Jumat, 01 Juni 2012

Hari Antitambang: Antara Subsidi BBM dan Kemuliaan Tambang

Sekitar pukul 19:30 WIB, Selasa, 29 Mei 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Penghematan Negara.
   Intinya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2010, subsidi BBM menelan Rp 140 triliun. Akibatnya, APBN tak cukup untuk membiayai pembangunan.
   Presiden melanjutkan, dua langkah harus ditempuh. Pertama: harus mengurangi subsidi BBM, antara lain dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Kedua, meningkatkan pendapatan APBN dengan dua cara, yaitu meningkatkan pendapatan dari pajak dan pendapatan dari sektor non pajak.
   Presiden juga meminta semua badan usaha milik negara, perusahaan nasional, dan multinasional membayar pajak.
   Apa itu non pajak?
   Yang dimaksud, meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan, minyak, dan gas bumi. Tak terbantahkan, Indonesia merupakan gudang alam, mulai dari minyak, gas bumi, hingga berbagai mineral dan logam mulia, bahkan juga tanah yang belum dieksploitasi.
   Semua upaya itu, menurut Susilo Bambang Yudoyono, bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan sosial, berbagi beban, dan membantu rakyat miskin. Benarkah?
   Lalu, kemana fakta-fakta ini? Berbagai peristiwa penangkapan masyarakat antitambang oleh polisi tanpa alasan jelas; kolong-kolong galian timah di Bangka yang tak direhabilitasi jadi pemandangan "menakjubkan" dari udara; kerusakan lingkungan amsif dengan lubang hingga kedalaman 300 meter di berbagai lokasi di Kalimantan; hilangnya semua lapisan tanah berhumus yang subur (400.000 hektar di Pulau Bangka Belitung); hilangnya sumber air yang memusnahkan pertanian di Mollo, NTT; dan seterusnya.
   Intinya, masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, penyakit berjangkit mulai dari malaria hingga infeksi saluran pernafasan akut akibat debu-debu mineral. Masyarakat lokal jatuh miskin, penyakitan, dan tak memiliki masa depan karena nyaris mustahil merehabilitasi lingkungan bekas tambang. Presiden telah "memuliakan" pertambangan rupanya.
   "Jelas bahwa dampak kerusakan akibat tambang ditanggung publik," ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan. Dimanakah janji menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca dibandingkan tanpa upaya apapun (business as usual), dimanakah pula konsep pembangunan berkelanjutan yang bakal dibahas pada konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, Rio+20? Silahkan presiden menjawabnya.

Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar