Jumat, 31 Agustus 2012

Tanaman Invasif Merebak: Proyek Percontohan Penanganan di Dua Lokasi

Jakarta, Kompas --- Tanaman invasif menjadi masalah di sejumlah kawasan hutan. Sifatnya yang tumbuh cepat dan minim predator membuat tanaman ini mndominasi, menggusur satwa liar, mengancam biodiversitas, hingga meningkatkan konflik manusia dan satwa.
   Tanaman invasif bisa dari luar dan dalam ekosistem setempat. "Tanaman itu menjadi invasif karena ekosistem terganggu atau rusak," kata pakar fisiologi tanaman Institut Pertanian Bogor, Soekisman Tjitrosudirdjo, di Jakarta, Kamis (30/8).
   Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), misalnya, saat ini terjadi perambahan biologis oleh matangan (Meremia sp). Tumbuhan asli ini jadi invasif karena penebangan pepohonan besar membuka kanopi yang sebelumnya menghalangi sinar matahari.
   Dari sekitar 365.000 hektar luas TNBBS, sekitar 10.000 hektar tertutup mantangan. Pertumbuhan tanaman ini bisa mencapai 1-2 sentimeter per hari.
   Tanaman merambat ini membentuk jalinan suluran dahan yang menghambat lalu lalang harimau, badak, dan gajah. "Mantangan ini menutupi kawaqsan TNBBS selatan. Ada kecenderungan satwa-satwa berpindah ke utara, yang merupakan perkebunan sawit dan permukiman," kata Adi Susmianto, Kepala Pusat Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan.
   Dampaknya, hal itu berpotensi menimbulkan konflik manusia dan satwa serta perburuan satwa. Meski tanaman invasif ini terdeteksi sejak 1980-an, hingga kini Kementerian Kehutan tak punya prosedur/mekanisme pengendalian.
   Di TN Baluran, Jawa Timur, Acacia nilotica menguasai 7.500 hektar lahan. Keberadaannya memicu tumbuhnya semak dan perdu, menggantikan padang sabana, sumber pangan banteng.
   Sejauh ini, ancaman tanaman invasif diatasi sporadis. "Usaha mengatasinya seperti trial and error," ujar Adi.
   Baru pertengahan 2012 hingga 2016, Indonesia dapat program pengendalian tanaman liar dari Global Environmental Facilities melalui Program Lingkungan PBB (UNEP) lewat Removing Barriers to Invasive Species Management in Protection and Production Forest in South East Asia. Indonesia mendapat hibah 933.00 dollar AS (sekitar Rp 90 miliar) untuk merumuskan mekanisme pengendalian tanaman invasif.
   Indonesia menyiapkan dana pendamping 659.268 dollar AS. Lokasi percontohannya di TN Baluran dan TNBBS. (ICH)

Sumber: Kompas 31 Agustus 2012, hal 13

Penelitian: Melelehnya Lapisan Es Abadi Lepaskan Jutaan Ton Karbon

Pesisir Arktik Siberia yang sudah membeku selama puluhan ribu tahun kini melepaskan simpanan karbon ke udara. Penyebabnya adalah meningkatnya suhu dunia yang membuat pesisir tersebut meleleh. Demikian kesimpulan dari penelitian yang diterbitkan Rabu (30/8).

Karbon, sumber memanasnya Bumi, sudah terperangkap di sepanjang 7000 km pesisir timur laut Siberia sejak Zaman Es terakhir. Namun memanasnya atmosfer serta erosi pesisir mengoyak lapisan es dan melepaskan sekitar 40 juta ton karbon per tahun ke udara. Angka ini lebih tinggi 10 kali lipat dari yang sebelumnya diperkirakan, menurut penelitian di jurnal “Nature”.

Sekitar dua pertiga karbon tersebut lepas ke atmosfer sebagai karbondioksida dan sisanya terperangkap di sedimen lautan bagian atas.

Sekitar setengah total jumlah karbon dunia yang terperangkap dalam tanah tertahan di kawasan Arktik. Sementara, menurut penelitian yang dipimpin ole peneliti di Stockholm University, kawasan ini kini sedang mengalami penghangatan iklim dalam skala dua kali lipat lebih cepat dari rata-rata dunia.

Awal pekan ini, ilmuwan AS sudah mengatakan bahwa es laut di Samudra Arktik sudah meleleh sampai ke jumlah paling sedikit.

Kawasan yang diteliti di studi “Nature”, bernama Yedoma, berukuran dua kali Swedia namun sangat jarang diteliti karena saking sulitnya dijangkau.

Temuan ini menyoroti lingkaran setan dari isu perubahan iklim.

Penghangatan suhu bumi yang disebabkan oleh manusia dari pembakaran bahan bakar fosil kemudian melepas stok karbondioksida yang sudah tersimpan di lapisan es abadi sejak Zaman Es terakhir atau Pleistosen. Gas yang dilepas ke udara kemudian menambah dahsyat efek pemanasan global, sehingga menyebabkan lebih banyak karbon yang lepas ke udara, dan begitu terus selanjutnya.

"Kolaps dan erosi pesisir Pleistosen serta deposit dasar laut bisa mempercepat dampak menghangatnya iklim di Arktik," penelitian tersebut mengingatkan.

Kebocoran atmosfer di Yedoma jumlahnya sama dengan emisi tahunan lima juta mobil, dengan rata-rata buangan karbon lima ton per tahun dari kendaraan di Amerika Serikat.

Dalam studi terpisah yang juga muncul di Nature, peneliti di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat menggunakan model komputer untuk menghitung kemungkinan adanya 4 ton gas metana yang tersimpan di bawah lapisan es Antartika.

Gas metana menyimpan panas matahari 25 kali lebih banyak dari karbondioksida.

Sebelum beku, kawasan tersebut penuh dengan sisa jasad organik yang terperangkap dalam sedimen yang kemudian tertutup es.

Para peneliti ini menyatakan, "Model komputer kami menunjukkan bahwa dalam jutaan tahun, mikroba mungkin mengubah karbon menjadi gas metana," sehingga kemudian bisa mempercepat menghangatnya iklim jika lapisan es ini mencair.

Hancurnya lapisan es di Antartika dianggap sebagai skenario terburuk oleh para ahli iklim. Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa lapisan es ini malah semakin tebal karena adanya kenaikan hujan salju secara lokal.

Sumber: http://id.berita.yahoo.com/penelitian-melelehnya-lapisan-es-abadi-lepaskan-jutaan-ton-karbon.html