Kamis, 31 Mei 2012

Verifikasi Diperketat : Cegah Impor Limbah Bermasalah sejak di Hulu

Jakarta, Kompas --- Pemerintah mengkaji ulang sistem verifikasi yang diterapkan dalam impor besi bekas. Sistem selama ini dinilai masih longgar sehingga ratusan ribu ton besi bekas bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya impor masuk ke kedaulatan Indonesia.
   "Banyaknya kontainer besi bekas impor yang tertahan di pelabuhan karena limbah B3 menjadi perhatian serius kami. Kami tengah mengkaji ulang sistem verifikasi proses impornya," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh di Jakarta, Jumat (5/5).
   Selama ini, lanjutnya, verifikasinya tergolong longgar. Dari pelabuhan asal, verifikasi hanya administratif. Begitu tiba di Indonesia, pengecekan fisik bersifat acak. Akibatnya, besi bekas yang diimpor sulit dipastikan terbebas dari limbah B3.
   Saat ini, pemerintah menjajaki menerapakan model verifikasi impor seperti di China. Verifikasi impor terdiri dari tiga tahapan: di pelabuhan asal, pelabuhan tujuan, dan pengecekan fisik terhadap seluruh besi bekas yang diimpor. Begitu ada bukti mengandung limbah B3, besi bekas langsung direekspor.
   Nantinya, pengecekan tak hanya acak, tetapi semua ditaruh di hamparan atau semacam penampungan untuk dicek. Untuk itu, dibutuhkan prasarana pendukung yang memadai, seperti fasilitas tempat dan tenaga penguji. "Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup," paparnya.

Sambut positif
   Dihubungi di jakarta, Deputi V Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian LH Sudariyono mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana verifikasi itu. "Prinsipnya, selesaikan persoalan di hulunya," katanya.
   Verifikasi yang baik di negara pengekspor diyakini dapat mencegah permasalahan seperti yang terjadi empat bulan terakhir. Di saat barang sudah tiba di pelabuhan tujuan, persoalan menjadi panjang. Ada biaya besar yang harus ditanggung, selain ancaman sanksi pidana.
   "Kami siap bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kedmenterian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan untuk membahas impor limbah dan sebagainya," kata Sudariyono.
   Kementerian Luar Negeri patut dilibatkan dalam pembahasan karena terkait perdagangan lintas batas negara. Selain itu, perwakilan pemerintah di negara-negara pengekspor limbah juga bisa menyosialisasikan peraturan yang berlaku di Indonesia.
   Sejak Januari 2012, setidaknya 7.000 kontainer besi bekas masuk ke Indonesia melalui sejumlah pelabuhan. Sebagian besar masih tertahan di pelabuhan untuk pemeriksaan fisik setelah ditemukan bukti sebagian kontainer mengandung limbah B3.
   Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Ismail Mandry mengatakan tertahannya besi bekas di pelabuhan mulai mengganggu produksi baja. Importasi besi bekas lebih dari 30 tahun dan baru kali ini terjadi permasalahan penahanan skala besar. (ENY/GSA)

Sumber : Kompas 5 Mei 2012, hal 13

Jumat, 25 Mei 2012

Lahan Gambut: Hentikan Pembabatan di Rawa Tripa

Nagan Raya, Kompas --- Pembukaan kebun kelapa sawit di hutan gambut Rawa Tripa membuat warga di kawasan itu dicekam kecemasan. Akibat ekspansi kebun sawit, banyak warga kehilangan mata pencaharian, ancaman banjir meningkat, air bersih sulit didapat, dan suhu udara meningkat.
   "Pembukaan lahan di Rawa Tripa harus dihentikan. Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan sawit yang terus membuka lahan," kata Suratman, warga Desa Suka Ramai, Kecamatan Darul Makmur, Sabtu (12/5).
   Sejak tahun 1980-an, sebagian besar kawasan gambut Rawa Tripa dikuasai perusahaan perkebunan sawit dengan hak guna usaha. Beberapa perusahaan memiliki lahan seluas 3.000-13.000 hektar. Kondisi ini menyebabkan luas Rawa Tripa yang semula 62.000 ha tinggal 11.504,3 ha. Padahal, Rawa Tripa ditetapkan sebagai bagian Kawasan Ekosisyem Leuser.
   Suratman menambahkan, pembukaan kebun sawit merusak lahan pertanian warga. Sebab kesuburan tanah turun, cuaca makin panas dan irigasi mati karena kurang hujan lokal.
   Saino (35), warga Desa Panton Bayu, menuturkan, sejak beberapa tahun terakhir, air bersih sulit didapat. Sebaliknya, banjir makin parah.
   Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari Halim Gurning menyatakan, selain masalah lingkungan, persoalan yang juga mengancam adalah konflik sosial antara perusahaan sawit dan warga. Jika tak segera diatasi, bisa berkembang menjadi konflik berdarah, seperti Mesuji.
   Kepala Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Nagan Raya Akmaizar mengatakan, penghentian pembukaan lahan menjadi kewenangan BPN, bukan dishutbun.
   Dalam siaran pers, Satgas Kelembagaan REDD+ menyampaikan apresiasi kepada semua kementerian dan lembaga penegak hukum atas kesigapan menangani dugaan pelanggaran hukum di Rawa Tripa. (HAN)

Sumber: Kompas, 15 Mei 2012, hal 13

Minggu, 20 Mei 2012

Perikanan: Nelayan Keluhkan Teluk Jakarta Tercemar

Jakarta, Kompas --- Nelayan kecil dan tradisional di sepanjang pantai Utara Jakarta saat ini kesulitan melaut. Pencemaran limbah yang kian pekat dan meluas di Teluk Jakarta membuat nelayan susah mendapatkan hasil tangkapan, juga memicu kegagalan panen budidaya kerang.
   Persoalan itu dikeluhkan sejumlah nelayan di Kali Baru di Kecamatan Cilincing, Muara Angke, serta Marunda di Jakarta Utara, Jumat (18/5).
   Tiharom, nelayan rajungan di Marunda, menuturkan, pencemaran limbah di Teluk jakarta selama ini berlangsung lama dan semakin parah dalam sebulan terakhir. Bahkan, dua pekan belakangan ini, nelayan tradisional tidak bisa lagi mencari ikan karena air yang pekat dan tercemar.
   Air yang tercemar limbah itu berbau menyengat, keruh, dan pekat dengan berbagai warna, seperti hitam, putih, hijau, hingga coklat kemerahan.
   Pencemaran yang parah itu mencapai radius 1 mil dari pinggir pantai, atau mendekati Pulau Seribu. Para nelayan jaring sero dengan bobot mati perahu kurang dari 2 ton hampir tak bisa lagi memperoleh udang, rajungan dan ikan. Kalaupun  ikan ditemukan, kondisinya sudah mati mengapung dan membusuk.
   "Biasanya sehari masih bisa dapat hasil tangkapan Rp 50.000. Tetapi, dua minggu terakhir tidak ada lagi yangt bisa ditangkap," ujar Tiharom, yang saat ini beralih menjadi buruh bangunan.
   Kondisi lebih memperhatikan pembudidaya kerang hijau yang gagal panen. Kerang hijau yang dipanen umumnya mati. Sebagian besar nelayan yang tidak bisa melaut dan pebudidaya ikan kini beralih profesi menjadi tukang ojek, buruh bangunan, dan pemulung untuk menyambung hidup.
   Pembuangan limbah ke laut, ujar Tiharom, semakin tidak terkendali. Limbah cair dan sampah tidak hanya dibuang ke laut sewaktu musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau. Pencemaran ini diduga kuat tidak hanya bersumber dari rumah tangga, tapi juga dari pabrik dan industri.
   Hal senada dikemukakan Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Bahari Muara Angke Syachruna Fauzi. Limbah pekat yang terus meluas menyebabkan ikan-ikan mabuk dan mengapung di  permukaan. Air yang tercemar limbah berbau dan menimbulkan gatal jika terkena kulit.
   Sebagian nelayan yang kesulitan mencari ikan terpaksa mengambil ikanyang mengapung. Namun, mereka khawatir ikan hasil tangkapannya itu terkontaminasi zat berbahaya. Ikan yang tercemar akan susah dijual," ujar Syahruna.
   Pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Soen'an Hadi Purnomo, mengemukakan, pembuangan limbah yang tidak terkendali mengganggu pencarian nelayan, khususnya nelayan kecil dengan daya jelajah serba terbatas. "Pembuangan limbah seharusnya tidak dilakukan pada wilayah tangkapan nelayan kecil dalam radius kurang dari 4 mil," ujarnya. (LKT)

Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 18
  

Tambang Manggarai: Kisah Penyesatan Terus-menerus

   Penerbitan izin usaha pertambangan bagi PT MT keluar tanpa sosialisasi kepada masyarakat dan tanpa surat rekomendasi dua bupati dari dua wilayah yang bakal terkena dampak.
   Akibatnya, muncul dugaan penerbitan izin usaha pertambangan tersebut terkait erat dengan dana politik. Berita ini adalah "berita biasa".
   Kegiatan pertambangan tanpa sosialisasi bukan lagi berita. Ditulis pun tak akan mengubah keadaan. Kejadian akan berulang terus dan terus di berbagai tempat di pelosok Tanh Air. Tak ada lagi pembelaan bagi rakyat.
   Investor mengklaim telah melakukan sosialisasi. Contoh nyata, kisah dari Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.
   Di wilayah itu, sosialisasi yang dimaksud investor adalah datang ke lokasi, memasang patok. Jika warga bertanya, mereka menegaskan, "Kami telah mengantongi izin dari pusat." Jika masyarakat tetap menolak, investor akan mengajak "berdialog". Mengutip Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, investor mengatakan, "Hak kalian hanya sampai 25 sentimeter di bawah permukaan tanah. Selebihnya milik negara."
   Persoalan pertambangan sesak dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara.
   Pemberitaannya di berbagai media massa telah demikian telanjang, tetapi selalu membentur "tembok kekebalan" pemerintah berbagai level dan sektor. Pemerintah tak peduli lagi.
   Bupati Manggarai Chris Rotok menyatakan, " Saya tak akan mengizinkan usaha pertambangan karena dikhawatirkan mengganggu usaha pertanian dan perkebunan masyarakat serta pariwisata."
   Faktanya, Simon Suban Turkan SVD dari lembaga swadaya masyarakat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice Peace Integrity of Creation) Keuskupan Ruteng menuliskan, "Ada 22 izin per Desember 2011 (di bidang pertambangan). Izin mencakup luas 27.000 hektar (luas Manggarai 191.562 hektar)". Sekitar 14 persen Kabupaten Manggarai dijadikan wilayah pertambangan. Artinya, kerusakan yang diakibatkan jelas jauh lebih luas.
   Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, mineral dan minyak bumi adalah sumber daya terhabiskan. Takkan ada masa depan bagi warga di daerah tambang. Penghidupan mereka lenyap sejak tanah mereka dikeruk. Itulah buah penyesatan demi penyesatan.

Sabtu, 19 Mei 2012

Mobil Ramah Lingkungan: Mau Sukses, Jadikanlah Simbol Status

   Tak cukup sekedar bisa membuat mobil listrik atau mobil ramah lingkungan. Diterima publik adalah persoalan lain lagi. Tak mudah.
   Mobil, seberapapun harganya, jika bisa mendongkrak pamor, selalu ada pembelinya di negeri yang katanya harus mencabut subsidi BBM untuk menutup APBN-nya ini. Di kota-kota besar seperti Jakarta, mobil adalah simbol status. Sekalipun rumah masih mengontrak, tak sedikit yang memilikinya.
   Betapa tak mudah mengiming-imingi publik dengan mobil baru, yang fungsi dan gengsinya masih diragukan. Apalgi kalau jelas nilai jualnya kemudian. Tentu masih banyak lagi faktor penentu lain yang mendorong seseorang menginvestasikan dana yang jauh dari penghasilannya.
   Melihat keadaan ini, seyogyanya program menuju kendaraan ramah lingkungan menjadi program jangka panjang.

Peran perguruan tinggi
   Ingat mobil sel surya Widya Wahana, karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang tahun 1989 menaklukan Jakarta-Surabaya dalam seminggu? Kendaraan listrik bertenaga matahari itu tercatat dalam sejarah emas. Namun, sekian tahun lewat, tak ada yang mau mewujudkannya dalam produk komersial.
   Belakangan, Rektor Universitas Indonesia bertekad membuat mobil listrik untuk kebutuhan kampusnya. Mobil yang akan diterjunkan pada lomba Shell Eco-Marathon Asia di Sepang, Malaysia, Juli mendatang, itu masih sebatas untuk kebutuhan lingkungan kampus saja.
   Bagaimanapun, untuk bisa produksi masal perlu perusahaan otomotif yang tidak hanya bermodal besar, tetapi juga berpengalaman membuat dan memasarkan produk otomotif. Perguruan tinggi sebagai perintis membuktikan bangsa ini bisa membuat itu. Namun, jelas mereka tak bisa dituntut menjadi produsen.
   Pada kenyataannya, industri lokal tak berkembang. Belasan perusahaan sejak 1993 tak berhasil. Sangat sulit bersaing dengan perusahaan raksasa otomotif Jepang ataupun Jerman yang lama bercokol di negeri ini.
   Ingat nama mobil Timor dan Bimantara? Mereka ini di antaranya yang pernah ingin membuat mobil nasional. Yang masih berjuang bertahan adalah Komodo. Belakangan yang paling fenomenal adalah mobil Esemka buatan anak SMK yang masih harus tertatih-tatih tanpa dukungan berarti dari pemerintah.
   Padahal, seperti mobil Komodo dan Esemka, seharusnya bertumbuh dan diandalkan sebagai perusahaan lokal mandiri. Bila perlu, disorong riset mengembangkan mobil ramah lingkungan. Namun, sepertinya pemerintah menginginkan citranya sendiri yang muncul.
   Lebih bermanfaat jika pemerintah menyiapkan infrastruktur yang bisa mendukung kendaraan ramah lingkungan, termasuk menawarkan kemudahan dan insentif bagi perusahaan yang mengembangkannya.

Rintisan
   Tahun 2005, Jakarta sempat dibanjiri motor listrik dari China. Namun berbeda dengan yang terjadi di "Negeri Tirai Bambu", di isni perkembangan motor listrik satu demi satu importirnya rontok. Tak berkelanjutan.
   Kondisi transportasi di negeri ini, antara lain, karena pasar terlanjur dikuasai kendaraan bensin. Sulit menawarkan motor listrik. Bukan hanya soal kecepatan dan beragamnya penawaran motor bensin, cara pembayaran dan layanan purna jualnya pun menarik.
   Adapun pemilik motor listrik harus mengupayakan perbaikannya sendiri jika ada gangguan pada motor. Biasanya sangat sulit mencari suku cadangnya.
   Ditambah kelangkaan ketersediaan infrastruktur penyetruman dan lamanya mengisi ulang, kian mengkhawatirkan calon pemilik mobil listrik Tingginya kemacetan membuat konsumsi pemakaian listrik boros.
   Upaya memperoleh mobil listrik paling murah saat ini bisa dengan konversi mobil pembakaran-dalam dengan mengganti penggerak listrik. Menyediakan motor listrik dan aki penyimpan listrik saja bisa habis ratusan juta rupiah. Sementara dengan Rp 150 juta sudah banyak mobil bensin baru bisa dipilih.
   Mobil listrik sekarang banyak versinya. Selain mengandalkan penyetruman ulang dari listrik PLN, ada yang menggunakan sel surya atau keduanya (hibrida).
   Yang menarik sebetulnya motor listrik bertenaga fuel cell, yaitu pembangkit listrik kimiawi yang bekerja menggabungkan gas hidrogen (disimpan di tangki) dengan oksigen dari udara. Reaksi kimia berupa listrik menggerakan motor listrik dan uap air yang sangat ramah lingkungan.
  Namun, membawa gas hidrogen pada wahana bergerak masih beresiko karena mudah meledak. Kini, raksasa otomotif dunia berlomba menemukan bahan yang tepat, seperti menggunakan metanol yang sebelumnya digunakan dipisahkan dulu hidrogennya dengan membran khusus. Infrastruktur pengisian metanol sama seperti BBM.
   Cara lain, membuat hibrida, yaitu mobil listrik dengan cadangan mesin pembakaran-dalam. Mobil ramah lingkungan lain adalah menggunakan bahan bakar biodiesel dan gas alam cair.

Solusi
   Melihat banyak kendala yang kompleks, tak ada jalan lain selain sosialisasi terus-menerus secara kreatif dan cerdas. Tujuannya, mengenalkan kepada publik supaya lebih dekat, terutama untuk mengangkat nilai gengsinya.
   Bila perlu, acara car free day mengecualikan mobil atau motor listrik untuk tetap boleh berlalu lintas. Buat pula parade mobil listrik dengan berbagai mobil barunya, sekaligus mengenalkan produk baru ataupun hasil modifikasi anak negeri.
   Ciptakan suasan kompetitif, seperti Shell Eco-Marathon, untuk mobil layak jalan. Jangan terlalu ambisius, bagaimanapun pasar yang menentukan. Mulailah dari lingkungan terbatas, seperti kampus, tempat wisata, dan kendaraan umum.
   Namun, yang harus dipikirkan juga, jangan seperti fenomena telepon seluler. Banyak perusahaan sekedar tempel nama pada produk impor tanpa memikirkan kandungan lokal. Bila ini dibiarkan, hampir bisa dipastikan akan banjir kendaraan dari China. Bagaimanapun, mengimpor dari China lebih murah daripada bersusah payah mengembangkan sendiri.

Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 14

Kasus Rawa Tripa: Pekan Depan, Pemeriksaan Saksi Perusahaan

Jakarta, Kompas --- Penyidik gabungan Kementerian Lingkungan Hidup, Polri dan Kejaksaan Agung, Senin (21/5) dijadwalkan mulai memeriksa saksi-saksi atas pembakaran rawa gambut Rawa Tripa di KAwasan Ekosistem Leuser Aceh. Saksi-saksi itu dari perusahaan PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur 2. Ini tindak lanjut penyidikan di lapangan beberapa waktu lalu.
   "Sekarang pemanggilan pertama untuk saksi-saksi dari kedua perusahaan. Saksi lain nantinya juga dari instansi pemerintah, seperti Pemprov Aceh dan Badan Pertanahan Nasional," ucap Sudariyono, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat di Jakarta.
   Saat masih di Nagan Raya, tim telah memeriksa saksi-saksi warga setempat. Pemberkasan untuk memperkuat temuan penyidik.
    Di lapangan, tim penyidik menemukan areal Rawa Tripa dibersihkan dan dibakar untuk perkebunan sawit. Pembakaran lahan ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 108. Ancaman penjara minimal 3-10 tahun, denda minimal hingga Rp 10 miliar.
   Selain sisi pidana, penyidik juga menggunakan hukum perdata sebab ada kerusakan lingkungan akibat pembakaran yang merugikan negara. "Jumlah ganti rugi masih kami taksir. Proses perdata ini juga berjalan bersama-sama ranah pidana," ucapnya.
   Kasus Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan beberapa LSM di Aceh menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar pada areal Kawasan Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak ma\jelis hakim.
   Kejanggalan pemberian izin ini lalu tercium Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian Lingkungan Hidup, Polri dan Kejaksaan menangani kasus ini.
   Dihubungi Jumat sore, Direktur PT Surya Panen Subur, Eddy Sutjahyo Busirim telah menerima surat pemanggilan sebagai saksi. "Agendanya hari Selsa. Kami pasti hadir dan membawa bukti serta data," ucapnya.
   Ia mengatakan, perusahaannya tak membakar, tetapi jadi korban pembakaran oleh tetangga kebun. Kamis sore, pegawainya di Rawa Tripa bersiaga 24 jam karena terjadi kebakaran di areal PT Kalista Alam.
   " Kami langsung lapor ke polisi dan orang lingkungan hidup setempat untuk melihat sendiri kebakaran yang terjadi," ucapnya.

Tingkatkan koordinasi
   Secara terpisah, Tjokorda Nirarta Samadhi, Koordinator Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Satgas REDD+, sepakat kasus Rawa Tripa menjadi jalan kaji ulang areal-areal pada peta moratorium (Peta Indikatif Penundaan Izin Baru) yang telah dikeluarkan.
   Ia merekomendasikan agar sejumlah instansi pemerintah berkoordinasi dan mengawasi. (ICH)

Selasa, 15 Mei 2012

Pembangunan Berkelanjutan: Yang Kecil, yang Memelopori

he Sinking Tuvalu
Isu pembangunan berkelanjutan terus bergulir dan terus membesar bak bola salju. Berbagai konferensi tingkat global soal pembangunan terus mewacanakan pembangunan berkelanjutan.

Wacana pembangunan berkelanjutan bersentuhan langsung dengan isu ekonomi ramah lingkungan (green economy) dan isu pembangunan rendah emisi karbon dioksida - penyebab pemanasan global.

Perdebatan panjang antara kubu negara berkembang dan negara maju terus berlangsung. Siapa yang harus membayar biaya dari dampak pemanasan global -yang memicu perubahan iklim- yang bermuara pada berbagai bencana tersebut? Semula muncul wacana, negara maju yang harus membayar karena telah menikmati hasil pembangunan yang menyebabkan pemanasan global.

Namun, berawal dari Konferensi Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan, tahun lalu, para pihak pda Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC) kini harus bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global. Berapapun besarnya.

Semua negara harus "menyingsingkan lengan baju". Pernyataan serupa semakin sering muncul. Pada pertemuan Global Summit Green Growth di Seoul, Korea Selatan, pekan lalu, Bank Dunia menegaskan hal itu.

Tak hanya mengukur dari apa yang diproduksi, tetapi juga mesti menghitung apa yang telah digunakan dan polusi yang muncul pada proses produksi.

"Negara berkembang jangan mengulangi pola pertumbuhan abad lalu. Harus tumbuh lebih cerdas, lebih ramah lingkungan, dan lebih cepat," kata Direktur Jenderal Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIDO) Kandeh Yumkella.

"Yang mengatakan bahwa negara miskin tidak dapat tumbuh tanpa merusak lingkungan dan membakar sumber energi yang murah dan kotor adalah konsep yang keliru," tambahnya.

Menurut dia, "membangun dengan cara yang ramah lingkungan itu adalah sesuatu yang mahal" adalah mitos belaka.

Masayoshi Sen, pendiri dan CEO perusahaan telepon seluler Jepang, Softbank Corp, mendesak diakhirinya pembangunan tenaga nuklir yang tak bisa dikontrol- menyusul tragedi nuklir Fukushima tahun lalu. Ia mendukung tenaga matahari dan angin untuk negara-negara Timur Tengah.

Negara kecil menjawab
Apa yang diutarakan Yumkella langsung dijawab negara-negara kecil di Pasifik. Hal itu disampaikan sejumlah pemimpin negara-negara kepulauan kecil pada pertemuan terpisah yang diprakarsai Program Pembangunan PBB (UNDP) dan pemerintah Barbados, pekan lalu.

Kepulauan Cook dan Tuwalu di Pasifik bermaksud membangun pemangkit dari energi terbarukan. Negara-negara itu akan menggunakan bahan bakar dari kelapa dan panel matahari. Tokelau, yang terdiri atas pulau kecil, berjanji mandiri energi tahun ini. St Vincent dan Grenada di Kepulauan Caribia berkomitmen 60 persen pembangkitnya tahun 2020 adalah energi terbarukan.

Saat Tuvalu dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 0,2 persen berkomitmen, Indonesia yang pertumbuhannya 6,1 persen sibuk "menghemat BBM". Katanya, Indonesia kaya sumber energi terbarukan. (AFP/ISW)

Sumber: Kompas, 15 Mei 2012, hal 13

Senin, 14 Mei 2012

Menjaga Nusantara: Lindungi Teluk Laikang demi Rumput Laut

Oleh Aswin Rizal Harahap
Sebelum tahun 2000, kondisi lingkungan Teluk Laikang memprihatinkan. Air lautnya keruh dan kawasan pesisir gundul. Nelayan leluasa memakai bom ikan dan pestisida yang menghancurkan terumbu karang. Tidak ada lagi kawanan burung kuntul (Egretta garzetta) yang mempercantik panorama teluk di ujung selatan Pulau Sulawesi itu.
   Jumlah ikan terus menyusut dan kondisi perairan yang bergelombang besar tak cocok untuk budidaya rumput laut. Suasana dusun Puntondo, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, Sulawesi Selatan, kian sunyi ditinggal warga yang kehilangan mata pencarian. Mereka memburu nafkah di Kota Makasssar, 60 kilometer arah Utara Puntondo.
   ...
   Keduanya kembali ke kampung halaman untuk berbudi daya rumput laut. kala itu, sejumlah nelayan membudidayakan rumput laut dengan memakai rakit dan patok dari bambu. Namun, penggunaan metode tradisional itu terganggu derasnya gelombang di Teluk Laikang akibat kerusakan lingkungan.
   Kondisi di Puntondo mulai  berubah seiring kehadiran Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) pada tahun 2001. Lembaga swadaya masyarakat itu mampu meyakinkan warga Puntondo untuk bersama-sama mengubah "wajah" Teluk Laikang. Manajer Divisi Program PPLH Puntondo, Fatima Ramadhani, mengtakan upaya membenahi lingkungan diawali dengan membentuk tiga kelompok di kalayangan nelayan.
"ada kelompok terumbu karang, kelompok tanaman bakau, dan pengguna alat tangkap ikan statis yang ramah lingkungan," ujar Fatima. Setiap kelompok yang terdiri dari 25-30 orang itu bertugas memastikan program pemulihan lingkungan di wilayah kerja masing-masing berjalan sesuai rencana.
   Di kelompok terumbu karang, warga Puntondo bersatu menghalau nelayan yang masih menggunakan alat ta ngkap ikan berbahaya, seperti bom dan pestisida. Selama ini penggunaan alat tangkap itu umumnya dilakukan nelayan pendatang dari Galesong dan Tanakeke, Takalar, yang menggunakan kapal besar berkapasitas 10 ton.
   Menurut tokoh masyarakat Puntondo, Ijar Daeng Jare (45), tak jarang mereka bersitegang saat "mengusir" para nelayan pendatang. Berkat komitmen kuat dari warga, nelayan dari luarpun lambat laun tidak lagi mencari ikan di kawasan Teluk Laikang. "Kami terpaksa menghalau mereka agar proses pemulihan dan pemeliharaan tidak sia-sia," ujarnya.
   Setelah teluk terbebas dari aktivitas bom ikan, nelayan pun diajarkan metode transplantasi atau penanaman koral pada bagian terumbu karang yang rusak. Mereka dilatih memasang rak berisi substrat koral di sepanjang tubuh terumbu karang yang rusak di kedalaman 3-4 meter. Koral itu adalah jenis bercabang (Acropora) yang banyak ditemui di Teluk Laikang.
Transplantasi ini bertujuan memulihkan dan mempercepat pertumbuhan koral dari 1 sentimeter menjadi 3 sentimeter per tahun. Demi tujuan itu tercapai, kelompok terumbu karang yang masih bagus, perawatannya cukup dibersihkan dari sedimentasi secara rutin," kata Fatima.
   Berdasarkan hasil penelitian tim Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, 60 persen dari total 1 hektar terumbu karang di Teluk Laikang masih berkondisi baik. Sisanya terumbu karang yang memutih (25 persen) dan mati (15 persen).
   Kondisi pesisir teluk kini tak lagi gundul setelah nelayan menanami ribuan tanaman bakau sejak satu dekade silam. Hamparan pohon bakau setinggi 2-3 meter berderet kokoh sepanjang 8 kilometer di Dusun Puntondo dan Laikang. Meskipun panjang pesisir Teluk Laikang 40 km, penanaman bakau difokuskan pada dua dusun yang memanfaatkan perairan untuk budidaya rumput laut.
   Pemulihan lingkungan teluk juga dilakukan nelayan dengan menggunakan alat tangka ikan statis. Mereka bergotong royong membuat alat tangkap ikan tidak bergerak yang biasa disebut sero bila, bagang tancap, dan bandong. Ketiga alat yang terbuat dari bambu, jaring, dan patok kayu itu ditopang pemberat berpa semen yang diikat ke bambu di ke empat sisi.
   Selain efisien dan ramah lingkungan, metoda penangkapan ikan ini menghindari eksploitasi ikan secara berlebihan. Jaring perangkap berikuran 10 x 10 meter dipasang di daerah yang dilalui gerombolan ikan. Ratusan alat statis itu kini terhampar di Teluk Laikang hingga 1,5 mil dari garis pantai.
   Berbagai upaya yang telah dilakukan selama 10 tahun terakhir itu perlahan-lahan efektif membenahi kualitas ekosistem teluk. Komunitas nelayan Puntondo bahkan meraih juara pertama lomba pelestarian lingkungan berbasis kelompok yang diadakan Dinas kelautan dan Perikanan Sulsel tahun 2010.
   Pemulihan terumbu karang mulai mengundang datangnya ikan. Pada saat terumbu karang mulai mengundang datangnya ikan. Pada saat tertentu ikan karang berwarna-warni tampak jelas berkejaran di sela-sela karang. Di sekitar kawasan zona inti terumbu karang terpasang sejumlah larangan.
   Reimbunan pohon bakau kini jadi habitat sejumlah fauna, seperti burung, kepiting, ikan dan udang. Sedikitnya terdapat 28 jenis burung di kawasan Teluk Laikang, antara lain kuntul, mahkota biru kehijauan (Holycon chloris), kaca mata laut (Zosterops chloris). dan kutilang (Pycnonotus aurigaster). PPLH pun memanfaatkan Dusun Puntondo sebagai tempat wisata dan penelitian.
   Membaiknya kondisi lingkungan teluk membawa berkah bagi 158 nelayan yang bersandar pada budidaya rumput laut. Pemulihan terumbu karang efektif meredam derasnya arus laut yang berpotensi mengganggu pertumbuhan rumput laut. Begitu pula dengan penggunaan bom ikan dan pestisida yang berdampak negatif terhadap budidaya rumput laut.
   "Sisa racun bom ikan dan pestisida dapat merusak rumput laut. Padahal, rumput laut membutuhkan nutrisi yang hanya terkandung di kawasan teluk," kata Muhammad Kasim, aktivis lingkungan yang kini menjadi nelayan di Puntondo.
   Perairan seluar 350 hektar telah dimanfaatkan 158 nelayan dengan budidaya rumput laut. Luasan itu baru 15 persen dari potensi rumput laut di Teluk Laikang 2.471 hektar. Harganya Rp 6.000 per kg.
   "Hasil dari rumput laut sangat lumayan karena kalau mencari ikan kami tak mampu bersaing dengan pemilik kapal besar," ungkap Rusli. Budidaya rumput laut juga mampu menyerap banyak tenaga kerja, seperti kaum ibu dan remaja perempuan.

Bersambung
Sumber: Kompas, 4 Mei 2012, halaman 24

Jumat, 11 Mei 2012

"Kaltim Green" Dinilai Tidak Tepat

"Kaltim Green", yang digaungkan Provinsi Kalimantan Timur, dinilai tak cocok dengan realitasnya. Pola pembangunan tak ramah lingkungan masih diterapkan. Beberapa proyek di Kota Balikpapan mengancam kawasan pesisir, seperti pembangunan kawasan industri Kariangau, jembatan Pulau Balang dan jalan penghubungnya, serta coastal road (kawasan bisnis dan jalan pinggir pantai) sepanjang 9 kilometer menyisir pantai Balikpapan. Hal ini mengancam Teluk Balikpapan dan sekitarnya yang menjadi habitat bekantan, pesut, dan mangrove. Proyek jalan tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 99 km senilai Rp 6,2 triliun akan melintasi 2 kawasan konservasi, yakni 8 km di hutan lindung Sungai Manggar dan 24 km di taman hutan rakyat Bukit Soeharto. "Kami bukan anti pembangunan, tetapi seharusnya Kaltim menghitung ulang kapasitas, daya dukung lingkungan, potensi SDA, dan kebutuhan masyarakat," kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry N. Furqan di sela pembukaan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup XI di Balik Papan, Kamis (12/4). (PRA)

Sumber: Kompas, 13 April 2012, hal 12

Energi Terbarukan : Penggunaan Dimulai dari Masyarakat Kota

Jakarta, Kompas -- Ketiadaan subsidi untuk energi terbarukan bukan hambatan untuk pengembangan. Keragaman sumber energi terbarukan berpeluang untuk produksi listrik.
   "Sebagai contoh, pengembangan sumber energi terbarukan dengan sinar matahari bisa dimulai oleh masyarakat di perkotaan," kata Direktur Pusat Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa, Kamis (12/4), di Jakarta..
   Kesulitan pengembangan sel surya karena investasi awal masih mahal. Hal ini disebabkan masih sedikit penggunanya.
   Menurut Iwa, kalau pengembangan energi surya secara masal tak dimulai; biaya akan tetap mahal. Pengembangan bisa dimulai oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi kuat. Meski lebih mahal dibandingkan listrik dari PT PLN (Persero), proyek ini harus dimulai demi nasib bumi.
   Harga listrik sel surya Rp 4.000 per kilowatt jam. Saat ini listrik dari PLN dijual rata Rp 700 per kilowatt jam.
   "Energi terbarukan di daerah terpencil juga masih tetap memiliki peluang," kata Iwan.
   Selama ini listrik di daerah terpencil lebih banyak dipenuhi generator berbahan bakar solar. (minyak fosil). Biaya listriknya di atas Rp 2.400 per kilowatt jam. Harga ini semestinya bisa disaingi oleh energi terbarukan, seperti mikro hidro, biomassa, atau panas bumi.

Biomassa
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kardaya Warnika mengatakan, saat ini sudah diimplementasikan kebijakan kenaikan tarif pembelian listrik dari biomassa. Harga listrik dari biomassa yang semula Rp 600 per killowatt jam dibeli PLN dengan harga Rp 1.000 per kilowatt jam.
   "Prinsip kebijakan kenaikan tarif bukan untuk dinegosiasikan. Ini harus diimplementasikan untuk memulai pemanfaatan energi terbarukan secara optimal," kata Wardaya.
   Menurut dia, penentuan kenaikan tarif jual listrik dari energi terbarukan ke PLN perlu dilanjutkan untuk mikrohidro dan panas bumi. Implementasi lain, seperti energi surya dan energi angin, masih sangat sedikit.
   Menurt Iwa, berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, masyarakat diperbolehkan menjual listrik ke PLN. Pengembangan energi terbarukan masih bergantung pada kebijakan pemerintah.

Sumber: Kompas, 13 April 2012

Kamis, 10 Mei 2012

Laju Deforestasi Hutan 0,5 juta Hektar

Jakarta, Kompas --- Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo membantah pernyataan Greenpeace mengenai kecenderungan hilangnya 4,9 juta hektar hutan Indonesia, yang justru terjadi pada masa moratorium penebangan hutan. Justru menurutnya, laju deforestasi hutan menurun menjadi 0,5 juta hektar per tahun pada periode 2009-2011.
   "Data di Kementerian Kehutanan dan laporan lembaga pangan PBB (FAO, Food and Agriculture Organization) malah menyatakan, laju deforestasi beberapa tahun terakhir berkurang drastis menjadi sekitar 500.000 hektar setiap tahun," kata Agus  Purnomo, Senin (7/5).
   Diberitakan sebelumnya, moratorium izin kehutanan dinilai masih mandul setelah berjalan setahun dari rencana dua tahun. Spesialis Sistem Informasi Geografis Senior Greenpeace Kiki Taufik menyatakan, ada kawasan hutan berpotensi hilang dari kawasan moratorium seluas 4,9 juta hektar, antara lain karena tumpang tindih konsesi.
  Menurut Agus, perhitungan potensi hilangnya kawasan moratorium seluas 4,9 hektar itu sulit dipahami. Sebab, dalam keadaan normal tanpa moratorium hutan, seperti periode 2001-2009, laju deforestasi hutan berkisar 1,1 juta hektar per tahun.
   Agus tak memungkiri masih banyak persoalan tumpang tindih izin konsesi hutan. Namun tidak serta merta tumpah tindih itu berdampak pada deforestasi hutan. Pemerintah terus berupaya menertibkan adanya tumpang tindih izin tersebut.
   "Kami berterima kasih dan terbuka terhadap kritik dan saran yang ditujukan terkait pelaksanaan moratorium hutan itu," kata Agus. (WHY)

Sumber:  Kompas, 9 Mei 2012, hal 13.
 

Senin, 07 Mei 2012

Verifikasi Diperketat, Cegah Impor Limbah Bermasalah sejak di Hulu

Jakarta, Kompas --- Pemerintah mengkaji ulang sistem verifikasi yang diterapkan dalam impor besi bekas. Sistem selama ini dinilai longgar sehingga ratusan ribu ton besi bekas bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya diimpor masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia.
   "Banyaknya kontainer besi bekas impor yang tertahan di pelabuhan karena mengandung limbah B3 menjadi perhatian serius kami. Kami tengah mengkaji ulang sistem verifikasi proses impornya," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dedy Saleh di Jakarta, Jumat (4/5).
   Selama ini, lanjutnya, verifikasi tergolong longgar. Dari pelabuhan asal, verifikasi hanya administratif. Begitu tiba di Indonesia, pengecekan fisik bersifat acak. Akibatnya, besi bekas yang diimpor sulit dipastikan terbebas dari limbah B3.
   Saat ini, pemerintah menjajagi menerapkan model verifikasi impor, seperti di China. Verifikasi impor terdiri dari tiga tahapan: di pelabuhan asal, pelabuhan tujuan, dan pengecekan fisik terhadap seluruh besi bekas yang diimpor. Begitu ada bukti mengandung limbah B3, besi bekas langsung direekspor.
   Nantinya, pengecekan fisik tak hanya acak, tetapi semua ditaruh di hamparan atau semacam penampungan untuk dicek. Untuk itu, dibutuhkan prasarana pendukung yang memadai, seperti fasilitas tempat dan tenaga penguji. " Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup," paparnya.

Sambut positif
   Dihubungi di Jakarta, Deputi V Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian LH Sudariyono mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana verifikasi itu. "Prinsipnya, selesaikan persoalan di hulunya," katanya.
   Verifikasi yang baik di negara pengekspor diyakini dapat mencegah permasalahan seperti yang terjadi empat bulan terkahir. Di saat barang sudah tiba di pelabuhan tujuan, persoalan menjadi panjang. Ada biaya besar yang harus ditanggung, selain ancaman sanksi pidana.
   "Kami siap bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk membahas impor limbah dan sebagainya," kata Sudariyono.
   Kementerian Luar Negeri patut dilibatkan dalam pembahasan karena terkait perdagangan lintas batas negara. Selain itu, perwakilan pemerintah di negara-negara pengekspor limbah juga bisa menyosialisasikan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sejak Januari 2012, setidaknya 7.000 kontainer besi bekas masuk ke Indonesia melalui sejumlah pelabuhan. Sebagian besar masih tertahan di pelabuhan untuk pemeriksaan fisik setelah ditemukan bukti sebagian kontainer mengandung limbah B3.
   Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Ismail Mandiri mengatakan, tertahannya besi bekas di pelabuhan mulai mengganggu produksi baja. Importasi besi bekas lebih dari 30 tahun dan baru kali ini terjadi permasalahan penahanan skala besar.

Kamis, 03 Mei 2012

Sedulur Sikep Marawat Bumi

Oleh Maria Hartiningsih, Kompas 4 Mei 2012, hal 1
Kalau pada waktunya hasil panen tak lagi mencukupi, tanyalah sebabnya pada diri sendiri, apakah kita sudah menghormati Bumi.

Gunretno, tokoh Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Pati Jawa Tengah, melanjutkan. "Yen ora panen, ya kuwi merga tingkah lakune dhewe. Lemahe kudu diajeni, kudu dimulyaake, kaya ibu sing nglairake. Lemah kuwi Ibu Pertiwi, sing ngailare urip sing ndadekna kecukupan kawit jamane nenek moyang nganti dina iki."
   Kalau tidak panen, itu karena tingkah laku (kita) sendiri. Bumi harus dihormati, harus dimuliakan, seperti ibu yang melahirkan (kita). Bumi adalah Ibu Pertiwi yang melahirkan hidup dan menjadikan (hidup) berkecukupan, dari jaman nenek moyang hingga hari ini."
   Tanah air, dalam persepsi komunitas Samin, berarti "tanah dan air. Mencintai tanah air berarti mencintai kehidupan. Alam selalu memberi dan merawat kehidupan, kalau manusia juga melakukan hal yang sama terhadap alam.
   "Ritual sedekah bumi setahun sekali itu untuk menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada Bumi," ujar Gunretno.

Proses "dandan-dandan"
   Kami tiba di rumahnya pada suatu pagi. Rumah tradisional itu menggunakan penyangga kayu, berdinding bata yang direkat dengan kapur tanpa semen. Jendela berkisi-kisi membuat udara segar bebas masuk ke ruang tamu. Sejauh mata memandang, terlihat hamparan padi menguning.
   Bagi Sedulur Sikep, ngajeni, ngopeni, dan melestarikan keseimbangan alam dengan demunung -artinya memahami sifat alam yang hanya boleh dimanfaatkan secukupnya (tidak serakah)- adalah kunci selamat dalam menjalani hidup.
   "Kalau tidak, jangan kaget kalau alam yang akan menata keseimbangannya sendiri," Gunretno mengingatkan.
   Formulasi sederhana itu bisa dijelaskan secara ilmiah. Banjir bandang tahun 2001 di Kayen -sejauh 7 kilometer darti Sukolilo- sangat bisa jadi disebabkan oleh terganggunya ekosistem karst oleh penggalian di atas.
   Menata keseimbangan berarti genepe alam (genapnya pranata alam), melalui banjir, tanah longsor, kekeringan, hama penyakit dan lain-lain. "Manusia adalah bagian dari alam. Makanya harus dandan-dandan (memperbaiki sikap) supaya jangan ada korban dan dampak lebih besar dari proses alam menyeimbangkan diri."
   Gunretno bersama komunitas Sedulur Sikep dan warga masyarakat sekarang melakukan proses dandan-dandan. Salah satunya, "Kami melakukan cara bertani organik, tanpa pupuk dan pestisida kimia."
   Mereka membuat pupuk cair yang bahan-bahannya beradal dari alam sekitar, yakni air kelapa, air bekas cucia beras (leri), daun kelor, dan batang pisang, yang difermentasikan dengan tetes tebu selama lebih kurang satu bulan.
   "Dengan pupuk alami, tidak dibutuhkan pestisida apapun. Karakter pestisida membunuh, padahal ekosistem sudah menjaga alam," kata Gunretno. "Hasil panen per hektar 8,8 ton dua kali setahun, tiga kali dengan palawija. Kami melakukan pemuliaan benih."
   Sebenarnya, begitulah cara bertani Sedulur Sikep sebelum program pemerintah di  bidang pertanian -mengikuti konsep Revolusi Hijau- "memaksakan" cara bertani dengan pupuk dan pestisida kimia. Benih disediakan. Sistem pengairannya berbeda dengan sistem tradisional tadah hujan. Tujuannya saat itu "menggenjot" produksi.
   Yang terjadi, tanahnya "sakit" dan tanaman rentan hama. "Menyembuhkan tanah tak bisa sekejap karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia sudah cukup lama," katanya.

Melawan eksploitasi
   Dengan pedoman hidup selaras dengan alam, bisa dipahami kalau rencana perluasan pabrik semen PT Semen Gresik ditolak keras. Meski menghadapi kekerasan sistemik, tuntutan warga menolak eksploitasi galian C dikabulkan Mahkamah Agung tahun 2010. Namun tahun itu juga, Kayen dan Tambakromo diincar PT SMS, anak perusahaan PT Indocement Tunggal Perkasa.
   Sukolilo, Kayen dan Tambakromo adalah tiga kecamatan di Kabupaten Pati yang berada di punggung Pegunungan Kendeng Utara. Bersama lima kecamatan di Kabupaten Grobongan dan satu kecamatan di Kabupaten Blora, kawasan itu dikenal sebagai kawasan karst Sukolilo. Kawasan tersebut diincar karena "Kandungan CaO-nya (kalsium oksida), bahan baku semen, lebih dari 50%, "ujar ahli geografi UGM, Eko Haryono.
   Menurut mBah Kasmari (56), alam memberi keberlimpahan hidup disitu. "Kalau dibangun pabrik semen, semua habis," sambung mbah Kusno (58).
   Rumah Kusno berjarak hanya 20 meter dari tapak pabrik. Hampir semua rumah di dua kecamatan itu memasang pernyataan tolak pabrik semen, mengibarkan bendera, dan menancapkan bambu runcing.
   Berdasarkan penelusuran Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta, ada 321 mata air besar dan kecil serta 117 mulut goa memagari kawasan karst Sukolilo. Ditemukan juga 109 mata air di Kayen dan Tambakromo serta 28 goa dan lima ponor (cekungan tempat air permukaan masuk). "Pendataan  di lapangan belum selesai," ujar Sunu Wijanarko dari ASC.
   Perjuangan komunitas Sedulur Sikep bersama masyarakat sebenarnya tak hanya menyangkut keberlangsungan hidup petani di Kabupaten Pati. Sebab, jebolnya kawasan karst Sukolilo akan menjadi padanan nasib seluruh kawasan karst di Indonesia. (SON/FIT)

Lihat juga video "Sedulur Sikep Merawat Kehidupan" di vod.kompas.com/sedulursikep