Minggu, 24 Juni 2012

Kearifan Lokal: "Ngajaga Lembur" Petani Subang

Perang petani melawan tikus merupakan pertempuran abadi. Pasalnya, operasi pengendalian terhadap binatang penggasak padi itu tidak masal, tetapi sporadis dan setempat. Akibatnya tikus tidak dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah.
   Situasi ini dirasakan betul oleh petani Dusun Parigi, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, sejak berpuluh tahun yang lalu. Malah di sana sini ada gejala peningkatan kekebalan atas berbagai obat pembasmi tikus. "Kalau satu desa memberantas tikus dan desa lainnya tidak, pengendalian tikus menjadi tidak efektif. Tikus lari ke desa lainnya," papar Arman (66), seorang petani di Subang.
   Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pernah menganalisa, di desa yang tidak melakukan pemberantasan, gerombolan binatang monyong ini cepat sekali berkembang biak. Sekali beranak jumlahnya rata-rata 12 ekor. Pada hari ke-50 anak-anak tikus itu kawin dan pada hari ke-70 masing-masing melahirkan sekitar 12 ekor lagi. Dari tempatnya beranak, hewan tersebut secara bergerombol menyerang areal pertanaman padi.
   Berdasarkan pemgalaman itulah petani Cipunagara melakukan acara tahunan Festival Seni Budaya dengan tema Ngajaga Lembur (menjaga kampung halaman) berupa ritual Moro Beurit (memburu tikus). Selain menggelar berbagai kesenian tradisional, acara ini pada akhir April lalu sekaligus untuk membasmi tikus di area seluas 2.200 hektar sawah dan perkebunan.
   Moro Beurit pun dilombakan. Petani yang bisa menangkap tikus paling banyak mendapat hadiah, termasuk piala atas ketangkasannya menangkap tikus. Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf berharap tradisi ini bisa mendorong masyarakat untuk menjaga lingkungan, sekaligus melestarikan seni budaya warisan leluhur. Hal itu patut diapresiasi agar kearifan lokal berjalan dengan baik.
   "Keanekaragaman seni budaya adalah bukti tingginya kebudayaan leluhur kita, yang sudah sepatutnya kita lestarikan bersama," ujar Dede. Ia hadir bersama musisi senior Acil Bimbo, sebagai sesepuh Forum Ngajaga Lembur Jabar.
   Melalui festival itu, masyarakat dapat lebih memahami istilah ngajaga lembur. Yakni mempersiapkan segala kebutuhan, baik berupa kebutuhan hidup maupun kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga secara gotong royong.

"Ngajaga Lembur"
   Tradisi Moro Beurit adalah salah satu penjabaran dari program Ngajaga Lembur. Program ini dilakukan di berbagai daerah di Jabar untuk merespons berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Program ini dilakukan melalui Trilogi Ngajaga Lembur (menjaga kampung halaman), akur jeung dulur (hidup rukun dengan berbagai elemen bangsa), panceg dina galur (mengikuti aturan hukum yang berlaku).
   Sebagai pemrakarsa Ngajaga Lembur, Darmawan Hardjakusumah, yang akrab disapa Acil Bimbo, mengajak dialog masyarakat golongan menengah bawah untuk memahami situasidan kondisi bangsa ini kedepan yang akan makin berat dan keras. "Di Jabar, Ngajaga Lembur menjadi penting karena kerusakan lingkungannya termasuk paling parah di Indonesia. Jumlah manusia paling banyak (sekitar 43 juta jiwa) sehingga permasalahan yang muncul begitu kompleks," ujar Acil.
   Di dataran tinggi, banyak penggunaan lahan secara keliru sehingga mudah longsor dan menimbulkan sedimentasi yang tinggi di sungai. Di kawasan hulu sungai Citarum misalnya, yang seharusnya hutan dengan tanaman keras, kini berubah menjadi lahan sayur. Peralihan fungsi lahan ini berkontribusi besar terhadap sedimentasi Citarum. Padahal, sungai terpanjang di Jabar itu airnya digunakan untuk Pusat Listrik Tenaga Air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
   Akibat sedimentasi itu juga menimbulkan banjir abadi di Bandung Selatan. Karena itu, warga diajak, antara lain membangun ketahanan masyarakat melalui desa budaya atau gerakan budaya agar survive menghadapi kondisi yang buruk itu. Dengan kesadaran itu warga bisa lebih memperhatikan lembur (desa), dengan melihat potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam keseharian. Di lahan terlantar misalnya, warga bisa menanam pangan apa saja untuk mengantisipasi andaikata terjadi krisis pangan.

Menghindari Konflik
   Inti dari Ngajaga Lembur terutama menghangatkan silaturahim dalam membahas masalah yang terjadi di sekitar mereka. Selain itu juga untuk menghindarkan diri dari konflik, apalagi yang bernuansa kekerasan di kampung halaman. Tujuan lainnya, mencermati berita di media masa dan membahas dalam konteks lingkungannya.
   Warga juga diajak untuk menjaga lingkungan, terutama sumber daya air; mengenal bencana yang bisa datang tiba-tiba, seperti longsor, banjir, dan erupsi gunung berapi; serta mengenalkan antisipasinya. Kapasitas integritas masyarakat terus dibangun agar berani menolak agar berani menolak proyek pemerintah atau investor, andaikata merugikan warga setempat.
   Selanjutnya, warga didorong membangun potensi ekonomi kerakyatan di wilayahnya serta membangun daya tahan masyarakat dan mencari kalangan intelektual yang bisa dijadikan tempat bertanya/konsultasi. Ngajaga Lembur dimulai dengan menjaga diri sendiri dari hal-hal yang merugikan orang lain atau merusak tatanan. Setelah itu baru menjaga keluarga dan lingkungan sekitar.
   Namun, dalam menjalankan program ini buykan tanpa hambatan. Ada pihak misalnya yang menuding, apa yang diucapkan Acil Bimbo, bak kiamat bakal datang besok hari. "Biar saja. Prinsip saya, didengan syukur, kalau tidak pun, ya tidak apa-apa," ujarnya. Tetapi, komunikasi dengan daerah yang didatangi tetap berjalan dan banyak yang menjalankan ajakan semampunya.
   Kesulitan lain, ujar Acil, dalam pembiayaan. Karena itu apa yang disampaikan Acil pada awal pertemuan dengan warga, adalah, "Saya mengajak Anda capai badan dan lelah hati." Ia pun memperlihatkan kesungguhannya dengan program itu.


M. Kurniawan dan Dedi Muhtadi, Kompas, 30 Mei 2012, hal 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar