Rabu, 13 April 2011

Limbah Industri, Dibuang Tanpa Diolah

BATAM, KOMPAS - Pembuangan limbah industri tanpa melalui pengolahan terus terjadi di Kota Batam, Kepulauan Riau. Meski sejauh ini tak menimbulkan dampak kesehatan, tapi warga khawatir jika hal itu dibiarkan terus. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam diminta menindak tegas.
”Pemeriksaan kasus pertama baru diselesaikan kemarin (Kamis), dan minggu depan tinggal mengirimkan surat perintah untuk merelokasi limbah. Sementara kasus kedua masih dalam proses pengumpulan bahan keterangan,” kata Kepala Bapedal Kota Batam Dendi N Purnomo, Jumat (11/3).
Kasus pertama yakni pembuangan limbah sisa komponen elektronik pada salah satu kawasan permukiman di Kecamatan Batam Kota. Limbah dari bahan plastik dan tembaga ini dikemas dalam karung plastik dengan total volume 20 ton. Limbah ini di luar jenis domestik dan bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembuangannya harus melalui pengolahan khusus karena mengandung bahan berbahaya atau terkontaminasi bahan berbahaya.
Menurut Dendi, Bapedal Kota Batam telah melakukan konfirmasi ke PT Panasonic Devices. Perusahaan mengakui limbah itu bersumber dari pabriknya.
Kasus kedua, lanjut Dendi, pembuangan kotoran minyak di kawasan hutan di Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung. ”Limbah-limbah ini sudah menumpuk selama dua bulan. Kalau dibiarkan bisa berbahaya,” kata Agus (35), warga Batam.
Saat ini di Batam beroperasi 776 industri, dan 375 perusahaan di antaranya berpotensi menghasilkan limbah B3 dan limbah khusus. Lalu, 100 dari 375 perusahaan itu belum melakukan pengolahan. Produksi limbah B3 dari 100 perusahaan itu sekitar 2.000 ton per tahun. Jenis limbahnya sampah elektronik dan bahan kimia berbahaya. (LAS)
(Sumber: Kompas, 12 Maret 2011)

Bongkar Vila atau Bangun Resapan

Kawasan wisata Puncak memegang peranan vital bagi Jakarta. Puncak tidak hanya sebagai tempat berlibur yang relatif dekat bagi warga Jakarta, tetapi juga menjadi kawasan pencegah banjir di Jakarta. Namun, pembangunan di Puncak tidak menunjukkan ke arah itu.
Pembangunan vila dan real estat baru terus bermunculan serta tidak terkendali. Lihat saja, di sepanjang jalan Puncak kini dipenuhi dengan toko, restoran, dan tempat rekreasi. Banyak bangunan baru juga muncul di lahan bekas ladang dan sawah milik penduduk setempat.
Dosen Ilmu Lingkungan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan, Lim Bianpoen, dalam perbincangan dengan Kompas pekan lalu mengatakan, dengan membiarkan Puncak ditumbuhi vila dan real estat baru, Puncak tidak lagi menjadi daerah tangkapan air, dan ini membahayakan Jakarta.
Selain itu, secara perlahan, kondisi ini sesungguhnya juga bisa memiskinkan warga setempat.
”Penduduk setempat tidak sadar, dengan menjual lahan miliknya, dia akan semakin miskin dari sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Bianpoen, banyak penduduk biasanya tidak pandai mengelola uang. Ketika mendapatkan bayaran atas penjualan lahan, mereka langsung membelanjakannya untuk kebutuhan sesaat, seperti membeli sepeda motor atau memperbaiki rumah. Akhirnya, setelah menikmati kesenangan sesaat itu, mereka jadi lebih miskin dari sebelumnya.
Puncak, yang semula merupakan tempat berlibur, berubah menjadi pusat kemacetan, khususnya pada akhir pekan. Warga Jakarta yang berlibur ke sana justru dihadapkan pada kemacetan yang membuat mental dan fisik lelah luar biasa. Warga setempat pun kembali terkena imbasnya.
Lebih miskin
Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada era Gubernur Ali Sadikin, Bianpoen dengan tegas menunjuk pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Menurut dia, kesalahan ini dilakukan oleh semua pihak. Namun, yang paling besar andilnya dengan kerusakan yang terjadi di Puncak adalah pemerintah daerah setempat.
”Mereka harus berani membongkar vila-vila itu. Toh, mereka juga yang menikmati biaya pengurusan izin yang dikeluarkan oleh pemilik vila,” kata Bianpoen.
Imbauan untuk membongkar vila-vila ini sebenarnya sudah lama didengungkan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Bogor juga pernah melaksanakannya. Namun, jumlah vila yang dibongkar sangat kecil dibandingkan dengan jumlah bangunan- bangunan baru yang muncul di kawasan Puncak.
Kini, untuk memperbaiki kawasan Puncak, Bianpoen mengatakan ada langkah sementara yang bisa diambil sambil menunggu bangunan-bangunan itu dibongkar. Langkah itu adalah memaksa pemilik bangunan membuat sumur resapan.
Di sini, pemerintah setempat harus memastikan bahwa sumur resapan itu benar-benar dibuat oleh para pemilik vila sesuai dengan bangunan yang dibangun.
Dicontohkan, jika seseorang mempunyai lahan seluas 1.000 meter persegi lalu di atasnya dibangun vila seluas 600 meter persegi, yang bersangkutan harus membuat sumur resapan yang luas dinding resapannya mencapai 600 meter persegi.
”Dinding itu harus mempunyai lubang-lubang yang mampu menyalurkan air ke dalam tanah. Pembuatan sumur resapan ini harus diawasi secara ketat. Pemerintah daerah jangan hanya percaya dengan pengakuan pemilik bangunan,” tutur Bianpoen.
Terhadap penduduk setempat, pemerintah daerah juga harus memberi pendampingan agar tidak mudah menjual tanah mereka. Pemerintah harus memastikan kualitas hidup warganya tidak tergusur dan terus terjaga dengan baik. (ARN)
(Sumber: Kompas, 23  Maret 2011)

Anomali Cuaca Membuat Mereka Gundah


KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Pandi (40), petani penggarap di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (28/2), menanam kapulaga di sela-sela tanaman teh miliknya. Ketidakpastian cuaca membuat sebagian besar pohon buah di daerah itu tak berbuah. Sebagian petani menyiasatinya dengan menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Ujang Keden (48) tak menduga hujan sepanjang 2010 lalu menyeret nasibnya ke jalanan. Dari bandar buah manggis beromzet Rp 30 juta sehari, kini dia menjadi pedagang pengecer di tepi Jalan Raya Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Omzetnya pun tinggal puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah per hari.
Biasanya, selama 3-4 bulan masa panen, Ujang memasok 2-4 ton manggis per hari ke seorang eksportir asal Jakarta. Ia mengepul manggis di sentra Wanayasa, Bojong, Darangdan, dan Kiarapedes. Dengan modal Rp 20 juta untuk membeli hasil panen petani, dia bisa menjual ke eksportir hingga Rp 30 juta.
Sejak awal tahun 2011, kisah menggembirakan itu tidak pernah lagi terjadi. Jangankan 2-4 ton, mengumpulkan 50 kg per hari saja sulit bagi pedagang seperti Ujang yang telah lebih dari 10 tahun menekuni manggis.
Sebelum menular ke pedagang, ”wabah” telah lebih dulu menjalari pohon dan petani pemiliknya. Guyuran hujan selama proses pembuahan membuat sebagian besar pohon gagal berbuah. Nasib serupa dialami pohon rambutan, cengkeh, dan mangga, yang menjadi sandaran hidup sebagian petani di Jabar.
Ahmad Mulyana (62), petani di Desa Garokgek, Kecamatan Kiarapedes, biasanya mengandalkan pendapatan dari teh saat 6 pohon manggis dan 50 pohon cengkeh miliknya tak berbuah. Sayang, nasib teh tak lebih baik dari tanaman buah. Harga jualnya selalu tertekan karena harus menghadapi kokohnya dominasi jaringan pemasaran.
Ongkos produksi pucuk daun teh basah dari perkebunan teh rakyat mencapai Rp 1.700 per kg. Itu mencakup ongkos pemeliharaan, pemupukan, dan penyemprotan, serta ongkos petik dan angkut. Namun, saat cengkeh dan manggis gagal panen, harga jual pucuk teh hanya Rp 1.150 per kg.
Dengan harga jual rendah, petani memilih membiarkan tanamannya tumbuh alami. Di beberapa kebun teh di Desa Sukadami dan Taringgul Landeuh, Kecamatan Wanayasa; Desa Kiarapedes dan Cibeber, Kecamatan Kiarapedes; dan Pasirangin, Nangewer, dan Linggasari, Kecamatan Darangdan, tanaman teh kalah tinggi dengan rumput liar. Petani tak lagi memupuk atau menyemprot tehnya sehingga produktivitas cenderung turun. Produksi dari 1 patok (400 meter persegi) kebun teh turun dari 1 kuintal menjadi 0,4-0,5 kuintal dalam sekali petik.
Saat menghadapi ketidakpastian cuaca yang memengaruhi produksi, petani tak berdaya untuk mendobrak tata niaga yang monopolistis. Bagi petani, teh rakyat di Purwakarta, dominasi tengkulak serta harga jual rendah telah menjadi ”penyakit menahun” yang belum terobati. Penyakit itu bahkan telah menggerogoti kebun-kebun teh rakyat.
Menurut catatan Kelompok Teh Rakyat (Kotera) Purwakarta, dari 4.400 hektar kebun teh rakyat di sentra Wanayasa, Kiarapedes, Bojong, dan Darangdan, lebih dari separuhnya telah beralih fungsi menjadi kandang ternak, bangunan, atau kebun komoditas lain dalam 5 tahun terakhir.
”Pageblug”
Era sejak tahun 2010 menjadi masa ”pageblug” bagi petani. ”Wabah penyakit” akibat anomali iklim seolah menular dengan cepat dalam cakupan luas dan menimbulkan banyak korban, baik petani, pedagang, para pekerja pendukung, dan keluarganya. Kondisi itu diperparah oleh penyakit menahun yang belum sembuh.
Situasi itu yang membuat hidup Enan Sunarya (52) dan keluarganya kian terpuruk. Petani di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, itu punya empat pabrik pengolah teh dan kebun hingga 6 hektar yang menyerap belasan tenaga kerja.
Akan tetapi, zaman seolah kian tak berpihak ke petani seperti Enan. Kini, Enan hanya menyandarkan penghasilan dari 1 hektar, karena 5 hektar lainnya telah dijual untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Senasib dengannya, ratusan petani yang mengelola sekitar 400 hektar kebun di Linggasari, Neglasari, dan Cilingga telah menjual lahannya.
Bertani, bagi Enan, seolah kian tidak menguntungkan. Dia mencontohkan, pada kurun 1979-1985, seorang kuli angkut pucuk daun teh dengan upah Rp 10 per kg bisa membeli lahan. Ketika itu harga pucuk daun teh Rp 25 per kg dan harga tanah Rp 10.000 per patok (400 meter persegi) atau perbandingan 1:400 antara pucuk teh dan tanah. Kini, harga pucuk teh Rp 1.100 per kg dan harga tanah Rp 40 juta per patok. Itu berarti perbandingannya kian timpang yakni 1:36.363. ”Jangankan untuk beli tanah lagi, buat mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kini kian tak cukup,” kata Enan.
Ketidakpastian cuaca membuat hidup sekitar 14.000 keluarga petani teh rakyat di Purwakarta kian suram. Sebab, manggis dan cengkeh, yang menjadi tanaman tumpang sari di kebun teh, juga tak berbuah. Unit Pengembangan Manggis Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta memastikan tak ada ekspor manggis sejak awal tahun 2010 hingga kini. Minimnya produksi dari sekitar 63.000 pohon manggis di Purwakarta memaksa eksportir menolak permintaan dari luar negeri.
Di Kabupaten Subang, ”pageblug” dirasakan oleh para petani rambutan, seperti dialami Casmita (56), petani rambutan di Desa Kaliangsana, Kecamatan Kalijati. Guyuran hujan dan serangan ulat membuat dia kehilangan potensi pendapatan sedikitnya Rp 8,8 juta dari 44 pohon miliknya.
Produksi rambutan dari 7.451 hektar lahan di Subang selama 2010, mengacu data Dinas Pertanian Kabupaten Subang, mencapai 21.000 ton. Angka itu hanya sekitar 12 persen dari rata-rata produksi 10 tahun terakhir yang mencapai 180.000 ton per tahun.
Anomali cuaca membuat petani gundah....(Mukhamad Kurniawan)
(Sumber: Kompas, 22 Maret 2011)

Banyak Situ di Bogor Rusak

Bogor, Kompas - Dari 93 situ di Kabupaten Bogor, hanya 44 situ yang dalam kondisi baik, selebihnya kurang baik kondisinya. Lima situ di antaranya dalam kondisi rusak berat sejak dua tahun lalu dan pemerintah setempat tidak bisa berbuat banyak membenahinya.
Kelima situ yang rusak berat adalah Situ Wedana di Desa Cikuda, Parungpanjang; Situ Cimanggis di Desa Cimanggis, Kecamatan Bojonggede; Situ Cogrek di Desa Cogrek, Kecamatan Ciseeng; Situ Cicau Cigadung di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Kalapanunggal; dan Situ Rawa Jeler di Desa Situsari, Kecamatan Cileungsi.

Kepala Seksi Pemeliharaan Irigasi dan Sumber Daya Air Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor Agus RN Naengolan menyampaikan hal ini di Cibinong, Rabu (23/3).Di beberapa situ, banyak bangunan liar milik warga masyarakat yang didirikan di sekitar situ. Bahkan, Situ Kemuning di Kecamatan Bojonggede telah dipagar/dipatok perusahaan pengembang perumahan.
Kondisi situ yang kurang baik umumnya mengalami pendangkalan dan kerusakan pada tanggul ataupun pintu keluar air. Pendakalan situ juga terus terjadi karena minimnya pemeliharaan. Pengerukan situ jarang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pengalihan kewenangan
Menurut Agus, Pemerintah Kabupaten Bogor sebetulnya ingin melakukan pemeliharaan situ-situ tersebut, tetapi terkendala kewenangan. Pasalnya, kewenangan pemeliharaan dan pengelolaan situ ada di pemerintah pusat.
”Wewenang pemeliharaan dan pengelolaannya ada di pemerintah pusat, Kementerian Pekerjaan Umum,” kata Agus.
Oleh karena itu, pihaknya tidak dapat melarang atau membongkar begitu saja bangunan yang ada di bantaran situ tersebut meskipun, menurut peraturan, 15 meter dari bibir situ merupakan kawasan hijau. Sampai saat ini pun pihaknya belum mendapatkan data pasti luas dan batas-batas sebuah situ.
Pemerintah Kabupaten Bogor berharap ada payung hukum yang melimpahkan kewenangan pemeliharaan dan pengelolaan situ kepada pemerintah daerah setempat.
”Kami tahu, kalau terjadi apa-apa atas situ, rakyat Bogor yang lebih dahulu kena dampaknya. Namun, untuk melakukan pemeliharaan, kami terbentur di DPRD. Ketika kami mengajukan anggaran untuk itu, DPRD menanyakan kewenangan,” ujarnya.
DPRD tidak bisa meluluskan permohonan dana pemeliharaan situ yang diajukan pemerintah kabupaten walaupun DPRD juga tahu dan ingin situ-situ terpelihara baik.
Banjir dan kekurangan air
Nani Saptariani, Transfering Knowledge Director Rimbawan Muda Indonesia, menilai pemerintah tidak peduli dengan kondisi situ. Buktinya, pemerintah tidak memerhatikan dengan saksama posisi situ ketika memberi izin pembangunan kawasan perumahan. Masyarakat juga tidak peduli karena kurang mendapat penjelasan mengenai fungsi situ bagi lingkungan hidup dan sosial.
”Situ penting untuk penyediaan air tawar dan pengendalian hidrologi tanah. Tidak ada situ, air akan lari ke mana-mana dan berpotensi mendatangkan banjir saat musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau,” tuturnya. (rts)
(Sumber: Kompas 24 Maret 2011)

Melirik sabun herbal yang ramah lingkungan



Dewasa ini, semakin banyak orang yang mulai peduli dengan kelestarian lingkungan. Henie Z.R. dan Hendricus Ledu Gere, misalnya. Kedua membuat sabun mandi dari bahan-bahan alami yang ramah terhadap alam. Sebab, sumber pencemaran juga berasal dari limbah sabun.

Ya, rumah tangga juga berpotensi menyumbang pencemaran terhadap lingkungan. Tengok saja, ketika mandi, sabun yang kita pakai umumnya mengandung banyak senyawa kimia, seperti petroleum, synthetic chemical, dan chemicals harmful, yang dapat merusak lingkungan sekitar.Sabun mandi biasanya juga mengandung sodium lauryl sulfate (SLS), yang sering digunakan sebagai bahan pembuat detergen.

Berangkat dari fakta ini, Henie ZR kemudian mengembangkan sabun mandi yang ramah lingkungan dan aman untuk tubuh. Hanya bahan natrium hidroksida (NaOH) yang tetap dipakai untuk mengubah minyak tumbuhan menjadi sabun sehingga tidak membahayakan lingkungan. Perempuan yang sudah dua tahun menggeluti usaha pembuatan sabun mandi ramah lingkungan dengan nama Java Natural Soap ini membuat sabun pembersih badan ini dengan bahan-bahan alami. Contoh, minyak kelapa, minyak sawit, minyak zaitun, minyak castor atau jarak, dan dedak beras.

Manfaat dan fungsi dari bahan-bahan alami tersebuth, minyak kelapa untuk menghasilkan busa dan melembabkan kulit. Lalu, minyak sawit untuk mengeraskan dan mengawetkan sabun, sedang minyak zaitun buat menghaluskan dan melembabkan kulit.

Kemudian, minyak castor untuk menghasilkan busa sabun mandi yang lebih lembut sekaligus memberikan nutrisi untuk kulit. Sementara, dedak beras atau rice brand untuk pelembab dan penghalus kulit.

Setiap kali produksi, Henie yang tinggal di Jakarta bisa menghasilkan kurang lebih 80 batang sabun mandi ramah lingkungan. Tiap batang sabun berukuran 5x8 sentimeter (cm), dengan ketebalan 2,5 cm.

Henie membagi sabun buatannya menjadi dua jenis, yakni sabun natural biasa dan sabun natural untuk kulit sensitif atawa castile soap. "Untuk jenis sabun natural biasa, komposisi yang dibutuhkan untuk pembuatan sabun adalah, 40% minyak sawit, 20% minyak zaitun, 15% minyak kelapa, 5% minyak castor, dan 20% dedak beras," tuturnya.

Adapun, untuk pembuatan sabun natural untuk kulit sensitif, Henie menjelaskan, komposisi bahan bakunya yaitu, 80% minyak zaitun, 10% minyak kelapa, serta 10% minyak kelapa sawit. Dari sabun yang ia buat, Henie menambahkan beberapa bahan yang digunakan sebagai penambah aroma, semisal jeruk, vanila, dan jahe. Setidaknya, ada 10 varian sabun made ini Henie, antara lain ginger orange, vanilla oatmeal, dan fresh orange soap.


Harga cukup mahal

Untuk harga, Henie memasang harga Rp 15.000 untuk sabun natural biasa dengan ukuran 100 gram, dan Rp 15.000 untuk castile soap berukuran yang sama. Dalam sehari ia bisa menjual 10 sampai 20 batang sabun dengan omzet Rp 150.000, atau per bulan mencapai Rp 4,5 juta - Rp 5 juta.

Sejauh ini, Henie masih mengandalkan penjualan melalui dunia maya. Itu sebabnya, pasar sabun mandi ramah lingkungannya menyebar dari Jakarta ke Sumatra, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Tapi, ia mengklaim, umur sabun mandi produksinya bisa bertahan sampai dengan satu tahun.

Pemain lainnya, Hendricus Ledu Gere, pemilik Kesambi Bali di Renon, Denpasar, Bali. Awalnya, ia pernah bekerja di sebuah pabrik sabun. Setelah keluar, dia pun mencoba membuat sabun mandi tanpa bahan kimia, sehingga baik untuk tubuh karena tidak menyebabkan kulit kering.

Menurut Hendricus, dirinya tidak menggunakan bahan-bahan yang sukar terurai. "Dalam sabun biasa, terdapat surface active agent (surfactan) yang tidak mudah terurai," ungkapnya.
Adapun sabun mandi bikinannya memakai bahan baku biodegradable. Sama seperti Henie, ia menggunakan minyak tumbuhan, seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak jarak. "Terserah konsumen mau menggunakan minyak yang mana," ujar Hendricus.

Untuk pewarnaan sabun mandi, Hendricus menggunakan kunyit untuk warna kuning, serta vanili atau serbuk kayu manis dan cendana untuk warna kecokelatan. Untuk aroma, dia memanfaatkan essential oil atau fragrance oil.
Beda dengan Henie, Hendricus hanya melayani permintaan dalam jumlah besar. Ia melego sabun mandi ramah lingkungan buatannya seharga Rp 5.000 untuk ukuran 50 gram, dengan minimal pemesanan 100 batang untuk satu aroma. Lalu, sabun ukuran 100 gram, harga jualnya sebesar Rp 10.000 dengan pesanan minimal sebanyak 50 batang untuk satu aroma.

Hendricus mengaku, dirinya hanya memproduksi sabun kalau ada pesanan yang datang, jadi ia tidak menjual secara bebas. Dia punya alasan: usahanya belum berbadan usaha. Kebanyakan konsumennya adalah penjual sabun, sehingga Hendricus memberi label sabun buatannya dengan merek mereka.
Tiap bulan, dari bisnis ini, Hendricus dapat memperoleh pendapatan sekitar Rp 1 juta. Masalah utama yang ia hadapi adalah, dia mengerjakan segala sesuatunya, mulai dari pencetakan hingga finishing, seorang diri.

Selain itu, proses pembuatannya tergolong lama. Untuk proses pencetakan dan pemotongan sabun memang hanya butuh tempo satu hari hari saja. Namun, untuk proses pengeringan sabun agar natrium hidroksida sempurna bercampur dengan minyak tumbuh-tumbuhan dapat memakan waktu dua sampai tiga minggu.

Menuju Green Generation

PDF Print
Negeri kita saat ini agaknya mulai dipandang kurang nyaman. Dari tahun ke tahun, negeri kita hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang kerap terjadi.

Sementara itu, perburuan satwa liar dan illegal loging nyaris tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan.Ironis,kita seolaholah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang- wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat. Meminjam istilah Garret Hardin (1968), inilah yang disebut the tragedy of commons, akibat kegagalan manusia dalam memelihara milik bersama.

Kegagalan mengapresiasi sumber daya serentak juga akan melahirkan eksternalitas negatif. Ekses-ekses buruk dapat disebabkan oleh perilaku pihak luar dan tanpa disadari berpengaruh terhadap kehidupan komunitas lain. Ketidakmampuan Indonesia mencegah pembalakan hutan misalnya, akan berimbas negatif kepada rakyat negara ini dan juga generasi yang akan datang.

Dari Sekolah

Dominasi tatanan ekonomipolitik yang telah melahirkan krisis perlu dilawan dengan kerja-kerja alternatif lokal. Nah, salah satunya dengan membangun sekolah hijau (green school).Saat ini,kesadaran untuk mewujudkan sekolah hijau sudah mulai merekah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya telah berancang- ancang mewajibkan seluruh gedung sekolah pada tahun 2011 untuk menerapkan green school building yang akan dipusatkan dengan konsep penghematan energi listrik, penggunaan air yang bisa didaur ulang dan pemanfaatan limbah sesuai dengan kaidahkaidah lingkungan.

Sekolah sebagai lembaga untuk mendidik dan menanamkan budaya positif memiliki fungsi strategis dalam mengubah paradigma berpikir yang salah dari generasi ke generasi terhadap lingkungan hidup. Selama ini, paradigma berpikir masyarakat kita melihat lingkungan hidup semisal hutan sebagai aset ekonomi yang harus dieksploitasi sebanyak- banyaknya tanpa memedulikan dampak dan akibat jangka panjangnya. Dari sekolahlah semua proses perbaikan ini dimulai.

Lingkungan sekolah yang kondusif akan ikut mendorong terwujudnya pola hidup bermutu yang pada saat ini yang sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing bangsa di mata dunia sekaligus melestarikan kekayaan sumber daya alam hayati Indonesia. Sekolah hijau punya makna yang lebih luas, yakni bukan hanya tampilan fisik sekolah yang hijau, tetapi wujud sekolah yang memiliki program dan aktivitas pendidikan mengarah kepada kesadaran dan kearifan terhadap lingkungan hidup.

Artinya, sekolah hijau merupakan sekolah yang memiliki komitmen dan secara sistematis mengembangkan program-program untuk menginternalisasikan nilai-nilai lingkungan ke dalam seluruh aktifitas sekolah. Dalam hal ini, perlu penguatan program-program sekolah hijau misalnya seputar pengembangan kurikulum berwawasan lingkungan, pengembangan pendidikan berbasis komunitas, peningkatan kualitas kawasan sekolah dan lingkungan sekitarnya, pengembangan sistem pendukung yang ramah lingkungan, dan juga pengembangan manajemen sekolah berwawasan lingkungan.

Melahirkan Generasi Tercerahkan

Nilai-nilai pendidikan yang bersifat menyeluruh yang mengasah aspek motorik, kognitif dan afektif,serta mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual akan berujung pada pem-bentukan sebuah generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi baru yang menghadapi tantangan dan lingkungan yang berbeda dan bahkan lebih keras. Nah, pada situasi di mana kondisi lingkungan tidak ramah lagi, tumbuhnya generasi hijau (green generation) menjadi penting.

Generasi hijau secara internasional telah dikampanyekan sejak tahun 2009. Sebuah gerakan yang bernama Green Edelweiss Foundation dengan moto Green Earth,misalnya terus berikhtiar menghasilkan generasi hijau khususnya dari kalangan remaja agar loyal,tanggap,cerdas,dan peduli terhadap masalah lingkungan. Kita yakin, keluarga dan sekolah akan mampu menjadi media transfer of knowledgeyang efektif dalam menanamkan dalam-dalam nilai-nilai luhur cinta lingkungan.

Orang tua dan guru merupakan dua figur yang sangat potensial untuk membangun karakter generasi hijau sebagai pewaris masa depan. Inisiatif generasi hijau ini didasari pada kesadaran pentingnya masyarakat dalam melestarikan bumi. Pemerintah saja tak cukup.Rangkaian efek darikerusakanlingkunganyang telah kita rasakan hendaknya membangkitkan kesadaran sosial untuk berbuat. Kitalah pemilik bumi ini. Konsekuensinya, kita pulalah yang harus bertanggung jawab melestarikannya.

Lahirnya generasi hijau sejatinya hendak mengajak semua masyarakat untuk terlibat secara individual dan kolektif guna meningkatkan kualitas lingkungan sekitar mereka. Masyarakat pun diharapkan berkontribusi pada ide-ide solusi permasalahan lingkungan yang lebih makro. Apapun kita, pelajar, petani, aktivis, ilmuwan, pemuka agama, profesional, guru,atau lainnya,kita dapat memberikan kontribusi pada penciptaan bumi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Generasi hijau akan terwujud bila ada kristalisasi perilaku individu dalam lingkup yang lebih luas, yaitu komunitas, baik formal (institusi pendidikan) maupun nonformal (institusi masyarakat). Dari catatan sejarah, terbukti bahwa perubahan dan munculnya sebuah generasi diawali dari dunia pendidikan. Kita tak hanya berpangku dan manggut-manggut pada “fatwa”para pakar lingkungan yang genial dan cerdas tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Cukupkah itu? Ternyata, ada yang lebih penting, yaitu tindakan nyata dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

Kita perlu sosoksosok istimewa yang memiliki semangat, konsistensi, dan integritas untuk berbuat demi pelestarian lingkungan. Generasi tercerahkan inilah yang akan mampu menginspirasi lahirnya generasi hijau (green generation). Mereka ini berbuat dengan prinsip “think globally, act locally”.Sehebat apa pun pemikiran atau semodern apa pun pergaulannya tidak ada artinya tanpa berbuat dan berkarya terhadap pelestarian lingkungan. Akhirnya, kita menjadi tersadarkan bahwa selama ini kita telah terbiasa melakukan pembiaran dan tak peduli pada kepentingan umum.

Padahal, kesadaran akan penyelamatan lingkungan tak hanya berlandaskan pada semangat altruistis semata. Lebih jauh, semua ini adalah demi kepentingan kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri.Kita dihadapkan pada kemungkinan ecological suicide akibat ketidakpedulian terhadap lingkungan.Tak ayal, hanya pembangunan kesadaran masif akan kepentingan kehidupan bersama pada masa depan yang akan menjamin keberlanjutan kehidupan kita yang nyaman di bumi. ●

MARWAN JA’FAR
Ketua Fraksi PKB DPR RI 
(Sumber: Seputar Indonesia, 1 Maret 2011)

Senin, 04 April 2011

Bertani di Sawah yang Berubah

Di gubuk tanpa dinding, di pinggir jalan berlubang, puluhan petani duduk di atas terpal. Siang itu para petani di Cantigi Kulon, Indramayu, Jawa Barat, mendiskusikan siasat terbaik untuk bertani di sawah mereka yang berair asin. Diskusi yang menentukan masa depan sawah dan hidup mereka.

Bergantian, tiap kelompok kecil menjelaskan amatan mereka. "Bisa disimpulkan, jenis padi yang paling cocok rangbo hasil silangan Haji Darmin. Anakannya terbanyak dan pertumbuhannya paling bagus," kata Takir. Petani berusia paruh baya itu berusaha meyakinkan keunggulan benih padi silang antara ciherang dan kebo itu.
"Rangbo sepertinya paling cocok, goyang dombret yang kami tanam anakannya sedikit," kata Kani, petani lain.
"Goyang dombret, goyangannya kurang hot sih," seorang petani berkelakar menimpali.
Demikian suasana sekolah lapangan iklim pertanian yang digagas Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Selama enam bulan terakhir, seminggu sekali petani diajak berdiskusi tentang perkembangan tanaman mereka, dari jumlah malai, anakan, penyakit, hingga tinggi tanaman.
Mereka diajak mencari bibit padi terbaik yang paling cocok dengan sawah berair asin. Sebanyak 15 bibit padi hasil persilangan lokal dan dari daerah lain dicoba, antara lain goyang dombret dan rangbo.
"Prinsipnya, kami mencari benih yang paling mampu bertahan di sawah yang airnya asin,: kata Zaenudin, Ketua Kelompok Tani Sumber Mulya Cantigi Kulon. "Benih bantuan pemerintah selalu gagal dipanen. Kami harus memuliakan benih lokal agar sesuai lingkungan sini," lanjutnya.
Jauh sebelum pendampingan dari IPPHTI, petani Cantigi Kulon ini bergulat sendiri untuk bertahan. Selain jenis benih, mereka juga mencari metode tanam yang paling baik, kapan waktu tanamnya, juga metode pemberantasan hama.
Desa Cantigi Kulon mnjadi area subur bagi hama keong mas karena posisi sawah mereka di muara. "Keong mas dari Indramayu kumpul semua di sini,'" ujar Zaenudin.
Solusi keong mas terpecahkan dengan cara sederhana: memelihara bebek! "Awalnya kami dipusingkan keong. Lalu, muncul ide keong sebagai pakan bebek," tuturnya. Keong mas menjadi pemasukan tambahan. Sekarang petani di Cantigi Kulon berebut mencari keong di sawah. Yang tak punya bebek tetap bisa mencari keong. Satu ember dihargai Rp 10.000.
Untuk memudahkan menangkap keong, dibuatlah saluran kecil di sela padi. lalu daun pisang atau kelapa ditaruh di saluran agar menjadi tempat favorit keong berkumpul sehingga bisa lebih mudah diambil.
Hama tikus juga pernah mewabah. Petani kemudian berinisiatif membeli sepasang garangan, sejenis musang yang menjadi predator alami tikus, di Pasar Pramuka, Jakarta. "Kami ternakkan garangan, kemudian dilepas. Kami buat larangan berburu garangan," ujar Zaenudin.
(Sumber: Kompas, 4 April 2011)