Minggu, 27 Maret 2011

Warga Miskin Bayar Air Jauh Lebih Mahal

Jakarta, Kompas - Warga miskin perkotaan lebih sulit mengakses air bersih dan membayar jauh lebih mahal dibandingkan warga lebih kaya. Hal ini mengemuka pada peringatan Hari Air Sedunia 2011 yang bertema ”Air Perkotaan dan Tantangannya”.Hal itu disampaikan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Selasa (22/3). Hal serupa diserukan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon pada peringatan Hari Air Sedunia oleh UNESCO di Jakarta. Badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan itu menggelar lokakarya internasional ”Ecohydrology for Managing Sustainable Water Futures” bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hadir dalam kegiatan itu antara lain Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kepala LIPI Lukman Hakim, Direktur UNESCO untuk Indonesia Hubert Gijzen, dan El-Mostafa Benlamih selaku United Nations Resident Coordinator in Indonesia.
Jumlah penduduk kota di dunia yang tidak memiliki akses pipa penyaluran air bersih saat ini meningkat 20 persen dari dekade sebelumnya menjadi 114 juta jiwa. Penduduk kota dunia yang tidak memiliki akses sanitasi dasar meningkat menjadi 134 juta jiwa.
”Penduduk termiskin dan paling rentan tak memiliki pilihan kecuali membeli air dari pedagang tidak resmi dengan harga 20-100 persen lebih tinggi daripada tetangga yang kaya, yang menerima pasokan air di rumah,” tulis Ban Ki-moon.
Sebagai gambaran, menurut koordinator nasional KRuHA, Hamong Santono, warga miskin di Jakarta membeli air bersih Rp 1.000-Rp 1.500 per jeriken isi 20 liter. Itu berarti Rp 50.000-Rp 75.000 per meter kubik. Padahal, harga air PDAM hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per meter kubik.
Djoko Kirmanto mengakui, saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia mengakses air bersih.
Tangkapan air kritis
Direktur Operasi Jawa-Bali PT PLN (Persero) Ngurah Adnyana mengemukakan, kelestarian lingkungan, terutama di area tangkapan air hujan, makin kritis. Hal ini memengaruhi produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dimiliki PLN.
”Pembangkit listrik di Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur, Jawa Barat, pada periode tahun 2010-2011 kehilangan produksi sebesar 1.000 megawatt dari total 1.600 megawatt karena airnya jauh berkurang,” katanya.
Sementara itu, kondisi hulu Sungai Brantas di Malang Raya, Jawa Timur, mengkhawatirkan. Sedimentasi dan erosi mengancam keberlangsungan mata air di sana dan berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor. Demikian dikatakan Eko Wahyudi, Ketua Umum Fakultas Teknik Pengairan Universitas Brawijaya.
Di Kota Malang, keberadaan air bawah tanah mulai menipis. ”Dari tiga sumur bor milik PDAM di wilayah Tidar, satu sudah mengering,” kata Direktur PDAM Kota Malang Jemianto.
Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU Susmono di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyatakan, baru 12 persen rumah tangga di pedesaan mampu mengakses air bersih PDAM. (NAW/DIA/EKI)
(Sumber: Kompas, 23 maret 2011)

Setelah Bencana Nuklir di Jepang

Rinaldy DalimiJepang memasuki darurat nuklir dengan tingkat bencana nuklir 5 mulai Jumat (18/3) setelah reaktor nomor 1 meledak pada Sabtu (12/3), kemudian reaktor nomor 3 pada Senin (14/3), nomor 2 pada Selasa (15/3), dan nomor 4 pada Rabu (16/3).
Tingkat bencana 5 berarti berpotensi membawa kecelakaan berdampak luas: paparan radiasi bisa berakibat kematian. Jika usaha menghilangkan radiasi di sekitar reaktor nuklir gagal, akan dilakukan penimbunan reaktor itu dengan pasir dan beton seperti di reaktor Chernobyl.
Tragedi nuklir di Fukushima merupakan pelajaran sangat berharga bagi dunia dalam memberi gambaran tentang kecelakaan nuklir dan bahaya yang mungkin ditimbulkan radiasi nuklir.
Secara teknologi sudah terbukti bahwa PLTN aman apabila beroperasi dalam kondisi normal. Kecelakaan terjadi justru di luar ketangguhan teknologi nuklir itu sendiri, antara lain akibat kesalahan manusia yang mengoperasikan reaktor nuklir seperti di Chernobyl; akibat kesalahan merancang seperti di Kashiwazaki, Jepang; dan karena tsunami yang baru terjadi di Fukushima.
Pengalaman di Fukushima ini melahirkan banyak reaksi atas kelanjutan energi nuklir di beberapa negara. Kanselir Jerman Angela Merkel yang semula ingin memperpanjang masa pakai beberapa PLTN di Jerman mengatakan bahwa Jerman akan segera meninggalkan era nuklir dan beralih ke sumber energi terbarukan. Beberapa negara di Eropa ingin bertahap menutup PLTN dan menggantinya dengan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak berisiko.
Penelitian dan pembangunan industri energi terbarukan akan cepat berkembang. Jepang sedang mempersiapkan program yang akan menangkap energi matahari 24 jam per hari. Penggunaan teknologi energi bersih akan digalakkan menghadapi pemanasan global.
Negara yang punya sumber daya energi akan membangun cadangan energi strategis untuk keamanan pasokan energi jangka panjang. Artinya, ekspor energi negara yang punya sumber daya energi akan berkurang bertahap dan itu akan bikin harga energi di pasar internasional kian mahal.
Kebijakan selanjutnya
Reaksi di Indonesia? Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional mengatakan, Indonesia tetap akan butuh energi nuklir guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Menristek mengatakan, Indonesia akan ketinggalan dari negara tetangga jika tidak membangun PLTN.
Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan, setelah bencana nuklir di Jepang, seharusnya tidak ada lagi diskusi tentang perlu-tidaknya pembangunan PLTN sebab akan berisiko tinggi bagi kehidupan rakyat Indonesia. Sikap Pemerintah Indonesia terlihat dari pernyataan Menko Perekonomian Hatta Rajasa: ”Jika tak ada energi primer lainnya, baru nuklir jadi pilihan.”
Indonesia termasuk negara yang berpeluang cukup besar mengatur dan mempersiapkan kebutuhan energi nasional dengan jaminan pasokan yang tinggi berdasarkan kemampuan sendiri sebab punya sumber daya energi yang cukup besar memenuhi kebutuhan jangka panjang
Indonesia punya potensi tenaga air 75 GW, panas bumi 28 GW, dan energi laut 240 GW. Bandingkanlah itu dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik yang ada di seluruh Indonesia saat ini: 32 GW. Indonesia punya potensi batu bara 104 miliar ton. Bandingkan dengan produksi batu bara Indonesia saat ini 300 juta ton per tahun. Itu pun 75 persen dari produksi tersebut diekspor. Hampir 50 persen dari produksi gas bumi saat ini juga diekspor. Yang lebih membuat kita optimistis, Indonesia punya semua bahan baku untuk bahan bakar nabati sehingga Indonesia dijuluki ”Arab Saudi” bahan bakar nabati pada masa datang.
Dalam menyelesaikan masalah energi di Indonesia, perlu ada kesamaan cara pandang secara nasional dalam merumuskan dan menyepakati pokok soal. Bila berbeda, cara dan sasaran penyelesaian masalah akan berbeda pula. Maka, rumusan pokok soal yang tepat adalah ”kekurangan energi yang dialami Indonesia saat ini bukan karena Indonesia tidak punya sumber daya energi, melainkan karena Indonesia belum menemukan konsep tata kelola yang tepat untuk Indonesia”.
Sebenarnya sudah banyak usaha pemerintah mengatasi masalah energi dengan kemandirian. Namun, sering terjadi hambatan dalam pelaksanaan akibat ketidaksinkronan langkah pemangku kepentingan dan kekuranglengkapan perangkat peraturan di tatanan lebih rendah.
Sempurnakan
Marilah menyempurnakan konsep yang sudah pernah ada. Laksanakan Program Nasional Bahan Bakar Nabati dengan target awal mengurangi secara bertahap impor BBM. Bangun PLT panas bumi dan PLTA dengan sasaran menghilangkan kebutuhan pembangunan PLTN. Perbaiki tata laksana Desa Mandiri Energi menjadi program Listrik Pedesaan Nasional untuk mengurangi secara bertahap kebutuhan BBM bagi masyarakat pedesaan. Terapkan konsep feed in tariff yang sukses di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk pembelian listrik dari energi terbarukan agar industri energi terbarukan dalam negeri berkembang cepat.
Perlu ada usaha menyelesaikan hambatan pembangunan sektor energi yang sudah terdeteksi. Carilah konsep yang tepat tentang subsidi energi (BBM dan listrik). Bentuklah Badan Penyangga Energi (seperti Bulog pada pangan) untuk menjamin pembelian bahan baku bahan bakar nabati dan listrik dari energi terbarukan demi menjamin stabilitas harga. Tugaskan BPPT mempercepat hasil teknologi energi tepat guna untuk listrik pedesaan. Tugaskan Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan fokus mengembangkan energi terbarukan.
Bila kita sepakat dengan rumusan pokok soal di atas, tak akan ada usaha lagi membeli teknologi energi dari luar yang bahan bakarnya harus diimpor seperti halnya PLTN. Amanat Pasal 3 UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran adalah mempersiapkan bahan baku dan bahan bakar nuklir untuk PLTN, bukan membangun PLTN dengan mengimpor bahan bakar uranium.
Jadi, pembangunan PLTN sudah tak layak di Indonesia sebab akan menambah ketergantungan Indonesia terhadap negara lain karena teknologi dan bahan bakarnya akan diimpor. Selain itu, juga akan menambah subsidi listrik karena harga listrik PLTN itu mahal. Lagi pula, Indonesia punya sumber daya energi yang cukup, lebih murah, dan tak berisiko tinggi. Kemudian lokasi PLTN merupakan titik terlemah dari serangan musuh dan teroris. Yang terakhir: Indonesia berada di daerah gempa yang dapat menimbulkan bencana nuklir seperti di Fukushima.
Indonesia harus dapat mengantisipasi perubahan politik energi dunia setelah tragedi nuklir di Jepang. Negara industri yang telah mengembangkan energi terbarukan mengatakan bahwa harga energi terbarukan akan sama dengan harga energi fosil mulai tahun 2020. Indonesia masih punya sumber daya energi yang lebih dari cukup sampai energi terbarukan mencapai nilai keekonomiannya. Setelah itu Indonesia berpotensi menjadi negara penghasil bahan bakar nabati terbesar di dunia.
Maka, tak satu pun alasan rasional membangun PLTN di Indonesia, selain untuk kepentingan bisnis asing.
Rinaldy Dalimi Guru Besar Fakultas Teknik UI dan Anggota Dewan Energi Nasional 
(Sumber: Kompas, 23 Maret 2011)

Ancaman Radiasi pada Makanan

Oleh : Posman Sibuea
Ledakan reaktor nuklir Fukushima tidak hanya membuat rakyat Jepang ketakutan. Berbagai bangsa pun cemas berlipat-lipat.
Pasalnya, efek radiasi yang ditimbulkan berdampak buruk pada kesehatan, apalagi radiasi diduga telah menyebar pula ke bahan makanan.
Dari sejumlah pemberitaan diketahui bahwa level radiasi di sekitar lokasi ledakan PLTN Fukushima telah berada di atas normal. Konsekuensi yang mungkin muncul adalah dampak negatif terhadap tubuh manusia.
Pertanyaannya, apakah radiasi nuklir tersebut serta-merta mengontaminasi makanan, terutama yang dikemas dan beredar ke berbagai negara? Apakah produk makanan kemasan yang terkena radiasi aman dikonsumsi?
Jaminan keamanan
Sejumlah produk makanan segar, seperti susu, bayam, dan air keran yang bisa langsung dikonsumsi yang diproduksi tidak jauh dari reaktor nuklir, memang dilaporkan tercemar radiasi di atas ambang batas. Meski demikian, Pemerintah Jepang telah memberikan jaminan keamanan. Level dosis di atas normal tidak berarti produk makanan yang terkontaminasi itu langsung memicu kematian jika dikonsumsi kecuali jika dikonsumsi secara berlebihan dan secara terus-menerus dalam waktu lama.
Pemerintah patut belajar dari cara Jepang menenangkan warganya dengan bertindak cepat untuk menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan. Kantor berita AFP pada hari Jumat (18/3/2011) melaporkan, Pemerintah Jepang langsung menguji produk susu dan bayam serta mengkaji bagaimana produk makanan tersebut didistribusikan.
Meski demikian, jaminan keamanan tidak serta-merta meredam kepanikan warga dunia. Meski secara resmi Pemerintah Jepang telah melarang penjualan produk makanan yang dihasilkan dari wilayah di sekitar reaktor Fukushima, temuan radiasi pada produk makanan malah semakin menambah kekhawatiran terhadap dampak darurat nuklir.
Masyarakat Indonesia pun ikut panik, apalagi banyak informasi bohong beredar di internet. Namun, pemerintah menjamin, jika fasilitas produksi bahan pangan itu berada dalam radius bahaya radiasi, produk impor itu tidak akan diterima Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sebenarnya, kepanikan ini mengingkari sifat alamiah manusia yang bisa hidup bersama radiasi, yang artinya adalah proses hantaran energi yang luas. Radiasi bisa berasal dari sinar matahari yang mendukung kehidupan dan hidup manusia. Setiap saat permukaan Bumi terpapar radiasi sinar kosmis yang terdiri dari gelombang elektromagnetik serta ratusan jenis partikel dan mineral radioaktif yang terlarut dalam air dan udara.
Jadi, tanpa kehadiran reaktor nuklir pun kita tidak bebas dari paparan radiasi radioaktif. Ketika teknologi kian canggih, ada radiasi buatan yang muncul dari berbagai peralatan modern, seperti sinar X pada peralatan medis, televisi, monitor komputer.
Tidak seperti sinar matahari yang dapat kita rasakan, paparan radiasi tidak terasa. Efek radiasi bersifat tidak langsung, bisa berminggu kemudian baru muncul gejalanya, bergantung material radioaktif yang dilepas dan durasi paparan. Level paparan yang tinggi menyebabkan sindrom radiasi akut, bahkan kematian. Gejalanya, mual, muntah, kelelahan, rambut rontok, dan diare.
Efeknya pada makanan
Meskipun produksi susu dari peternakan di Fukushima, sekitar 30 km dari lokasi PLTN, dilaporkan tercemar radiasi, hingga kini belum ada laporan makanan kemasan tercemar radiasi.
Kecemasan berlebihan terhadap cemaran radiasi pada makanan kemasan ini bisa berdampak buruk terhadap teknologi pengawetan makanan dengan iradiasi (food irradiation).
Josephson (1983) dalam tulisannya ”An Historical Review of Food Irradiation” di Journal of Food Safety menyebutkan penggunaan radiasi gamma untuk mengawetkan makanan dengan dosis di atas 10 kGy (kilogrey) sudah berlangsung pada produk pangan kemasan.
Meski Codex Alimentarius Commission tahun 2003 sudah menyatakan iradiasi pada bahan pangan di atas dosis 10 kGy dibolehkan, Pemerintah Indonesia tetap mensyaratkan uji keamanan pangan apabila produk itu akan dikomersialkan dan dikonsumsi masyarakat.
Di sejumlah negara maju, pasien yang baru selesai menjalani operasi—karena daya imun tubuh masih rendah dan diisolasi dari kondisi normal—direkomendasikan mengonsumsi makanan bergizi tinggi yang disterilkan dengan berbagai teknik, termasuk radiasi.
Makanan siap saji bergizi tinggi dalam kemasan laminasi yang disterilkan dengan teknik radiasi dosis tinggi 45 kGy dan dikombinasikan dengan suhu rendah dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan asupan gizi tersebut.
Sejauh ini, penelitian di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mengembangkan teknik iradiasi pada biji-bijian dan produk olahannya, buah-buahan, daging, pepes ikan mas, dan lain-lain. Hasil riset tersebut dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kualitas higiene dan daya awet bahan pangan.
Posman Sibuea Guru Besar di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas Medan; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(Sumber : Kompas, 23 Maret 2011)

Radiasi tak selalu bahaya

Oleh Bob Sadino (Pengusaha Agribisnis)
Meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang mengakibatkan radiasi nuklir di Jepang memunculkan kekhawatiran  adanya pencemaran pada produk makanan dan minuman baik di Jepang maupun di negara lain. Bagi saya sebagai pengimpor dan pengekspor produk dari dan ke Jepang, hingga saat ini belum mengalami masalah.
Pada dasarnya beberapa produk justru bagus bila mendapat radiasi nuklir dalam kadar tertentu agar steril dan bebas kuman. Produk tetes mata misalnya,banyak negara minta diraduiasi nuklir lebih dulu sebelum diekspor agar steril.
Begitu pula dengan bibit sayuran-sayuran dan buah-buahan. Bibit sayuran-sayuran harus disterilkan melalui radiasi nuklir agar terhindar dari kuman penyakit. Sedangkan buah-buahan rentan dihinggapi lalat buah yang tidak terlihat secara kasat mata. Maka untuk membasminya, perlu radiasi nuklir. Jadi anggapan bahwa radiasi nuklir mengancam bisnis, tidak sepenuhnya benar.
Yang harus diperhatikan adalah seberapa besar kadar radiasi dalam suatu produk. Inilah yang menjadi tugas pemerintah untuk mengontrol. Pemerintah harus menyaring produk yang berasal dari Jepang sebelum didistribusikan. Soalnya, pemerintah harus melindungi masyarakat bagi produk yang mengandung bahan berbahaya.
Saya memandang bila ada pengusaha yang memanfaatkan peluang ini untuk mengekspor produk indonesia ke sana, juga sah-sah saja. PAda prinsipnya, pebisnis harus jeli melihat peluang.
(Sumber: Kontan 21 Maret 2011)

Sabtu, 19 Maret 2011

Siklus Hama Berubah

Jakarta, Kompas - Anomali iklim saat ini menyebabkan siklus hama dan penyakit tanaman berubah. Jika sebelumnya pergantian musim memutuskan siklus hama, kini dengan anomali cuaca siklus hama tidak terputus atau berlanjut sepanjang tahun.

Ancaman krisis pangan pada tahun berikutnya patut diwaspadai oleh fenomena ini yang bisa mengakibatkan pandemi hama yang menyebar ke mana-mana.

”Bisa dilihat sekarang ada pohon mangga yang sedang berbuah, tetapi akhir-akhir ini kembali berbunga. Masyarakat awam melihat hal ini menguntungkan, tetapi sesungguhnya membahayakan,” kata Teguh Triono, ahli taksonomi pada Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat (14/1) di Jakarta.

Sebetulnya, hal tersebut bisa berlangsung tidak hanya pada tanaman mangga saja. Hal yang membahayakan, menurut Teguh, adalah siklus hama dan penyakit menjadi tidak terputus.

Dengan kondisi siklus hama dan penyakit yang tidak terputus, dikhawatirkan pada tahun berikutnya di antara berbagai jenis hama dan penyakit tanaman itu akan mewabah di mana-mana.

Kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) Sobir mengatakan, saat ini terjadi anomali iklim. Dengan kondisi tropika tanpa anomali seperti sekarang pun, siklus hama dan penyakit tertentu bisa terus berlanjut sepanjang tahun, dipengaruhi kelembaban yang tinggi.

”Dalam keadaan sesuai pola normal, proses keberlanjutan siklus hama dan penyakit tanaman bisa terus berlangsung dengan cara berpindah inang,” kata Sobir.

Masalah lain dari fenomena satu kali periode berbuah terdapat dua kali masa berbunga, menurut Sobir, juga menurunkan kualitas buah. Ini karena pohonnya membagi kemampuan antara menumbuhkan bunga dan buah dalam waktu bersamaan.

”Kondisi ini jelas sebagai dampak perubahan iklim yang terbukti mengganggu produktivitas tanaman,” kata Sobir.

Indikator perubahan iklim

Teguh mengatakan, saat ini sedang mengembangkan riset pemantauan flora dan fauna sebagai indikator perubahan iklim. Seperti berbagai jenis serangga, ternyata juga terpengaruh oleh perubahan iklim yang meningkatkan suhu.

”Ketika suhu berubah satu derajat celsius saja, ternyata berdampak pada perubahan ukuran tubuh beberapa serangga,” kata Teguh.

Iklim yang memungkinkan hujan terjadi sepanjang tahun, diakui Teguh, memang sangat berdampak pada produktivitas tanaman. Seperti di Kalimantan, setiap awal tahun akan mudah dijumpai buah durian, tetapi awal tahun ini hampir tidak ada.

”Dampak perubahan iklim yang merugikan harus diantisipasi sehingga pada tahun-tahun berikutnya bisa dicegah kejadian yang tidak diinginkan,” kata Teguh.

Sobir mengatakan, terdapat peluang dari pohon-pohon buah yang sekarang tidak produktif akan menyimpan energinya. Jika tidak terjadi lagi anomali iklim dan tidak diserang hama dan penyakit, pada musim berikutnya bisa sangat produktif. (NAW)

(Sumber: Kompas, 15 Januari 2011)

Kamis, 17 Maret 2011

Perlindungan Masyarakat Adat Kabur

Jakarta, Kompas - Perundingan negara anggota Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) belum memastikan bentuk perlindungan bagi masyarakat adat terkait pemanfaatan sumber daya genetika yang dikelola masyarakat adat. Pemberlakuan hak atas kekayaan intelektual dalam penggunaan sumber daya genetika berisiko mengurangi akses masyarakat adat.

Asisten Deputi Urusan Perjanjian Internasional Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan, perundingan para pihak WIPO, Desember 2010, belum menyepakati jenis hukum hak atas kekayaan intelektual (HAKI) untuk penggunaan sumber daya genetika oleh masyarakat adat.

Masyarakat adat secara tradisional menggunakan banyak sumber daya genetika untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, penggunaan berbagai tanaman untuk obat tradisional mereka, seperti temulawak atau kunyit.

Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati mendefinisikan itu sebagai keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman; mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem.

”Bagaimana menjamin hak masyarakat adat dengan hukum paten yang memberi pengakuan HAKI individual, sementara masyarakat adat cenderung komunal. HAKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemegang hak, tetapi bagaimana agar HAKI juga bermanfaat bagi masyarakat adat yang mengonservasi berbagai sumber daya genetika yang potensial diteliti dan dikembangkan,” kata Vivien di Jakarta, Senin (10/1).

Pada Oktober 2010, para pihak Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang bertemu di Nagoya, Jepang, menyepakati penerapan asas access and benefit sharing, yaitu memberikan akses dan keuntungan negara asal sebuah keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan negara lain. Perundingan WIPO terkait pengaturan HAKI itu akan dilanjutkan pada 28 Februari-4 Maret 2011 di Geneva, Swiss.

Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, menyatakan, pemberlakuan HAKI dalam pemanfaatan sumber daya genetika akan mengurangi bahkan berisiko menutup akses masyarakat adat terhadap sumber daya genetika bersangkutan. (ROW)

(Sumber: Kompas, 11 Maret 2011)