dolar AS untuk 1.420 hektar lahan hutan, atau Rp 6.000 per hektar. Sementara perkebunan sawit itu ditaksir 162 juta dolar AS jika dikembangkan atau ribuan kali lipat dari harga dari masyarakat.
   Tak hanya mengeksploitasi lahan, Telapak dan EIA pun menunjukkan secara rinci pembayaran 25 dolar AS per meter kubik kayu kepada pemilik lahan untuk kayu yang didapat dalam proses pembukaan hutan mereka, termasuk untuk kayu merbau yang bernilai tinggi. Merbau itu diekspor seharga 875 dolar AS per meter kubik.
   "Masyarakat biasanya dijanjikan mendapat manfaat dari perkebunan. Faktanya, tak pernah terjadi,: ucapnya,
   Jago Wadley, pengampanye Hutan EIA, menyesalkan praktik merugikan negara dan masyarakat itu tak tersentuh hukum. "Warga Papua itu sebagian dari warga termiskin di Indonesia. Justru dieksploitasi melalui perjanjian perkebunan sawit yang memberi keuntungan besar kepada investor internasional dengan mengorbankan masyarakat dan hutan Papua," ucapnya.
   Ia pun menyebut, sebagian perusahaan itu dimiliki negara yang selama ini getol membantu Indonesia meperbaiki pengelolaan hutan. Saham perusahaan itu dimiliki melalui Norwegian Government Pension Fund Global.
   Norwegia dikenal dalam dunia internasional sebagai pemimpin dalam perubahan iklim. " Norwegia (donor REDD+ terbesar untuk Indonesia yang mencapai 1 milyar dolar AS) juga akan mendapat keuntunganndari eksploitasi destruktif yang terjadi. Ini sangat ironis mengingat Norwegia sebenarnya bisa memberi dana kepada warga Papua untuk menjaga hutan mereka, bukan mengambil keuntungan dari deforestasi di Papua Barat," kata Abu Meridian. (ICH)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2012, hal 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar