Sabtu, 22 September 2012

Angin Dapat Mencukupi Kebutuhan Energi Dunia



Oleh Seth Borenstein | Associated Press

Angin di Bumi cukup menghasilkan energi bagi seluruh dunia, setidaknya secara teknis, seperti yang ditemukan dalam dua penelitian terbaru.

Tetapi para ilmuwan hanya melihat dari sisi fisika, bukan dari segi biaya. Para ahli lainnya menyatakan bahwa akan sangat mahal untuk membangun sejumlah turbin angin yang dibutuhkan dan mendirikan sebuah sistem yang mampu menyalurkan energi yang dihasilkan kepada seluruh konsumen.

Penelitian itu dilakukan oleh dua tim ilmuwan AS yang berbeda, yang juga dipublikasikan di dua jurnal yang berlainan. Mereka menghitung, teknologi turbin angin yang tersedia dapat menghasilkan ratusan triliun watt energi. Itu merupakan 10 kali lipat energi yang dikonsumsi dunia saat ini.

Energi angin tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti batu bara, minyak dan gas alam. Namun ada pertanyaan yang muncul di awal penelitian: apakah keterbatasan fisik akan mencegah dunia menggunakan energi angin?

Penelitian terbaru yang dilakukan secara mandiri, menunjukkan keterbatasan energi angin tidak menjadi suatu masalah. Uang lebih mungkin menjadi penyebabnya.

“Itu hanya masalah ekonomi dan teknologi, bukan pertanyaan mendasar mengenai sumber ketersediaan energinya,” kata Ken Caldeira, seorang ilmuwan cuaca dari Carnegie Institution for Science. Dia juga merupakan salah satu penulis dari penelitian yang ditampilkan dalam jurnal “Nature Climate Change”.

Penelitian Caldeira menemukan, angin berpotensi menghasilkan energi 20 kali lebih banyak dari yang dunia konsumsi sekarang. Sementara saat ini, angin hanya menyumbang sebagian kecil energi dunia. Jadi untuk mendapatkan energi yang sesuai dengan hasil penelitan tersebut, pemanfaatan energi angin harus ditingkatkan drastis.

Jika ada 100 turbin angin baru untuk setiap tempat, itu akan menyelesaikan masalah energi, kata Mark Jacobson, profesor jurusan teknik sipil dan lingkungan di Universitas Stanford.

Jacobson menulis dalam penelitian yang berbeda, yang dipublikasikan di “Proceedings of the National Academy of Sciences”. Penelitian tersebut menunjukkan angin tidak menghasilkan energi sebesar seperti yang ditemukan dalam penelitian Caldeira. Tapi Jacobson menyatakan energi angin tersebut masih lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dikonsumsi oleh dunia saat ini sampai beberapa waktu ke depan.

Jacobson mengatakan biaya pembangunan turbin angin dan subsidi terhadap bahan bakar fosil membuat pemanfaatan energi angin tidak bisa dilakukan. Murahnya harga gas alam, juga menjadi salah satu penghambat perkembangan energi angin, tambahnya.

Henry Lee, profesor lingkungan dan energi Universitas Harvard, yang pernah menjadi kepala energi negara bagian Massachusetts, mengatakan ada beberapa permasalahan terkait ide pemanfaatan energi angin bagi dunia. Yang pertama adalah biayanya yang mahal.

Lebih lanjut dia menambahkan, semua turbin angin yang diperlukan akan membutuhkan banyak lahan dan jaringan transmisi energi.

Jerry Taylor, seorang pengamat energi dan lingkungan dari Cato Institute, mengatakan bahwa lemahnya perspektif ekonomi dalam penelitian itu membuat hasilnya “tidak relevan.”

Caldeira mengakui bahwa dunia harus berubah secara drastis untuk beralih ke energi angin.

“Untuk memberikan energi dengan turbin angin kepada masyarakat, saya rasa Anda membicarakan mengenai sepasang turbin untuk setiap 1,6 km persegi,” kata Ken. “Itu bukan masalah yang kecil.”

Sumberhttp://id.berita.yahoo.com/angin-dapat-mencukupi-kebutuhan-energi-dunia.html

Jumat, 31 Agustus 2012

Tanaman Invasif Merebak: Proyek Percontohan Penanganan di Dua Lokasi

Jakarta, Kompas --- Tanaman invasif menjadi masalah di sejumlah kawasan hutan. Sifatnya yang tumbuh cepat dan minim predator membuat tanaman ini mndominasi, menggusur satwa liar, mengancam biodiversitas, hingga meningkatkan konflik manusia dan satwa.
   Tanaman invasif bisa dari luar dan dalam ekosistem setempat. "Tanaman itu menjadi invasif karena ekosistem terganggu atau rusak," kata pakar fisiologi tanaman Institut Pertanian Bogor, Soekisman Tjitrosudirdjo, di Jakarta, Kamis (30/8).
   Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), misalnya, saat ini terjadi perambahan biologis oleh matangan (Meremia sp). Tumbuhan asli ini jadi invasif karena penebangan pepohonan besar membuka kanopi yang sebelumnya menghalangi sinar matahari.
   Dari sekitar 365.000 hektar luas TNBBS, sekitar 10.000 hektar tertutup mantangan. Pertumbuhan tanaman ini bisa mencapai 1-2 sentimeter per hari.
   Tanaman merambat ini membentuk jalinan suluran dahan yang menghambat lalu lalang harimau, badak, dan gajah. "Mantangan ini menutupi kawaqsan TNBBS selatan. Ada kecenderungan satwa-satwa berpindah ke utara, yang merupakan perkebunan sawit dan permukiman," kata Adi Susmianto, Kepala Pusat Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan.
   Dampaknya, hal itu berpotensi menimbulkan konflik manusia dan satwa serta perburuan satwa. Meski tanaman invasif ini terdeteksi sejak 1980-an, hingga kini Kementerian Kehutan tak punya prosedur/mekanisme pengendalian.
   Di TN Baluran, Jawa Timur, Acacia nilotica menguasai 7.500 hektar lahan. Keberadaannya memicu tumbuhnya semak dan perdu, menggantikan padang sabana, sumber pangan banteng.
   Sejauh ini, ancaman tanaman invasif diatasi sporadis. "Usaha mengatasinya seperti trial and error," ujar Adi.
   Baru pertengahan 2012 hingga 2016, Indonesia dapat program pengendalian tanaman liar dari Global Environmental Facilities melalui Program Lingkungan PBB (UNEP) lewat Removing Barriers to Invasive Species Management in Protection and Production Forest in South East Asia. Indonesia mendapat hibah 933.00 dollar AS (sekitar Rp 90 miliar) untuk merumuskan mekanisme pengendalian tanaman invasif.
   Indonesia menyiapkan dana pendamping 659.268 dollar AS. Lokasi percontohannya di TN Baluran dan TNBBS. (ICH)

Sumber: Kompas 31 Agustus 2012, hal 13

Penelitian: Melelehnya Lapisan Es Abadi Lepaskan Jutaan Ton Karbon

Pesisir Arktik Siberia yang sudah membeku selama puluhan ribu tahun kini melepaskan simpanan karbon ke udara. Penyebabnya adalah meningkatnya suhu dunia yang membuat pesisir tersebut meleleh. Demikian kesimpulan dari penelitian yang diterbitkan Rabu (30/8).

Karbon, sumber memanasnya Bumi, sudah terperangkap di sepanjang 7000 km pesisir timur laut Siberia sejak Zaman Es terakhir. Namun memanasnya atmosfer serta erosi pesisir mengoyak lapisan es dan melepaskan sekitar 40 juta ton karbon per tahun ke udara. Angka ini lebih tinggi 10 kali lipat dari yang sebelumnya diperkirakan, menurut penelitian di jurnal “Nature”.

Sekitar dua pertiga karbon tersebut lepas ke atmosfer sebagai karbondioksida dan sisanya terperangkap di sedimen lautan bagian atas.

Sekitar setengah total jumlah karbon dunia yang terperangkap dalam tanah tertahan di kawasan Arktik. Sementara, menurut penelitian yang dipimpin ole peneliti di Stockholm University, kawasan ini kini sedang mengalami penghangatan iklim dalam skala dua kali lipat lebih cepat dari rata-rata dunia.

Awal pekan ini, ilmuwan AS sudah mengatakan bahwa es laut di Samudra Arktik sudah meleleh sampai ke jumlah paling sedikit.

Kawasan yang diteliti di studi “Nature”, bernama Yedoma, berukuran dua kali Swedia namun sangat jarang diteliti karena saking sulitnya dijangkau.

Temuan ini menyoroti lingkaran setan dari isu perubahan iklim.

Penghangatan suhu bumi yang disebabkan oleh manusia dari pembakaran bahan bakar fosil kemudian melepas stok karbondioksida yang sudah tersimpan di lapisan es abadi sejak Zaman Es terakhir atau Pleistosen. Gas yang dilepas ke udara kemudian menambah dahsyat efek pemanasan global, sehingga menyebabkan lebih banyak karbon yang lepas ke udara, dan begitu terus selanjutnya.

"Kolaps dan erosi pesisir Pleistosen serta deposit dasar laut bisa mempercepat dampak menghangatnya iklim di Arktik," penelitian tersebut mengingatkan.

Kebocoran atmosfer di Yedoma jumlahnya sama dengan emisi tahunan lima juta mobil, dengan rata-rata buangan karbon lima ton per tahun dari kendaraan di Amerika Serikat.

Dalam studi terpisah yang juga muncul di Nature, peneliti di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat menggunakan model komputer untuk menghitung kemungkinan adanya 4 ton gas metana yang tersimpan di bawah lapisan es Antartika.

Gas metana menyimpan panas matahari 25 kali lebih banyak dari karbondioksida.

Sebelum beku, kawasan tersebut penuh dengan sisa jasad organik yang terperangkap dalam sedimen yang kemudian tertutup es.

Para peneliti ini menyatakan, "Model komputer kami menunjukkan bahwa dalam jutaan tahun, mikroba mungkin mengubah karbon menjadi gas metana," sehingga kemudian bisa mempercepat menghangatnya iklim jika lapisan es ini mencair.

Hancurnya lapisan es di Antartika dianggap sebagai skenario terburuk oleh para ahli iklim. Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa lapisan es ini malah semakin tebal karena adanya kenaikan hujan salju secara lokal.

Sumber: http://id.berita.yahoo.com/penelitian-melelehnya-lapisan-es-abadi-lepaskan-jutaan-ton-karbon.html

Sabtu, 14 Juli 2012

Perburuan Piranha 'Hidup Atau Mati' di China


Beijing (AFP/ANTARA) - Pihak berwenang di selatan China telah bergerak untuk menghentikan ancaman piranha aneh, menawarkan hadiah dan umpan gratis di tengah kekhawatiran ikan agresif Amerika Selatan yang menyerang di sebuah sungai, kata media pemerintah,
Kamis.

Pemerintah kota Liuzhou juga telah menyatakan sungai dibatasi sementara bagi perenang selama perburuan berlangsung, yang diyakini telah diimpor secara ilegal untuk peliharaan eksotis di akuarium, menurut China Daily.

"Mengerikan setelah tahu sungai terdapat ikan seperti itu, saya takkan berenang di sana lagi .... Saya berdoa semoga mereka segera menangkapnya," ujar surat kabar mengutip warga setempat, Liu Junjie.

Pemerintah kota mengumumkan insentif lain untuk menangkap ikan pada Selasa setelah seekor piranha menggigit seorang pria yang sedang memandikan anjingnya di sungai Liujiang.

Pria itu menangkap ikan tersebut, agar dapat diidentifikasi, dan mengatakan ia melihat dua orang lain di sungai pada saat yang sama.

Hadiah menangkap ikan itu "hidup atau mati" tersebut bernilai 1.000 yuan (sekitar Rp1,47 juta), merupakan jumlah yang besar bagi nelayan setempat dan dilaporkan mendorong banyak orang untuk memancingnya.

"Beberapa teman saya pergi memancing pada Selasa. Bayangkan, uang yang mereka dapatkan dari tiga piranha sama dengan pendapatan bulanan mereka. Bagaimana mereka bisa menolaknya," kata Zhu Feijie penduduk Liuzhou, menurut China Daily.

Pihak berwenang juga memberikan daging babi gratis dan daging lainnya bagi nelayan untuk digunakan sebagai umpan, sementara larangan menggunakan jaring ikan di bagian sungai yang mengalir melalui kota tersebut untuk sementara dicabut, kata surat kabar tersebut.

Namun belum ada piranha yang tertangkap dalam perburuan tersebut.

Impor piranha untuk akuarium eksotis dilarang di China dan di negara Asia lainnya karena kekhawatiran ikan tersebut akan memasuki saluran air lokal dan berkembang biak dengan cepat tanpa predator.

Polisi di Filipina menangkap lima orang yang mencoba menjual piranha pada Desember tahun lalu. (ia/ml)

http://id.berita.yahoo.com/perburuan-piranha-hidup-atau-mati-di-china-093818185.html

Kamis, 12 Juli 2012

Mantangan jadi "virus" bagi hutan tropis


Bandarlampung (ANTARA Bengkulu) - Sekitar 500 hektare tumbuhan liar mantangan (Merremia peltata) tumbuh di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Provinsi Lampung.

"Mantangan semacam tanaman liar yang bersifat parasit, kalau dilakukan pemotongan maka akan tumbuh lagi dua kali lipat dari sebelumnya dan berdampak pada kerusakan pada tanaman inti hutan," kata Kepala Bidang TNBBS Wilayah II Lampung--Bengkulu Edi Susanto, saat dikonfirmasi di Bandarlampung, Kamis.

Menurutnya, TNBBS tengah melakukan penelitian terhadap jenis tanaman parasit tersebut sejak setahun lalu, dan pihaknya juga akan melakukan upaya pencegahan perkembangbiakan tanaman tersebut agar tidak tumbuh lagi di kawasan hutan.

Sementara itu, Leader Project World Wildlife Fund (WWF) Wilayah Lampung Job Carles menjelaskan, tanaman parasit itu berkembangbiak di kawasan hutan karena ekosistem predator utama telah terancam punah akibat kerusakan hutan.

"Keberadaan badak itu, sebenarnya sangat membantu menjaga kelestarian hutan, karena hewan mamalia jenis badak itulah yang memakan tumbuhan sejenis mantangan di kawasan hutan itu," kata Job Carls.

 Kini, tambahnya, matangan terus merambat dan melilit pohon-pohon besar. Mantangan itu sejenis virus yang jika satu pohon terserang virus tersebut, maka pohon itu akan tumbang dengan sendirinya.

"Karena itu, upaya menjaga kelestarian hutan perlu dilakukan secara serius, agar ekosistem top predator tetap bertahan di habitat sendiri dan pohon-pohon besar tetap kokoh tumbuh di kawasan hutan," ujarnya.

Catatan WWF menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Lampung mencapai 40 persen dari sektiar 1,5 juta hektare luas areal hutan.

Sebagian besar hutan telah gundul karena ulah manusia, bahkan hutan banyak yang berubah fungsinya menjadi tanaman perkebunan dan pemukiman.

"Sejak awal tahun 2011, kami bersama tim gabungan dari unsur pemerintahan menggelar operasi penurunan perambah, dalam rangka upaya kita menyelamatkan hutan yang kian rusak parah itu," ujarnya.

Beberapa kawasan, menurutnya, sudah kosong dari aktivitas perambahan yang dilakukan oleh warga, namun sebagian lagi ada yang kembali lagi melanjutkan perambahan hutan karena faktor ekonomi.

"Setiap titik yang telah dikosongkan itu, sempat kami tempatkan tim yang melakukan pemantauan pascaoperasi penurunan perambah, hasilnya, seperti di titik Simpang Kandis, Kabupaten Lampung Barat, sebagian mereka banyak yang kembali merambah hutan," ujarnya. (ANT)
Editor: Helti Marini S
COPYRIGHT © 2012

Sumber: http://www.antarabengkulu.com/berita/4563/mantangan-jadi-virus-bagi-hutan-tropis
Kamis, 12 Juli 2012 14:29 WIB

Rabu, 04 Juli 2012

Pemanasan Global Sejak Pra-Industri

Penelitian terbaru Julia Pongratz dari bagian Meteorologi Max Planck Institute di Jerman bersama Ken Caldeira dari Carnegie Institution for Science di Stanford, California, AS, menyebutkan, 9 persen pemanasan global sekarang berasal dari jaman pra-industri. Ini terakit penggundulan hutan. Emisi karbon bisa tinggal di atmosfer hingga ribuan tahun. Menurut Ponratz, selama ini pemanasan global dikatakan berawal dari era industri sekitar tahun 1840 seiring dengan penggunaan batrubara. Pongratz dan Caldeira menyebutkan, antara tahun 800 M dan 1850 M, jumlah penduduk dunia menjadi lima kali lipat, lebih dari satu miliar orang. Jika pembangunan abad ke-9 diperhitungkan sekarang, beban pihak pengemisi bertambah bagi China dan negara-negara Asia Selatan. Emisi karbon dioksida pada era pra-industri dari dua wilayah itu mengambil porsi 10-40 persen total emisi karbon. Ditemukan, lima persen emisi karbon dioksida di atmosfer saat ini dari emisi pada era sebelum tahun 1850. Beberapa peristiwa sejarah juga memperngaruhi emisi karbon dioksida. Hal itu, misalnya saat incasi Mongol ke China. Emisi sempat turun karena hutan tumbuh kembali. Pada zaman wabah sampar di Eropa, tahun 130-an, emisi karbon juga turun di Eropa. (Livescience.com/ISW)

Sumnber : Kompas, 5 Juli 2012. hal 14.

Selasa, 03 Juli 2012

Australia: Pajak Emisi Karbon Tak Populer

Canberra, Senin --- Usaha Perdana Menteri Australia Julia Gillard untuk menerapkan pajak emisi karbon menghadapi ujian berat dari kalangan industri dan rakyat Australia. Hanya sepertiga penduduk yang memberikan dukungan dalam jajak pendapat yang dilakukan Nielsen dan dipublikasikan oleh The Sydney Morning Herald, Senin (2/7), sehari setelah pajak tersebut diberlakukan.

Hasil ini sejalan dengan dukungan rakyat bagi pemerintah partai Buruh pimpinan Gillard yang terus menurun. Partai yang beraliran kiri-tengah itu tertyinggal 42-58 dalam persentase dukungan pemilih dibandingkan dengan dukungan terhadap Partai Konservatif pimpinan Tony Abbott yang beroposisi.

Pajak emisi karbon dikenakan pada hampir 350 perusahaan dan pemerintah kota yang paling banyak mencemari lingkungan. Mulai dari pembangkit listrik bertenaga batubara hingga peleburan besi dan baja diwajibkan membayar 23 dolar Australia (sekitar Rp 221.500) untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan ke udara.

Pajak yang dikenakan Australia, salah satu negara penghasil polusi karbon terbesar di dunia ini, terbilang cukup besar. Nilainya lebih dari dua kali lipat pajak serupa di Uni Eropa, yang sebesar 8,15 Euro (sekitar Rp 96.500) per ton emisi karbon dioksida.

Upaya ambisius ini dilakukan untuk melawan pemanasan global dan mengurangi lima persen tingkat emisi karbon tahun 2000 pada tahun 2020. Program yang diterapkan Gillard termasuk pajak tetap selama tiga tahun pertama sebelum mengubahnya menjadi skema perdagangan karbon berdasarkan pasar seperti yang diterapkan Uni Eropa.

Namun, 62 persen dari 1.400 responden jajak pendapat menentang pemberlakuan pajak tersebut. Sekitar 2.000 pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota Sydney, Minggu, menuntut pembatalan penerapan pajak.

Gillard pun melakukan kampanye terbuka untuk memperjuangkan pajak ini. Dia menggelar wawancara khusus di radio dan televisi, dan mengatakan para pemilih akan merasakan dampak pajak tersebut pada ekonomi. Rakyat juga akan menyadari peringatan oposisi bahwa akan terjadi pemutusan hubungan kerja adalah keliru.

"Rakyat akan punya peluang untuk menilai mana yang terbaik untuk mereka. Dan yang ingin mereka lihat adalah pemotongan pajak, ujarnya. Namun, Gillard mengakui perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah opini publik.

"Terjadi kamapanye histeris dalam 12 bulan terakhir yang mencoba menakut-nakuti rakyat bahwa kita akan melihat, misalnya industri batubara akan bangkrut. Banyak pekerja menjadi penganggur," ujar Gillard kepada Radio ABC.

"Saya kira dalam beberapa bulan ke depan orang akan sadar apa artinya pajak emisi karbon bagi mereka, dan memperjuangkan makna itu untuk negara," ujarnya.

Sementara itu, kubu oposisi mengklaim konsumen yang harus menanggung pajak itu dari kenaikan harga produk. Hal itu akan menambah biaya hidup, selain mematikan industri pengolahan sumber daya alam.

"Perlu waktu uintuk memperoleh energi dari sumber daya terbarukan. Masalah utama untuk mengalihkan semua ke energi terbarukan adalah biayanya luar biasa mahal," ujar Tony Abbott. (AFP/AP/Reuters/WAS).

Sumber: Kompas, 3 Juli 2012, hal 10