Senin, 25 Juni 2012

Pencemaran: Berlanjut, Ikan Mati di Kali Surabaya

Surabaya, Kompas --- Pencemaran dari limbah pabrik masih terus berlangsung sehingga kematian ikan pun tetap sulit terhindarkan. Padahal, kasus pencemaran sudah dilaporkan kepada Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
   Direktur Eksukutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Prigi Arisandi, di Surabaya, Selasa (29/5), menagatakan, ikan mati di Kali Surabaya sudah berlangsung sejak Sabtu (26/5). Ikan itu dijual warga di pinggir jalan sehingga polisi terpaksa menghalau mereka karena memacetkan lalu lintas di Jalan Jagir.
   Hadi (45), warga setempat mengatakan, sejak pagi warga di sekitar Jagir ramai-ramai menjaring ikan yang sudah mengambang di sungai. Ikan jenis bader, mujair, tombro, dan rengkik itu dijual seharga Rp 2.000 - Rp 40.000 per ekor.
   Kematian ikan juga terjadi di Wringinanom - Driyorejo, Gresik. Itu dipicu pabrik tepung yang membuang limbah saat hujan deras. Gubernur Jatim berjanji segera menuntaskan dan mengadukan pemilik pabrik yang diduga mencemari Kali Suranaya ke ranah hukum.
   "Harus ada perusahaan yang bertanggunga jawab atas terjadinya pencemaran," katanya sembari mendesak segara dilakukan rehabilitasi sungai.
   Oleh sebab itu, kata Gubernur, Ecoton harus punya standar penanganan limbah Kali Surabaya, sekaligus peringatan jika ada pencemaran air sungai. Apalagi di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas ada sekitar 65 perusahaan industri dan 33 pabrik.
   Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Jatim, Indra Wiragana, mengatakan, pihaknya mengirim tim yang terdiri atas LSM Konsorsium lingkungan hidup untuk menelusuri Kali Surabaya. Tim sudah menemukan 2-3 perusahaan untuk diambil air limbahnya dan dijadikan contoh untuk diteliti di laboratorium. Hasil penelitian dari sampel limbah 2-3 industri akan diketahui tujuh hari ke depan.
   Sampel air diambil dari Kali Kewangean yang berhubungan ke Kali Wringinanom-Driyoredjo yang asal pencemarannya dari limbah perusahaan tepung. Terkait Ecoton, Indra mengaku, sedang menyiapkan strategi, "Menentukan tersangka harus punya bukti yang jelas, jadi tidak mudah menyebut nama perusahaan yang mencemari air Kali Surabaya," katanya. (ETA)

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 22

Kecoa Penting bagi Kelestarian Lingkungan

Bagi sebagian orang, kecoa adalah serangga yang mengerikan, menjijikkan, dan menimbulkan alergi. Saat menjumpainya, banyak orang langsung membunuh binatang itu. Ternyata, kecoa memiliki peran penting bagi lingkungan. Ahli kecoa yang juga Ketua Departemen Biologi, Universitas Texas, di Tyler Amerika Serikat, Srini Khambampati kepada Life's Little Mysteries, Rabu (20/6), mengatakan, hilangnya 5.000 - 10.000 kecoa akan berdampak besar pada lingkungan kita. Seranggga, termasuk kecoa, merupakan sumber makanan penting bagi burung dan mamalia, seperti tikus. Binatang-binatang itu memang tidak hanya memakan kecoa, sehingga kemungkinan punah saat kecoa hilang juga kecil. Yang pasti, jumlah mamalia dan burung pemakan serangga akan turun. Berkurangnya jumlah tikus akan nempengaruhi berbagai spesies pemangsanya, seperti kucing, anjing hutan, serigala, berbagai reptil, elang dan burung pemakan tikus lain. "Jika kecoa punah,  binatang yang ikut punah adalah tawon yang merupakan parasit telur kecoa," kata khambampati. Hal penting yang akan terganggu dengan hilangnya kecoa adalah siklus nitrogen, yaitu rangkaian proses konversi senyawa yang mengandung nitrogen menjadi senyawa lain. "Kecoa umumnya memakan bahan organik yang membusuk. Materi ini banyak mengandung nitrogen, Saat kecoa mengeluarkan feses, kotoran yang banyak mengandung nitrogen akan masuk dalam tanah dan digunakan oleh tanaman," katanya. Artinya, di hutan, kecoa memiliki peran besar dalam menjaga kelestarian dan secara tidak langsung juga menjadi penentu kelestarian aneka spesies di dalam hutan. (LIFESLITTLEMYSTERIES/MZW)

Sumber: Kompas, 25 Juni 2012, hal 14

Minggu, 24 Juni 2012

64,6 Persen Hutan Mangrove Hilang

Banyuwangi, Kompas --- Sejak tahun 1999 hingga 2005 Indonesia telah kehilangan 5,58 juta hektar luas hutan mangrove. Jumlah ini mencapai 64,6 persen dari luas mangrove yang pernah terdata tahun 1999 yakni 8,6 juta hektar. Hilangnya hutan bakau ini telah berdampak pada berkurangnya biota laut seperti kepiting, ikan, dan kerang serta timbulnya abrasi.

Hal ini terungkap dalam diskusi dan workshop Pengembangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang diselenggarakan di Banyuwangi, Selasa (29/5). Diskusi diselenggarakan Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Peneliti lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Sri Nurul Rofiqo, memaparkan hgilangnya hutannya mangsrove disebabkan pembukaan lahan pesisir. Akibatnya, muncul persoalan, seperti berkurangnya jumlah ikan dan biota laut lainnya hingga abrasi.

Masyarakat pesisir mengaku sudah merasakan dampakdari kerusakan mangrove. Muzayin dari masyarakat Desa Wringin Putih Muncar mengatakan, setelah mangrove berkurang drastis di wilayahnya, tangkapan ikan, kepitingm, dan kerangpun turut berkurang. "Kondisi ini membuat kamiu sadar, dan tergerak untuk mengembalikan hutan mangrove lagi. Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, kami bekerja swadaya menanam mangrove di pinggir pantai," ujar Muzayin.

Gerakan warga
Gerakan swadaya mengembalikan mangrove, menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Kementerian Kehutanan, Murdoko, sudah banyak dilakukan masyarakat. Di Banyuwangi misalnya, di kawasan pantai selatan Jawa mempertahankan Bedul sebagai daerah konservasi mangrove. Hutan mangrove dijaga karena menjadi aset wisata mereka.

Di Medan, kelompok tani pun memilih mempertahankan hutan mangrove dan memperluasnya karena memberi dampak positif dalam usaha perikanan mereka. "Dengan adanya hutan mangrove ikan-ikan jadi lebih melimpah," kata Murdoko.

Gerakan rakyat itu, tambah Murdoko, lebih efektif dibandingkan dengan proyek pengembangan mangrove yang dilakukan pemerintah. Namun gerakan masyarakat masih terkotak-kotak dan belum menyeluruh. Beberapa gerakan hanya untuk pariwisata, belum menjangkau pendidikan atau sebaliknya.

JICA pun ikut ambil bagian membantu gerakan pengemblaian ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Menurut Takahisa Kusano, Ketua Penasihat Gerakan Konservasi Mangrove JICA di wilayah ASEAN, kelompok masyarakat dari berbagai daerah dikumpulkan. Mereka akan bertukar informasi mengenai keberhasilan dan kesulitan dalam mengelola ekowisata mangrove. Dengan cara demikian, pengembalian hutan mangrove lebih cepat terealisasi. (NIT)

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 21

Kebijakan: Politik Energi Kita

Bagi sebuah bangsa, energi adalah persoalan yang amat serius. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kemampuan bangsa itu untuk menjamin pasokan nenergi. Tidak ada energi maka tidak ada kemajuan.

Atas dasar pemahaman itu, tidak sepatutnya isu energi semata-mata dilihat sebagai komoditas politik jangka pendek. Menjadikan isu energi sebagai mainan politik sama halnya dengan menjadikan nasib ratusan juta penduduk Indonesia tanpa kemajuan berarti.

Selain merupakan isu yang harus dilihat dalam jangka panjang (50-100 tahun), energi merupakan isu yang meliputi banyak bidang kehidupan lainnya, mulai dari ekonomi, transportasi, bahkan hingga gaya hidup kelas menengah.Dengan kata lain, mengeluarkan regulasi untuk memaksa instansi pemerintah menghemat pemakaian listrik belum pantas disebut sebagai wujud kebijakan energi yang mumpuni.

Kebijakan energi seharusnya melingkupi kebijakan di sektor perhubungan, terutama transportasi di perkotaan. Namun, bagaimana mau bicara soal penghematan energi jika pemerintah tampak tidak perduli dengan transportasi di Jabodetabek?

Survei Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration tahun 2010 mencatat, ada 48,7 persen pengguna sepeda motor dan 13,5 persen pengguna mobil. Artinya, 62,2 persen perjalanan di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyinggung penghematan BBM bersubsid, survei tadi hanya memperlihatkan bahwa pengguna bus hanya 12,9 persen. Pengguna angkutan lain, seperti taksi, bajaj, dan kereta rel listrik, cuma 2,3 persen. Angka ini merosot dari tahun 2001. Saat itu, pengguna bus 38,3 persen dan angkutan lain 5,3 persen.

Dari data itu, sulit untuk tidak mengatakan bahawa pemerintah abai mengurusi transportasi publik. Politik nasional tampak enggan mengurusi transportasi rakyat kecil di perkotaan. Padahal, bicara penghematan energi adalah bicara tentang transportasi publik perkotaan, yang tertata baik.

Akibat dari transportasi perkotaan yang karut-marut, kemacetan pun terjadi. Bagi politisi di DPR, menteri, serta Presiden dan Wakil Presiden, kemacetan bukan masalah. Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2010 menaksir biaya kemacetan mencapai Rp 45,2 triliun per tahun. Biaya ini termasuk konsumsi bahan bakar minyak, operasional kendaraan, kerugian waktu, kerugian ekonomi, dan pencemaran udara.

Persoalan energi sungguh belum menjadi perhatian serius. Energi disamakan dengan isu politik lainnya yang bisa dijadikan komoditas.

Menjelang Pemilihan Umum Presiden 2009, Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM bersubsidi dengan alasan harga minyak dunia turun. Sebuah kebanggaan. Namun, secara jangka panjang, itu bukan suatu kebijakan positif. Masyarakat dimanjakan BBM murah. Padahal, pemerintah paham, sebagian BBM bersubsididinikmati kaum bermobil.

Maka, tidak mengherankan, ketika pemerintah berupaya menaikkan harga BBM bersubsidi pada akhir bulam Maret silam, isu energi pun kembali menjadi mainan politik. Mirip syair lagu: "Kau yang mulai Kau yang mengakhiri.,Kau yang berjanji Kau yang mengingkari ..." (A Tomy Trinugroho)

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 17

Kearifan Lokal: "Ngajaga Lembur" Petani Subang

Perang petani melawan tikus merupakan pertempuran abadi. Pasalnya, operasi pengendalian terhadap binatang penggasak padi itu tidak masal, tetapi sporadis dan setempat. Akibatnya tikus tidak dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah.
   Situasi ini dirasakan betul oleh petani Dusun Parigi, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, sejak berpuluh tahun yang lalu. Malah di sana sini ada gejala peningkatan kekebalan atas berbagai obat pembasmi tikus. "Kalau satu desa memberantas tikus dan desa lainnya tidak, pengendalian tikus menjadi tidak efektif. Tikus lari ke desa lainnya," papar Arman (66), seorang petani di Subang.
   Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pernah menganalisa, di desa yang tidak melakukan pemberantasan, gerombolan binatang monyong ini cepat sekali berkembang biak. Sekali beranak jumlahnya rata-rata 12 ekor. Pada hari ke-50 anak-anak tikus itu kawin dan pada hari ke-70 masing-masing melahirkan sekitar 12 ekor lagi. Dari tempatnya beranak, hewan tersebut secara bergerombol menyerang areal pertanaman padi.
   Berdasarkan pemgalaman itulah petani Cipunagara melakukan acara tahunan Festival Seni Budaya dengan tema Ngajaga Lembur (menjaga kampung halaman) berupa ritual Moro Beurit (memburu tikus). Selain menggelar berbagai kesenian tradisional, acara ini pada akhir April lalu sekaligus untuk membasmi tikus di area seluas 2.200 hektar sawah dan perkebunan.
   Moro Beurit pun dilombakan. Petani yang bisa menangkap tikus paling banyak mendapat hadiah, termasuk piala atas ketangkasannya menangkap tikus. Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf berharap tradisi ini bisa mendorong masyarakat untuk menjaga lingkungan, sekaligus melestarikan seni budaya warisan leluhur. Hal itu patut diapresiasi agar kearifan lokal berjalan dengan baik.
   "Keanekaragaman seni budaya adalah bukti tingginya kebudayaan leluhur kita, yang sudah sepatutnya kita lestarikan bersama," ujar Dede. Ia hadir bersama musisi senior Acil Bimbo, sebagai sesepuh Forum Ngajaga Lembur Jabar.
   Melalui festival itu, masyarakat dapat lebih memahami istilah ngajaga lembur. Yakni mempersiapkan segala kebutuhan, baik berupa kebutuhan hidup maupun kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga secara gotong royong.

"Ngajaga Lembur"
   Tradisi Moro Beurit adalah salah satu penjabaran dari program Ngajaga Lembur. Program ini dilakukan di berbagai daerah di Jabar untuk merespons berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Program ini dilakukan melalui Trilogi Ngajaga Lembur (menjaga kampung halaman), akur jeung dulur (hidup rukun dengan berbagai elemen bangsa), panceg dina galur (mengikuti aturan hukum yang berlaku).
   Sebagai pemrakarsa Ngajaga Lembur, Darmawan Hardjakusumah, yang akrab disapa Acil Bimbo, mengajak dialog masyarakat golongan menengah bawah untuk memahami situasidan kondisi bangsa ini kedepan yang akan makin berat dan keras. "Di Jabar, Ngajaga Lembur menjadi penting karena kerusakan lingkungannya termasuk paling parah di Indonesia. Jumlah manusia paling banyak (sekitar 43 juta jiwa) sehingga permasalahan yang muncul begitu kompleks," ujar Acil.
   Di dataran tinggi, banyak penggunaan lahan secara keliru sehingga mudah longsor dan menimbulkan sedimentasi yang tinggi di sungai. Di kawasan hulu sungai Citarum misalnya, yang seharusnya hutan dengan tanaman keras, kini berubah menjadi lahan sayur. Peralihan fungsi lahan ini berkontribusi besar terhadap sedimentasi Citarum. Padahal, sungai terpanjang di Jabar itu airnya digunakan untuk Pusat Listrik Tenaga Air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
   Akibat sedimentasi itu juga menimbulkan banjir abadi di Bandung Selatan. Karena itu, warga diajak, antara lain membangun ketahanan masyarakat melalui desa budaya atau gerakan budaya agar survive menghadapi kondisi yang buruk itu. Dengan kesadaran itu warga bisa lebih memperhatikan lembur (desa), dengan melihat potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam keseharian. Di lahan terlantar misalnya, warga bisa menanam pangan apa saja untuk mengantisipasi andaikata terjadi krisis pangan.

Menghindari Konflik
   Inti dari Ngajaga Lembur terutama menghangatkan silaturahim dalam membahas masalah yang terjadi di sekitar mereka. Selain itu juga untuk menghindarkan diri dari konflik, apalagi yang bernuansa kekerasan di kampung halaman. Tujuan lainnya, mencermati berita di media masa dan membahas dalam konteks lingkungannya.
   Warga juga diajak untuk menjaga lingkungan, terutama sumber daya air; mengenal bencana yang bisa datang tiba-tiba, seperti longsor, banjir, dan erupsi gunung berapi; serta mengenalkan antisipasinya. Kapasitas integritas masyarakat terus dibangun agar berani menolak agar berani menolak proyek pemerintah atau investor, andaikata merugikan warga setempat.
   Selanjutnya, warga didorong membangun potensi ekonomi kerakyatan di wilayahnya serta membangun daya tahan masyarakat dan mencari kalangan intelektual yang bisa dijadikan tempat bertanya/konsultasi. Ngajaga Lembur dimulai dengan menjaga diri sendiri dari hal-hal yang merugikan orang lain atau merusak tatanan. Setelah itu baru menjaga keluarga dan lingkungan sekitar.
   Namun, dalam menjalankan program ini buykan tanpa hambatan. Ada pihak misalnya yang menuding, apa yang diucapkan Acil Bimbo, bak kiamat bakal datang besok hari. "Biar saja. Prinsip saya, didengan syukur, kalau tidak pun, ya tidak apa-apa," ujarnya. Tetapi, komunikasi dengan daerah yang didatangi tetap berjalan dan banyak yang menjalankan ajakan semampunya.
   Kesulitan lain, ujar Acil, dalam pembiayaan. Karena itu apa yang disampaikan Acil pada awal pertemuan dengan warga, adalah, "Saya mengajak Anda capai badan dan lelah hati." Ia pun memperlihatkan kesungguhannya dengan program itu.


M. Kurniawan dan Dedi Muhtadi, Kompas, 30 Mei 2012, hal 24

Jumat, 15 Juni 2012

Penilaian Proper: KLH Permudah Perizinan

Jakarta, Kompas --- Kementerian Lingkungan Hidup memudahkan sejumlah perizinan dan rekomendasi sektor swasta yang punya s penanggung jawab usaha menerapkan sistem manajemen pengelolaan lingkungan. Kemudahan ini agar para penanggung jawab usaha menerapakan prinsip bisnis minim polutan.
   Syaratnya, perusahaan peringkat emas dan hijau dalam penilaian proper. Emas dan hijau untuk perusahaan dengan sistem pengelolaan lingkungan baik dan bermanfaat bagi sekitar.
   "Insenstif barupa permohonan perizinan kami permudah. Tak perlu verifikasi lapangan," kata Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, di jakarta, Rabu (13/6) lalu.
   KLH juga memberi rekomendasi agar perusahaan mperoleh keringanan bunga bank. Menteri juga meminta kementerian/instansi tertentu memberi pembebasan pajak impor barang/teknologi yang bermanfaat bagi lingkungan.
   Kemudahan atau dukungan KLH belum bagi perusahaan berstatus biru, merah, dan hitam.
   "Peringkat biru belum dinilai sistem manajemen lingkungannya, jadi belum yakin sistemnya jalan," kata Asisten Deputi Pertambangan, Energi dan Migas KLH Sigit Reliantoro.
   Beberapa perizinan yang dipermudah adalah izin pembuangan limbah cair, pengelolaan limbah B3, dan rekomendasi ekspor-impor bahan kimia. Itu bisa didapat melalui layanan satu atap KLH. (ICH)

Sumber: Kompas, 16 Juni 2012, hal 12

Kualitas Air, Target Penurunan Pencemaran Tinggi

Jakarta, Komas --- Pencemaran air secara nasional ditargetkan turun 50 persen tahun 2014. Limbah domestik menjadi kendalanya karena sumber polutan yang sangat luas dan banyak, seperti pemukimam, restoran dan hotel, yang mempersulit pengawasan.
   Untuk sementara, kriteria pencemaran masih seputar tingkat keasaman, nonlogam berat, dan bakteri Escherichia colli. "Seharusnya 26 kriteria, tetapi lima yang utama. Kandungan logam berat belum masuk," kata Sabar Ginting, Asisten Deputi Pencemaran Manufaktur, Prasarana dan Jasa, Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (14/6), di Jakarta.
   Target penurunan pencemaran 50 persen ini dijanjikan Gusti Muhammad Hatta (Menteri Lingkungan Hidup 1009-2011) kepada Presiden tahun 2009.
   Acuan jumlah pencemar ini pengukuran tahun 2009 pada buangan limbah industri perserta program penilaian loingkungan hidup perusahaan. Misalnya, tahun 2009 suatu perusahaan menghasilkan limbah mengandung BOD/BOC 200 miligram per liter, maka tahun 2014 harus mengurangi hingga 100 miligram per liter.
   Salah satu persoalan adalah pengawasan buangan limbah domestik. Affandi Permana, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Banten, menjelaskan, 84 persen pencemaran di Sungai Cisadane dari limbah domestik, sisanya industri. Banyak perumahan mewah di Tangerang tanpa instalasi pengolahan air limbah. (ICH)

Sumber: Kompas, 16 Juni 2012, hal 12

Rabu, 13 Juni 2012

Pengelolaan Hutan: Masyarakat Pemilik Hutan Tak Terlindungi

Jakarta, Kompas --- Kepemilikan dan hak masyarakat adat pemilik areal hutan dan lahan minim perlindungan pemerintah. Swasta masih bisa membeli lahan/hutan adat dengan harga yang sangat murah.
    Setidaknya itulah hasil investigasi bersama oleh lembaga swadaya masyarakat Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) belum lama ini. Masaih ada tanah di Sorong, Papua Barat yang dibeli sekitar Rp 6.000 per hektar atau 0,65 dolar AS, lebih murah daripada harga gula-gula di negara maju.
   "Kami punya buktinya dari masyarakat sendiri bagaimana perusahaan membayar rendah dan memarjinalisasikan masyarakat adat Moi (masyarakat asli di Sorong) untuk lahan dan kayu," ucap Abu Meridian, Juru Kampanye Telapak, Minggu (10/6), di Jakarta. beberapa tahun yang lalu, investaigasi telapak juga menemukan praktik serupa di Papua.
   Bukti itu berupa salinan "Kontrak" atau kesepakatan [erusahaan dengan kepala marga masyarakat adat Moi. Di dalamnya terdapat rincian pembayaran 923 dolar AS untuk 1.420 hektar lahan hutan, atau Rp 6.000 per hektar. Sementara perkebunan sawit itu ditaksir 162 juta dolar AS jika dikembangkan atau ribuan kali lipat dari harga dari masyarakat.
   Tak hanya mengeksploitasi lahan, Telapak dan EIA pun menunjukkan secara rinci pembayaran 25 dolar AS per meter kubik kayu kepada pemilik lahan untuk kayu yang didapat dalam proses pembukaan hutan mereka, termasuk untuk kayu merbau yang bernilai tinggi. Merbau itu diekspor seharga 875 dolar AS per meter kubik.
   "Masyarakat biasanya dijanjikan mendapat manfaat dari perkebunan. Faktanya, tak pernah terjadi,: ucapnya,
   Jago Wadley, pengampanye Hutan EIA, menyesalkan praktik merugikan negara dan masyarakat itu tak tersentuh hukum. "Warga Papua itu sebagian dari warga termiskin di Indonesia. Justru dieksploitasi melalui perjanjian perkebunan sawit yang memberi keuntungan besar kepada investor internasional dengan mengorbankan masyarakat dan hutan Papua," ucapnya.
   Ia pun menyebut, sebagian perusahaan itu dimiliki negara yang selama ini getol membantu Indonesia meperbaiki pengelolaan hutan. Saham perusahaan itu dimiliki melalui Norwegian Government Pension Fund Global.
   Norwegia dikenal dalam dunia internasional sebagai pemimpin dalam perubahan iklim. " Norwegia (donor REDD+ terbesar untuk Indonesia yang mencapai 1 milyar dolar AS) juga akan mendapat keuntunganndari eksploitasi destruktif yang terjadi. Ini sangat ironis mengingat Norwegia sebenarnya bisa memberi dana kepada warga Papua untuk menjaga hutan mereka, bukan mengambil keuntungan dari deforestasi di Papua Barat," kata Abu Meridian. (ICH)

Sumber: Kompas, 11 Juni 2012, hal 13

Selasa, 12 Juni 2012

Pelestarian Sungai: Pelepasan Ikan Alien Harus Distop


Surabaya, Kompas --- Aktivis lingkungan di Kota Surabaya, Jawa Timur, mendesak pemerintah dan instansi lainnya agar tidak menebarkan ikan secara sembarangan di Kali Surabaya. Jenis ikan yang ditebar harus sesuai dengan ekosistem di Kali Surabaya.
   Wawan Some, Ketua Kelompok Nol Sampah, mengatakan, pasca-kematian ratusan ribu ekor ikan akibat limbah pabrik akhir Mei lalu, ada wacana melepaskan ribuan ekor ikan guna menggantikan ikan yang sudah mati. "Restorasi Kali Surabaya harus dilakukan. Tapi selama ini pemerintah menebar bibit ikan tanpa memperhatikan jenisnya. Padahal kehadiran ikan jenis baru atau ikan alien akan mengganggu ikan asli (endemik) di habitat tersebut," katanya, Selasa (12/6).
   Berdasarkan penelusuran Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), ikan-ikan penghuni habitat Kali Surabaya antara lain bader putih (Barbodesballeroides), jendil (pangasiusmicronomus), rengkik (Hemibragussp), keting (Mistusplaniceps), sili (Macrognatusaculeatus), belut (Fluta alba), dan bloso (Axyeleotrismarmoratus).
   Menurut dia saat ini ada 19 jenis ikan alien di Kali Surabaya. Misalnya, lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), mujair (Oreochromis mosambicus), dan nila (Oreochromis niloticus).
   Kehadiran ikan-ikan jenis baru akan menaikkan kompetisi untuk mendapatkan makanan dan ruang. Kehadiran ikan jenis baru juga rentan menyebarkan penyakit, dan menyebabkan kawin silang yang berpotensi menghilangkan gen unggul ikan asli. "Kasus punahnya ikan endemik akibat kehadiran ikan alien terjadi di Segara Anakan dan di Gunung Rinjani, Lombok," ujarnya.
   Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi menambahkan, restorasi Kali Surabaya harus segera dilakukan dengan melihat habitat sungai tersebut. Untuk itu, PT Perkebunan Nusantara X selaku pengelola Pabrik Gula Gempolkerep yang mencemari Kali Surabaya harus membayar ganti rugi karena telah menyebabkan kematian 89.000 ekor ikan. Ganti rugi itu akan mendukung upaya restorasi Kali Surabaya.
   Sebelumnya, Kepala Bidang Pengolahan PTPN X Tri Cahyo mengatakan, pembuangan limbah ke Kali Surabaya tak disengaja. "Kemarin ada kendala teknis sehingga limbah tidak bisa diolah. Ke depan, akan kami benahi," ujarnya. (ARA)

Sumber: Kompas 13 Juni 2012, hal 22

Minggu, 10 Juni 2012

Produk Ramah Lingkungan: Produsen dan Eksportir agar Berkompetisi

Kazan, Kompas --- Pemerintah Indonesia mendorong produsen dan eksportir berkompetisi menghadapi pasar global. Ini penting karena pemerintah bersikukuh tak mengeluarkan labelisasi pada produk dagang ramah lingkungan atau environmental goods atau EG.
   Demikian ungkapan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI Imam Pambagyo di sela-sela Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) Meeting of Ministers Responsible for Trade (MRT) 2012 di Kazan, Rusia, Senin (4/6) seperti dilaporkan wartawan Kompas Agnes Swetta Pandia. Indonesia diwakili Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti.
   Terdapat dua kelompok labelisasi pada produk dagang ramah lingkungan: mendukung sepenuh hati, dan kelompok yang berat untuk menerapkan. Indonesia salah satu negara yang belum mengeluarkan kebijakan EG.
   Kelompok yang siap produk ramah lingkungan berasal dari negara yang memiliki koordinasi internal relatif baik. Mereka diperkirakan mampu meraup keuntungan ekonomi dengan disahkannya daftar EG pada produk dagang. Sementara negara yang kurang siap khawatir perlabelan berdampak negatuf bagi ekonomi dalam negeri.
   Hingga akhir Mei 2012, 13 dari 21 anggota APEC telah menyerahkan daftar produk ramah lingkungan untuk dikompilasi oleh Friends of the Chairs EG APEC menjadi sekitar 300 produk. Umumnya negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Selandia Baru, Hongkong dan Rusia. Empat negara ASEAN melakukannya, yakni Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei. Sementara Indonesia, bersama Vietnam dan Filipina, belum menyetor produk dagang.
   Indonesia ingin memnberi kesempatan kepada produsen dan eksportir untuk menyiapkan diri lebih baik. "Sambil menyiapkan pengusaha, pemerintah akan terus berkonsolidasi internal mematangkan daftar EG dari Indonesia. Sebab, sangat diharapkan EG benar-benar memperhatikan aspek lingkungan, bukan melulu menonjolkan aspek dagang,: ujar Imam.
   Menurut dia, Indonesia punya banyak produk yang ramah lingkungan, baik dalam bentuk sederhana maupun tradisional, hingga diolah dengan teknologi tinggi. Persoalannya, pada forum APEC seperti ini, belum terdapat kejelasan menyangkut kriteria produk dagang yang bisa masuk dalam daftar EG. (ETA)

Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 13

Selasa, 05 Juni 2012

Rio+20: Indonesia Mau ke Mana?

Oleh Tejo Wahyu Jatmiko
PAda 13-22 Juni 2012, para kepala negara dan ribuan pemangku kepentingan akan berkumpul untuk meneguhkan kembali niat merawat Bumi. Tema "the Future We Want" akan menjadi perjuanagan kita ke depan.
   Disebut Rio+20 karena diselenmggarakan 20 tahun setelah KTT Bumi, di tempat yang sama, KTT kali ini berlangsung saat masyarakat dunia bergantian mengalami krisis baik ekonomi, pangan, perubahan iklim, maupun lingkungan. Meski demikian, justru inilah  saat melihat semua tindakan yang sudah dilakukan sampai hari ini.
   KTT Bumi mengusung konsep pembangunan berkelanjutan yang menghubungkan banyak hal. Bukan hanya antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan, tetapi juga antara negara maju dan berkembang, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tercakup pula poengetahuan ilmiah, kebijakan, desa dan kota, serta lintas generasi.
   Sayang, di lapangan kondisinya jauh berbeda. Setelah 20 tahun, kesenjangan antara negara kaya dan miskin justru semakin lebar. Seperlima orang terkaya dunia mendapatkan 70 persen total pendapatan, sementara penduduk golongan paling miskin hanya mendapat 2 persen penghasilan dunia.
   Dalam bidang sosial, pertumbuhan ekonomi dunia ternyata tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data MDG menunjukkan dari 84 negara yang melaporkan kondisinya, 45 negara sudah berjalan baik dan 39 negara tak mencapai target pengurangan kemiskinan.

Lingkungan memburuk
   Kondisi lingkungan juga semakin memburuk yang ditandai dengan meluasnya penggundulan huta rata-rata 5,6 juta hektar per tahun (FAO, 2010) dan penggurunan seluas 4,8 juta hektar tahiun 2012.
   Punahnya keanekaan hayati juga mencapai lebih dari 10 kali lipat di atas ambang aman yang disepakati, baik di darat maupun di laut. Lebih dari 30 persen spesieske yang hidup di laut terancam punah akibat perubahan iklim, pengasaman laut, polusi dan eksploitasi berlebihan.
   Mengubah pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, seperti yang dijanjikan negara-negara maju pada 1992 juga tidak berjalan. Bahkan, negara miskin mengikuti pola mereka.
   Semua itu menunjukkan bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan prinsip Rio tidak dijalankan. Hampir tidak ada komitmen yang terpenuhi, termasuk pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas.
   Bagaimana dengan Indonesia? Seperti juga negara lain, Indonesia mengalami kegagalan dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan. Meski termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi 5-7 persen, kemajuan di bidang sosial dan kelestarian lingkungan masih kurang.
   Sejauh ini pembangunan Indonesia 2003-2010 sudah berhasil meningkatkan jumlah kelas menengah dari 50 juta orang menjadi 113 juta, tetapi juga masih meninggalkan sekitar 60 juta penduduk miskin. Penduduk miskin ini umumnya terkonsentrasi di enam provinsi: Papua, Papua Barat, maluku, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Aceh. Sebanyak 214 kabupaten dari total 346 kabupaten (62 persen) di 32 provinsi memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dari pada rata-rata nasional.

Pembangunan Indonesia
   Pembangunan di Indonesia juga terus mengorbankan lingkungan, seperti laju perusakan hutan yang mencapai angka 2 juta hektar per tahun pada kurun 1990-2000 dan terus melaju dengan angka 685.000 hektar per tahun pada 2000-2010 (FAO, 2010). Kerusakan daerah aliran sungai hampir di seluruh Indonesia juga menjadi penanda kesalahan pembangunan.
   Penghancuran pun terjadi di laut akibat polusi industri di darat dan over eksploitasi di laut. Pencurian, penangkapan yang tidak dilaporkan dan diatur juga menjadi penyebab hilangnya sumber daya perikanan dan laut di Indonesia bagian barat.
   Belajar dari kesalahan masa lalu merupakan tindakan yang bijak. Banyak tindakan nyata yang harus dilakukan untuk mengoreksi kesalahan ini.
   Pertama, tidak merendahkan komitmen pembangunan berkelanjutan dengan globalisasi yang dicirikan dengan liberalisasi ekonomi, peningkatan konsentrasi penguasaan oleh korporasi raksasa, dan merendahkan kedaulatan negara.
   Kedua, memastikan sarana untuk implementasi, yakni pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas tersedia dan bisa diakses oleh para pihak.
   Ketiga, integrasi tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup merupakan hal yang tidak bisa ditawar pada semua kebijakan.
   Keempat, harus ada penguatan ulang pada prinsip yang paling mendasar, yakni common but differentiated responsibilities. Artinya, negara maju harus mengubah pola produksi dan konsumsi serta melakukan dukungan pendanaan dan transfer teknologi dan negara berkembang menjaga lingkungannya.

Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Perkumpulan Indonesia Berseru, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera.
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 6

Senin, 04 Juni 2012

40 Tahun Gerakan Lingkungan

Oleh Emil Salim
Ketika pembangunan berlangsung tahun 1960-an, dunia dikejutkan oleh udara buram berkabut di Eropa, penyakit Minamata di Jepang, dan sunyinya burung-burung berkicauan di musim semi Amerika Serikat. Maka, dunia pun cemas akan kerusakan lingkungan. Karena itu, diselenggarakanlah Konferensi PP tentang Lingkungan Manusia, Juni 1972, di Stockholm, Swedia.
   Konferensi ini menyepakati: Pertama, "Deklarasi Stockholm" yang memuat prinsip-prinsip mengelola lingkungan hidup untuk masa depan, khususnya melalui hukum lingkungan internasional. Kedua, "Rencana Aksi" mencakup perencanaan pemukimam, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran, pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup. Ketiga, segi kelembagaan, membentuk Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program/UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
   Sepanjang 1972-1982 lingkungan hidup diperlakukan sebagai sektor tersendiri tanpa menyentuh pembangunan ekonomi. Karena itu, dalam Konferensi UNEP 1982 disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development/WCED) dipimpin Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland. Sepanjang 1984-1987 ia mengkaji kaitan lingkungan dan pembangunan.
   Komisi Brundtland mengusulkan perubahan pola dari "pembangunan konvesional" melalui jalur ekonomi saja ke "pembangunan berkelanjutan" melalui tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dilaksanakan secara serentak.

KTT Bumi
   Sepuluh tahun kemudian diselenggarakan Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Conference on Environment and Development, WCED) di Rio de Janeiro, Brazil, 3-14 Juni 1992. Konferensi dihadiri dihadiri para kepala negara-negara sedunia membahas pola ini.
   Konferensi Tingkat Tinggi -lebih dikenal sebagai KTT Bumi- ini menghasilkan dokumen Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, memperteguh komitmen Deklarasi Stockholm 1972. Tekanannya adalah keterkaitan lingkungan dengan pembangunan.
   Dokumen kedua memuat "Agenda 21" tentang program pelaksanaan dengan perincian pembiayaannya. Program ini melibatkan "kelompok utama", seperti para legislator anggota parlemen, pemerintahan lokal, pengusaha, ilmuwan, perempuan, pemuda, dan lembaga swadaya. Secara khusus disorot tentang keuangan, teknologi dan kelembagaan.
   Dokukmen ketiga adalah "Prinsip-prinsip Kehutanan" memuat pola "Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan". Dokumen keempat adalah "Konvensi Perubahan Iklim" dan dokumen kelima adalah Konvensi Keanekaan Hayati.
   KTT Bumi 1992 diliputi semangat kerjasama global tinggi yang didukung iklim politik global dengan meredanya ketegangan :perang dingin" antara Blok Komunis dan agai akibat pengebo sebelawan Terorisme Blok Kapitalis (1992-2000). Dinding pemisah Berlin Timur dan Berlin Barat runtuh. Ada harapan "laba perdamaian dunia" yang terhimpun kini bisa dimanfaatkan untuk membiayai Agenda 21 Pembangunan Berkelanjutan.
   Tahun 2000 Sekjen PBB Kofi Annan mengangkat isu kemiskinan dalam Target Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, 2000), melengkapi pembangunan berkelanjutan.
   Tiba-tiba meletuslah "Perang Melawan Teorisme" sebagai akibat pengeboman New York, 11 September 2001. Hancur suasana optimistis dan hilang pula "laba perdamaian". Tahun-tahun menjelang akhir 2000 juga ditandai krisis ekonomi global. Indonesia adalah salah satu korban. Pemerintah Orde Baru pun digantikan Orde Reformasi sejak 1998. Kekuatan ekonomi Jepang surut, sedangkan kekuatan ekonomi Republik Rakyat China (RRC) bangkit. Peta kekuatan ekonomi pun bergeser dari Barat ke Timur.

Dunia Berubah
   Dalam suasana perubahan politik dan ekonomi global seperti ini berlangsunglah World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002. Kesepakatan Konferensi penting adalah Deklarasi Johannesburg yang memuat visi masa depan umat manusia dengan penajabaran lebih luas dari segi-segi pembangunan berkelanjutan Rio 1992.
   Juga disepakati saran keuangan hasil pertemuan Menteri-Menteri Keuangan di Monterey (2001) dan saran perdagangan hasil Pertemuan Menteri-Menteri Perdagangan di Doha (2001). Untuk pertama kalinya menteri non-lingkungan aktif dalam konferensi lingkungan.
   Kesepakatan kedua adalah Johannesburg Plan of Implementation yang menambah Agenda 21 dengan isu-isu HIV/AIDS. dimensi sosial pembangunan berkelanjutan, kesetaraan jender, air, energi, kesehatan, pertanian, dan keanekaan hayati.
   Dunia kini sedang menyiapkan UN Conference on Sustainable Development Rio+20, di Rio de Janeiro, Brazil, Juni 2012. Dokumen utamanya adalah "The Future We Want", mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan, ditopang keuangan, sain-teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Dokumen kedua menjabarkan kelembagaan pelaksanaannya dalam lingkungan PBB.
   Tampak trend perkembangan dari sekedar isu pencemaran tahun 1972, Konperensi Rio+20 kini berkembang lebih luas. Sekjen PBB merencanakan kerangka Sustainable Development Goals (SDG) memuat upaya MDG, perubahan iklim, keberlanjutan, keanekaan hayati, sekuritas pangan, energi, dan lain tantangan global penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia masa datang.
   Untuk inilah Sekjen PBB meminta Presiden Republik Indonesia, Presiden Liberia, dan Perdana Menteri Inggeris menjadi Co-Chairs memimpin High Level Panel on SDG, memberi masukan tentang "peta jalan" dari Rio+20 (2012) ke MDG-Summit (2013) dan masa depan melalui pola pembangunan berkelanjutan dengan ukuran keberhasilan "produk domestik bruto dimensi ekonomi plus sosial plus lingkungan".
   "Peta jalan" dunia ini juga penting bagi Indonesia menanggapi keberlanjutannya pada 2045. Maka sangatlah urgen melengkapi pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan lingkungan menuju Indonesia 2045.

Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 6

Sabtu, 02 Juni 2012

Nuklir Fukushima: Radiasi Ditemukan pada Ikan Tuna

Wahington, Selasa --- Radiasi nuklir tingkat rendah dari PLTN Fukushima yang rusak oleh tsunami telah terdeteksi pada ikan tuna sirip biru di lepas pantai California, Amerika Serikat. Hal itu menunjukkan bahwa ikan-ikan itu membawa bahan radioaktif melintasi Samudra Pasifik lebih cepat daripada angin dan air.
   Sejumlah kecil Cesium-137 dan Cesium-134 terdeteksi pada ikan tuna yang ditangkap dekat San Diego pada Agustus 2011. Ikan ditangkap hanya empat bulan setelah zat radioaktif itu terlepas ke perairan lepas pantai timur Jepang.
   Ikan itu tiba di pantai Barat AS berbulan-bulan lebih cepat dibandingkan dengan angin dan arus laut yang membawa puing-puing dari PLTN itu ke perairan lepas pantai Alaska dan kawasan Pasifik di Barat laut AS.
   "Terus terang kami terkejut," kata Nicholas Fisher, salah seorang peneliti yang melaporkan temuan itu di jurnal Laporan Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan AS, yang diunggah ke internet, Senin (28/5).
   Tingkat radioaktivitas cesium itu 10 kali lebih tinggi dibanding dengan jumlah yang diukur pada ikan tuna di lepas pantai California tahun-tahun sebelumnya. Namun, hal itu masih jauh di bawah batas aman untuk dimakan seperti yang ditetapkan oleh pemerintah AS dan Jepang.
   Tanpa membuat penilaian yang definitif mengenai amannya ikan itu, penulis utama kajian itu, Daniel Madigan dari Stasiun Laut Hopkins Universitas Stanford, mengatakan jumlah bahan radioaktif yang terdeteksi jauh di bawah batas aman Jepang.
   Sebelumnya, plankton dan ikan-ikan lebih kecil ditemukan dengan tingkat radiasi yang naik di perairan Jepang setelah gempa Maret 2011 menyebabkan tsunami dan merusak reaktor PLTN Fukushima Dai-ichi.
   Namun, para ilmuwan tidak memperkirakan radiasi nuklir itu akan tetap berada di ikan besar yang merenangi samudra. Metabolisme tubuh ikan semacam itu bisa membuang bahan-bahan radioaktif.
   Pacific bluefin tuna atau tuna sirip biru Pasifik adalah ikan yang bisa mencapai panjang 3 meter dan berat lebih dari 450 kilogram. Ikan ini bertelur di lepas pantai Jepang, dan berenang cepat ke Timut dalam kawanan menuju perairan lepas pantai California dan ujung Baja California, Meksiko.
   Dari ukuran ikan yang diperiksa -sekitar 6 kg- para peneliti yakin itu adalah ikan muda yang meninggalkan perairan Jepang sekitar sebulan setelah tragedi Fukushima.
   Untuk mengetahui bagaimana radioaktivitas mempengaruhi populasi tuna, musim panas ini para peneliti akan mengulangi kajian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Tuna yang akan diteliti telah berada dalam perairan radioaktif untuk masa yang lebih lama dari sebulan. (AP/REUTERS/DI)

Sumber : Kompas, 30 Mei 2012, hal 10.

Jumat, 01 Juni 2012

Hari Antitambang: Antara Subsidi BBM dan Kemuliaan Tambang

Sekitar pukul 19:30 WIB, Selasa, 29 Mei 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Penghematan Negara.
   Intinya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2010, subsidi BBM menelan Rp 140 triliun. Akibatnya, APBN tak cukup untuk membiayai pembangunan.
   Presiden melanjutkan, dua langkah harus ditempuh. Pertama: harus mengurangi subsidi BBM, antara lain dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Kedua, meningkatkan pendapatan APBN dengan dua cara, yaitu meningkatkan pendapatan dari pajak dan pendapatan dari sektor non pajak.
   Presiden juga meminta semua badan usaha milik negara, perusahaan nasional, dan multinasional membayar pajak.
   Apa itu non pajak?
   Yang dimaksud, meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan, minyak, dan gas bumi. Tak terbantahkan, Indonesia merupakan gudang alam, mulai dari minyak, gas bumi, hingga berbagai mineral dan logam mulia, bahkan juga tanah yang belum dieksploitasi.
   Semua upaya itu, menurut Susilo Bambang Yudoyono, bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan sosial, berbagi beban, dan membantu rakyat miskin. Benarkah?
   Lalu, kemana fakta-fakta ini? Berbagai peristiwa penangkapan masyarakat antitambang oleh polisi tanpa alasan jelas; kolong-kolong galian timah di Bangka yang tak direhabilitasi jadi pemandangan "menakjubkan" dari udara; kerusakan lingkungan amsif dengan lubang hingga kedalaman 300 meter di berbagai lokasi di Kalimantan; hilangnya semua lapisan tanah berhumus yang subur (400.000 hektar di Pulau Bangka Belitung); hilangnya sumber air yang memusnahkan pertanian di Mollo, NTT; dan seterusnya.
   Intinya, masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, penyakit berjangkit mulai dari malaria hingga infeksi saluran pernafasan akut akibat debu-debu mineral. Masyarakat lokal jatuh miskin, penyakitan, dan tak memiliki masa depan karena nyaris mustahil merehabilitasi lingkungan bekas tambang. Presiden telah "memuliakan" pertambangan rupanya.
   "Jelas bahwa dampak kerusakan akibat tambang ditanggung publik," ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan. Dimanakah janji menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca dibandingkan tanpa upaya apapun (business as usual), dimanakah pula konsep pembangunan berkelanjutan yang bakal dibahas pada konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, Rio+20? Silahkan presiden menjawabnya.

Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14

Ekosistem Pesisir: Pemanasan Global Rusak Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem produktif di pesisir, selain bakau dan lamun. Indonesia memiliki 85.000 km persegi ekosistem terumbu karang dan representasi dari 14 persen terumbu karang dunia. Namun di Indonesia hanya kurang dari 7 persen yang kondisinya sangat bagus.
   Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas terumbu karang, seperti pencemaran, pengeboman, pemakaian sianida, dan perubahan iklim, termasuk pemanasan global.
   Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan air laut memberikan dampak pada ekosistem terumbu karang, seperti terjadinya pemutihan karang. Hal ini merupakan proses dimana karang kehilangan simbionnya yang berupa zooxanthela (alga endosimbion), terutama dari ordo Symbiodinium yang memberikan warna pada permukaan karang. Alga simbion ini berperan penting dalam ekosistem terumbu karang. Siumbion menyediakan hampir semua kebutuhan energi karang yang berasal dari fotosintesis berupa karbon. Pemutihan karang diyakini sebagai mekanisme normal karang sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dan mempertahankan eksistensinya. Alga simbion lepas dari inang karang secara temporer dan terjadi perubahan komposisi alga simbion. Dalam konsep coral holobionts, yakni inang karang dan mikroorganisme yang berasosiasi dengannya, dikenal istilah adaptive bleaching hypothesis. Dalam hipotesisi ini, ada hubungan dinamika antara karang dan Symbiodinium pada kondisi lingkungan berbeda untuk memilih alga simbion menguntungkan.
   Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 +/- 0,2 derajat celcius dan diprediksi akan meningkat 1,5 - 4,5 derajat celcius pada abad ini, merupakan ancaman bagi terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut.
   Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain pemutihan karang Oculina patagonia, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa.

Suhu air laut
   Peningkatan suhu air laut merupakan faktor utama dalam peningkatan ancaman penyakit karang. PAda pemutihan karang yang menyerang Pocillopora damicornis yang terinfeksi bakteri Vibrio coralliilytycus, karang akan mengalami pemutihan ketika suhu air laut 24-26 derajat celcius, dan Symbiodinium akan mengalami lisis ketika suhu air laut 27-29 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius infeksi tidak terjadi.
   Beberapa tahap dalam proses infeksi karang, seperti adhesi patogen pada permukaan karang, ketahanan hidup patogen dalam jaringan karang dan produksi toksin merupakan proses yang bergantung pada kenaikan suhu.
   Pada kasus infeksi yang menyebabkan pemutihan pada Oculina patagonia yang disebabkan oleh bakteri Vibrio Shiloi, kenaikan suhu yang mendekati 30 derajat celcius menyebabkan patogen ini memasuki status viable but nonculturable. Hal ini merupakan keadaan dimana patogen kehilangan kemampuan untuk menghasilkan koloni pada media agar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan.
   Implikasinya, kita tidak akan mampu mengisolasi patogen yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menguji dalam memnentukan agen penyebab penyakit. Karena itu, pemanasan global merupakan ancaman nyata yang menyebabkan penyakit karang.

Mikroorganisme
   Ancaman lain berkaitan dengan penyakit karang adalah fakta dimana penyakit karang tidak lagi didominasi bakteri/jamur tunggal, seperti aspergilosis oleh jamur Aspergillus sydowii atau pelak putih oleh Aurantimonas coralicida, tetapi disebabkan oleh konsorsium mikroorganisme, seperti pada kasus black band.
   Dalam penelitian terkini tentang agen penyebab penyakit white band di Perairan Tanjung Gelam, Kepulauan Karimunjawa, Hakim dan kawan-kawan (2012) membuktikan, penyakit white band yang menyerang karang Acropora humilis dan Acropora tortousa disebabkan oleh konsorsium bakteri yang terdiri dari genus Vibrio, Pseudoalteromonas, dan Bacillus.
   Konsorsium patogen ini menyebabkan tipe penyakit white band yang berbeda pada A humilis dan A tortousa. Tipe I ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian bawah karang yang diuji pada A humilis dan tipe II yang ditandai dengan infeksi yang dimulai pada bagian tengah percabangan ke arah ujung koloni pada A tortousa.
   Fakta lain berkaitan dengan penyakit karang adalah perbedaan pemutihan karang adalah perbedaan pemutihan karang. Pemutihan yang hanya dipicu oleh kenaikan suhu ditandai dengan pemutihan massal. Adapun pada penyakit karang, pemutihan bersifat lokal.
   Sangat mungkin pada karang yang sama dan hidup berdampingan, yang satu terkena infeksi, tetapi karang di sebelahnya bebas dari serangan patogen penyebab penyakit.
   Coral probiotic hypothesis dipercaya sebagai jawabn atas fenomena ini. Hampir mirip dengan adaptive bleaching hypothesis, hipotesis coral probiotic memungkinkan inang koral mengubah komposisi mikroorganisme yang berasosiasi dengannya. Dengan demikian dapat beradaptasi dengan ancaman penyakit karang dan kenaikan suhu air laut.
   Pengetahuan berkaitan dengan penyakit karang yang dikaitkan dengan pemanasan global dan agen-agen penyebabnya sangat diperlukan dalam manajemen penyakit karang. Hal itu terutama berkaitan dengan penyebaran penyakit karang.

Oleh: Ocky Karna Radjasa, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14

Gambut Rawa Tripa: Berita Acara Dibuat Langsung di Lokasi

Nagan Raya, Kompas --- Berita Acara proses hukum dugaan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dibuat langsung di lokasi (4/5). Penyelesaian hukum lingkungan di lapangan ini melibatkan penyidik dari Markas Besar Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan.
   "Proses hukum penerapan dan tindak lanjut penandatanganan nota kesepahaman Kementerian Lingkungan Hidup, kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk menegakkan proses hukum lingkungan," kata penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KLH, Bayu Hardjanto di Nagan Raya kemarin.
   Penanganan hukum kebakaran lahan gambut di Rawa Tripa terindikasi kuat disengaja pada 19 Maret 2012. Pelaku terancam dijerat Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
   Shaifuddin Akbar, PPNS KLH lainnya, mengatakan bahwa ancaman penjara minimal 3-10 tahun. Denda minimal Rp 1 miliar hingga Rp 10 miliar. "Tidak ditujukan untuk menentukan siapa pelaku secara fisik pembakar lahan. Namun, pimpinan korporasi perusahaan yang harus bertanggung jawab," kata Shaifuddin.
   Tanggung jawab kebakaran lahan gambut ini ditujukan kepada PT Surya Panen Subur (SPS). Pimpinan Proyek PT SPS 2, Zakaria Lubis yang bertanggung jawab terhadap lokasi kebakaran itu menyatakan, kebakaran lahan tak disengaja.
   Menurut Shaifuddin, pertama kali petugas PT SPS hanya menunjukkan peta area 500 hektar lahan terbakar yang sudah ditanami sawit. Namun, sesuai dengan data citra satelit menunjukkan lebih dari 1.000 hektar terbakar.
   "Seketika itu juga lalu ditunjukkan peta area 600 hektar yang terbakar dan belum ditanami sawit," katanya.

Dugaaan Awal
   Dugaan pembakaran secara sengaja lahan gambut sekitar 1.100 hektar di Rawa Tripa menguat setelah melibatkan penelitian dua ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). "Ada kejanggalan, seperti pemisahan dengan batas lahan milik pihak lain, diduga untuk menghindari penjalaran kebakaran," kata Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan sekaligus Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB.
   Ia ditemani Basuki Wasis dari Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan IPB. Keduanya mengumpulkan berbagai sampel dari lokasi kebakaran sehari sebelumnya.
   "Kebakaran lahan gambut untuk pengalihan fungsi sebagai kebun sawit, baik disengaja maupun tidak, tetap melanggar hukum," kata Bambang. (NAW)

Sumber : Kompas, 5 Mei 2012, hal 13