Minggu, 24 Juni 2012

Kebijakan: Politik Energi Kita

Bagi sebuah bangsa, energi adalah persoalan yang amat serius. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kemampuan bangsa itu untuk menjamin pasokan nenergi. Tidak ada energi maka tidak ada kemajuan.

Atas dasar pemahaman itu, tidak sepatutnya isu energi semata-mata dilihat sebagai komoditas politik jangka pendek. Menjadikan isu energi sebagai mainan politik sama halnya dengan menjadikan nasib ratusan juta penduduk Indonesia tanpa kemajuan berarti.

Selain merupakan isu yang harus dilihat dalam jangka panjang (50-100 tahun), energi merupakan isu yang meliputi banyak bidang kehidupan lainnya, mulai dari ekonomi, transportasi, bahkan hingga gaya hidup kelas menengah.Dengan kata lain, mengeluarkan regulasi untuk memaksa instansi pemerintah menghemat pemakaian listrik belum pantas disebut sebagai wujud kebijakan energi yang mumpuni.

Kebijakan energi seharusnya melingkupi kebijakan di sektor perhubungan, terutama transportasi di perkotaan. Namun, bagaimana mau bicara soal penghematan energi jika pemerintah tampak tidak perduli dengan transportasi di Jabodetabek?

Survei Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration tahun 2010 mencatat, ada 48,7 persen pengguna sepeda motor dan 13,5 persen pengguna mobil. Artinya, 62,2 persen perjalanan di Jakarta menggunakan kendaraan pribadi.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyinggung penghematan BBM bersubsid, survei tadi hanya memperlihatkan bahwa pengguna bus hanya 12,9 persen. Pengguna angkutan lain, seperti taksi, bajaj, dan kereta rel listrik, cuma 2,3 persen. Angka ini merosot dari tahun 2001. Saat itu, pengguna bus 38,3 persen dan angkutan lain 5,3 persen.

Dari data itu, sulit untuk tidak mengatakan bahawa pemerintah abai mengurusi transportasi publik. Politik nasional tampak enggan mengurusi transportasi rakyat kecil di perkotaan. Padahal, bicara penghematan energi adalah bicara tentang transportasi publik perkotaan, yang tertata baik.

Akibat dari transportasi perkotaan yang karut-marut, kemacetan pun terjadi. Bagi politisi di DPR, menteri, serta Presiden dan Wakil Presiden, kemacetan bukan masalah. Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2010 menaksir biaya kemacetan mencapai Rp 45,2 triliun per tahun. Biaya ini termasuk konsumsi bahan bakar minyak, operasional kendaraan, kerugian waktu, kerugian ekonomi, dan pencemaran udara.

Persoalan energi sungguh belum menjadi perhatian serius. Energi disamakan dengan isu politik lainnya yang bisa dijadikan komoditas.

Menjelang Pemilihan Umum Presiden 2009, Presiden Yudhoyono menurunkan harga BBM bersubsidi dengan alasan harga minyak dunia turun. Sebuah kebanggaan. Namun, secara jangka panjang, itu bukan suatu kebijakan positif. Masyarakat dimanjakan BBM murah. Padahal, pemerintah paham, sebagian BBM bersubsididinikmati kaum bermobil.

Maka, tidak mengherankan, ketika pemerintah berupaya menaikkan harga BBM bersubsidi pada akhir bulam Maret silam, isu energi pun kembali menjadi mainan politik. Mirip syair lagu: "Kau yang mulai Kau yang mengakhiri.,Kau yang berjanji Kau yang mengingkari ..." (A Tomy Trinugroho)

Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar