Rabu, 14 September 2011

Cemaran Ganggu Areal Tangkap

PTTEP Siap Bayar Kerugian asal Ada Bukti Ilmiah

Jakarta, Kompas --- Pencemaran laut di Selat Timor akibat tumpahan minyak sumur Montara milik perusahaan PTTEP Australia mencapai jarak sekitar 50 mil atau sekitar 92 kilometer sebelah selatan garis pantai Pulau Rote. Perairan itu merupakan areal tangkap nelayan Timor yang sering memberu ikan hingga dekat perairan Australia.

Demikian hasil penelitian Fakultas Kelautan dan Perikanan Pertanian Bogor (FKP-IPB, Februari 2011, atas permintaan PTTEP.

"Partikel pencemar masuk zone ekonomi eksklusif Indonesia yang merupakan fishing ground berbagai jenis ikan pelagis, seperti tongkol, cakalang, dan beberapa ikan karang," kata Indra Jaya, Guru Besar yang juga Dekan FPK-IPB, Selasa (13/9), yang dihubungi dari Jakarta.

Ganguna ini diprediksi dialami nelayan selama enam bulan sejak kebocoran minyak sumur Montara, 21 Agustus 2009. Minyak tumpah selama 72 hari dengan volume 30.000 barrel.

Tumpahan dibersihkan menggunakan cairan untuk membuat sebyawa hidrokarbon minyak melayang di kolom air. Selanjutnya partikel pencemar disapu arus lintas Indonesia yang dikenal berarus kuat dari arah timur-laut melewati celah Timor menuju Samudra Hindia.

Berdasarkan permodelan dan pengukuran masa air laut, Indra Jaya memaparkan, partikel pencemar tidak mencapai pantai Indonesia. Dengan demikian ekosistem terumbu karang dan mangrove tidak terganggu.

Siap membayar
Dalam penjelasan kepada media massa di Jakarta, Selasa, Eksekutif PTTEP Luechai Wongsirasawad menyatakan siap membayar kompensasi asal pemerintah Indonesia memiliki bukti ilmiah bahwa kerugian itu disebabkan tumpahan minyak Montara. Ia mengatakan, partikel pencemar hanya mencapai 94 kilometer dari garis pantai Timor,. Menurut dia, hanya nelayan berkapal besar yang bisa mencapai lokasi itu.

Hingga kini, PTTEP dan Pemerintah Indonesia Indonesia belum menandatangani nota kesepahaman yang isinya, antara lain, menentukan pihak ketiga untuk menengahi perbedaan bukti.

Terkait dengan angka 3 juta dolar AS yang disebut sebagai nilai kompensasi yang ditawarkan, Wongsirasawad menyatakan PTTEP tidak pernah menyebut angka nominal kompensasi. Dana itu merupakan dana tanggung jawab sosial PTTEP yang memiliki bisnis di Indonesia.

Sebelumnya, dalam kunjungan ke Kompas, mengungkapkan, selain melakukan penelitian bersama IPB untuk meneliti bersama IPB untuk meneliti arus kuat di kawasan Timor yang dikenal sebagai Indoneisa Throughflow (ITF), pihaknya juga melakukan penelitian bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Univesitas Indonesia (LPEM-UI) tentang sampak tumpahan minyak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Timor.

Penelitian arus kuat laut menunjukkan, dengan kecepatan 1,4 kilometer per jam di permukaan laut, tumpahan minyak amat cepat tersapu dari Laut Timor ke arah barat daya sehingga tidak mungkin mencemari Laut Sawu sebagaimana diklaim.

Hasil penelitian dengan LPEM-UI masih dalam tahap penyelesaian, tetapi data resmi dari Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur menunjukkan peningkatan signifikan volume tangkapan ikan tahun 2009 dibanding 2008.

Ketua Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor (TALT), Masnellyarti Hilman, mengatakan, "Kami sudah melakukan studi sendiri. Berdasarkan itu, klaim kami layangkan. Kami minta mereka untuk mengklarifikasi hasil studi itu."

Untuk klaim terhadap dampak pada ekosistem, kata Masnellyari, ada beberapa perbedaan hasil, antara lain, soal luasan terdampak. Dia menuturkan, penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air laut yang diperiksakan ke laboratorium. Hasilnya, ditemukan "sidik jari" alias jejak tumpahan minyak Montara, "Awalnya mereka membantah, tapi lalu setuju," ujar dia.

Soal mangrove, Indonesia mengklaim ada dampak, sementara PTTEP mengatakan tak ada dampak. "Mereka belum setuju bahwa tumpahan minyak mencemari pantai Indonesia," kata Masnellyarti, menambahkan.

Karena itu, dibuat nota kesepahaman yang memuat kesepakatan akan ada komite netral yang akan melihat data kedua pihak. "Jika tetap tidak ada kesepakatan, komite akan memberikan rekomendasi, apa yang harus dilakukan," katanya.
(ICH/ICW/EVY)

Sumber tulisan : Kompas, 14 September 2011, hal 13
Sumber peta: http://ibrahimlubis.wordpress.com/2008/06/25/minyak-di-celah-timor/

Minggu, 01 Mei 2011

Keanekaragaman Hayati: Karunia Bagi Indonesia

(Albert Einstein: Yang kita ketahui belum sampai satu perseribu dari satu pesen dari yang dimiliki oleh alam)

Tahun 2010 ditetapkan oleh PBB sebagai Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati. Ironisnya, banyak di antara kita tidak cukup memahami betapa besar karunia Tuhan dalam bentuk keanekaragaman hayati bagi tanah air tercinta ini. Bayangka, besaing dengan Brazil, Indonesia merupakan negara dengan jenis binatang dan tumbuhan terkaya di dunia. Namun, ditambah dengan ragan jenis terumbu karang, Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman hayati nomor satu di muka bumi ini.
Dengan luas kawasan yang hanya 1,3% dari luas muka bumi ini, Indonesia adalah rumah bagi sekitar 12% jenis mamalia, 16% jenis reptil dan amfibi, 17% jenis burung, 25% jenis ikan dan masih terus bertambah dengan temuan baru setiap tahunnya. Hingga saat ini, terdapat satu juta spesies binatang dan tumbuhan hidup di Indonesia yang berhasil diidentifikasi dan jumlah tersebut baru setengah dari perkiraan keanekaragaman hayati yang kita miliki.
Lalu, apa arti semua kekayaan itu bagi kita?
Bila pertanyaan seeprti itu masih muncul, maka ada dua penyebabnya. Pertama, kita memang sering kali tidak menhargai atau melihat karunia besar yang ada di depan mata. Kedua, karena mungkin kita kurang terpapar oleh informasi.
Mari kita uji pengetahuan kita. Tahukah Anda tentang satu mahluk kecil di laut bernama cyanobacteria? Rasanya tidak banyak yang pernah mendengar nama ini. Lalu, mengapa kita harus peduli?
Ternyata, pada tahun 1986 diketahui bahwa mahluk inilah yang menhasilkan 20% oksigen yang kita hirup setiap saat! Artinya, hidup kita tergantung pada mahluk yang namanya pun baru kita tahu saat membaca artikel ini.
Bagaimana bila dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak spesies yang kita miliki adalah “gudang obat-obatan dunia”? Apakah kita tetap tidak mau peduli? 25% bahan baku obat-obatan ternyata berasal dari hutan. Padahal, ini baru 1% saja dari tubuhan di hutan tropis yang telah diuji secara ilmiah. Tidak haya itu, hutan ternyata menghasilkan 25% bahan aktif obat penyakit kanker yang sekarang digunakan di berbagai belahan bumi. Pernahkah membayangkan, berapa keuntungan dari para pemegang hak paten obat-obatan yang bahan dasarnya berasal dari hutan kita?
Ketika tempat bagi mahluk-mahluk hidup tersebut rusak dan musnah, tentu bukan hanya sekedar pundi-pundi uang yang lenyap, tapi juga kehidupan kita diambang bencana. Satu spesies saja punah, maka keseimbangan alam akan terganggu dan menimbulkan akibat yang mungkin tak pernah kita bayangkan.
Sungguh ironi, sebagai pemilik keanekaragaman hayati nomor satu, kitapun menjadi negara dengan laju penggundulan hutan nomor satu (atas nama pembangunan). Di negara kita pula spesies vertebrata mengalami ancaman kepunahan dalam jumlah terbanyak (128 spesies mamalia dan 104 spesies burung).
Lantas, apakah negara kita akan menjadi seperti orang kaya yang tak pernah menghargai kekayaannya dan terus menghambur-hamburkan hingga tak bersisa? Jangan biarkan hal itu terjadi pada negara kita yang indah dan kaya raya ini.
(Tulisan Suzi D. Hutomo, CEO The Body Shop Indonesia)

Rabu, 13 April 2011

Limbah Industri, Dibuang Tanpa Diolah

BATAM, KOMPAS - Pembuangan limbah industri tanpa melalui pengolahan terus terjadi di Kota Batam, Kepulauan Riau. Meski sejauh ini tak menimbulkan dampak kesehatan, tapi warga khawatir jika hal itu dibiarkan terus. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam diminta menindak tegas.
”Pemeriksaan kasus pertama baru diselesaikan kemarin (Kamis), dan minggu depan tinggal mengirimkan surat perintah untuk merelokasi limbah. Sementara kasus kedua masih dalam proses pengumpulan bahan keterangan,” kata Kepala Bapedal Kota Batam Dendi N Purnomo, Jumat (11/3).
Kasus pertama yakni pembuangan limbah sisa komponen elektronik pada salah satu kawasan permukiman di Kecamatan Batam Kota. Limbah dari bahan plastik dan tembaga ini dikemas dalam karung plastik dengan total volume 20 ton. Limbah ini di luar jenis domestik dan bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembuangannya harus melalui pengolahan khusus karena mengandung bahan berbahaya atau terkontaminasi bahan berbahaya.
Menurut Dendi, Bapedal Kota Batam telah melakukan konfirmasi ke PT Panasonic Devices. Perusahaan mengakui limbah itu bersumber dari pabriknya.
Kasus kedua, lanjut Dendi, pembuangan kotoran minyak di kawasan hutan di Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung. ”Limbah-limbah ini sudah menumpuk selama dua bulan. Kalau dibiarkan bisa berbahaya,” kata Agus (35), warga Batam.
Saat ini di Batam beroperasi 776 industri, dan 375 perusahaan di antaranya berpotensi menghasilkan limbah B3 dan limbah khusus. Lalu, 100 dari 375 perusahaan itu belum melakukan pengolahan. Produksi limbah B3 dari 100 perusahaan itu sekitar 2.000 ton per tahun. Jenis limbahnya sampah elektronik dan bahan kimia berbahaya. (LAS)
(Sumber: Kompas, 12 Maret 2011)

Bongkar Vila atau Bangun Resapan

Kawasan wisata Puncak memegang peranan vital bagi Jakarta. Puncak tidak hanya sebagai tempat berlibur yang relatif dekat bagi warga Jakarta, tetapi juga menjadi kawasan pencegah banjir di Jakarta. Namun, pembangunan di Puncak tidak menunjukkan ke arah itu.
Pembangunan vila dan real estat baru terus bermunculan serta tidak terkendali. Lihat saja, di sepanjang jalan Puncak kini dipenuhi dengan toko, restoran, dan tempat rekreasi. Banyak bangunan baru juga muncul di lahan bekas ladang dan sawah milik penduduk setempat.
Dosen Ilmu Lingkungan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan, Lim Bianpoen, dalam perbincangan dengan Kompas pekan lalu mengatakan, dengan membiarkan Puncak ditumbuhi vila dan real estat baru, Puncak tidak lagi menjadi daerah tangkapan air, dan ini membahayakan Jakarta.
Selain itu, secara perlahan, kondisi ini sesungguhnya juga bisa memiskinkan warga setempat.
”Penduduk setempat tidak sadar, dengan menjual lahan miliknya, dia akan semakin miskin dari sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Bianpoen, banyak penduduk biasanya tidak pandai mengelola uang. Ketika mendapatkan bayaran atas penjualan lahan, mereka langsung membelanjakannya untuk kebutuhan sesaat, seperti membeli sepeda motor atau memperbaiki rumah. Akhirnya, setelah menikmati kesenangan sesaat itu, mereka jadi lebih miskin dari sebelumnya.
Puncak, yang semula merupakan tempat berlibur, berubah menjadi pusat kemacetan, khususnya pada akhir pekan. Warga Jakarta yang berlibur ke sana justru dihadapkan pada kemacetan yang membuat mental dan fisik lelah luar biasa. Warga setempat pun kembali terkena imbasnya.
Lebih miskin
Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada era Gubernur Ali Sadikin, Bianpoen dengan tegas menunjuk pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Menurut dia, kesalahan ini dilakukan oleh semua pihak. Namun, yang paling besar andilnya dengan kerusakan yang terjadi di Puncak adalah pemerintah daerah setempat.
”Mereka harus berani membongkar vila-vila itu. Toh, mereka juga yang menikmati biaya pengurusan izin yang dikeluarkan oleh pemilik vila,” kata Bianpoen.
Imbauan untuk membongkar vila-vila ini sebenarnya sudah lama didengungkan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Bogor juga pernah melaksanakannya. Namun, jumlah vila yang dibongkar sangat kecil dibandingkan dengan jumlah bangunan- bangunan baru yang muncul di kawasan Puncak.
Kini, untuk memperbaiki kawasan Puncak, Bianpoen mengatakan ada langkah sementara yang bisa diambil sambil menunggu bangunan-bangunan itu dibongkar. Langkah itu adalah memaksa pemilik bangunan membuat sumur resapan.
Di sini, pemerintah setempat harus memastikan bahwa sumur resapan itu benar-benar dibuat oleh para pemilik vila sesuai dengan bangunan yang dibangun.
Dicontohkan, jika seseorang mempunyai lahan seluas 1.000 meter persegi lalu di atasnya dibangun vila seluas 600 meter persegi, yang bersangkutan harus membuat sumur resapan yang luas dinding resapannya mencapai 600 meter persegi.
”Dinding itu harus mempunyai lubang-lubang yang mampu menyalurkan air ke dalam tanah. Pembuatan sumur resapan ini harus diawasi secara ketat. Pemerintah daerah jangan hanya percaya dengan pengakuan pemilik bangunan,” tutur Bianpoen.
Terhadap penduduk setempat, pemerintah daerah juga harus memberi pendampingan agar tidak mudah menjual tanah mereka. Pemerintah harus memastikan kualitas hidup warganya tidak tergusur dan terus terjaga dengan baik. (ARN)
(Sumber: Kompas, 23  Maret 2011)

Anomali Cuaca Membuat Mereka Gundah


KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Pandi (40), petani penggarap di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (28/2), menanam kapulaga di sela-sela tanaman teh miliknya. Ketidakpastian cuaca membuat sebagian besar pohon buah di daerah itu tak berbuah. Sebagian petani menyiasatinya dengan menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Ujang Keden (48) tak menduga hujan sepanjang 2010 lalu menyeret nasibnya ke jalanan. Dari bandar buah manggis beromzet Rp 30 juta sehari, kini dia menjadi pedagang pengecer di tepi Jalan Raya Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Omzetnya pun tinggal puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah per hari.
Biasanya, selama 3-4 bulan masa panen, Ujang memasok 2-4 ton manggis per hari ke seorang eksportir asal Jakarta. Ia mengepul manggis di sentra Wanayasa, Bojong, Darangdan, dan Kiarapedes. Dengan modal Rp 20 juta untuk membeli hasil panen petani, dia bisa menjual ke eksportir hingga Rp 30 juta.
Sejak awal tahun 2011, kisah menggembirakan itu tidak pernah lagi terjadi. Jangankan 2-4 ton, mengumpulkan 50 kg per hari saja sulit bagi pedagang seperti Ujang yang telah lebih dari 10 tahun menekuni manggis.
Sebelum menular ke pedagang, ”wabah” telah lebih dulu menjalari pohon dan petani pemiliknya. Guyuran hujan selama proses pembuahan membuat sebagian besar pohon gagal berbuah. Nasib serupa dialami pohon rambutan, cengkeh, dan mangga, yang menjadi sandaran hidup sebagian petani di Jabar.
Ahmad Mulyana (62), petani di Desa Garokgek, Kecamatan Kiarapedes, biasanya mengandalkan pendapatan dari teh saat 6 pohon manggis dan 50 pohon cengkeh miliknya tak berbuah. Sayang, nasib teh tak lebih baik dari tanaman buah. Harga jualnya selalu tertekan karena harus menghadapi kokohnya dominasi jaringan pemasaran.
Ongkos produksi pucuk daun teh basah dari perkebunan teh rakyat mencapai Rp 1.700 per kg. Itu mencakup ongkos pemeliharaan, pemupukan, dan penyemprotan, serta ongkos petik dan angkut. Namun, saat cengkeh dan manggis gagal panen, harga jual pucuk teh hanya Rp 1.150 per kg.
Dengan harga jual rendah, petani memilih membiarkan tanamannya tumbuh alami. Di beberapa kebun teh di Desa Sukadami dan Taringgul Landeuh, Kecamatan Wanayasa; Desa Kiarapedes dan Cibeber, Kecamatan Kiarapedes; dan Pasirangin, Nangewer, dan Linggasari, Kecamatan Darangdan, tanaman teh kalah tinggi dengan rumput liar. Petani tak lagi memupuk atau menyemprot tehnya sehingga produktivitas cenderung turun. Produksi dari 1 patok (400 meter persegi) kebun teh turun dari 1 kuintal menjadi 0,4-0,5 kuintal dalam sekali petik.
Saat menghadapi ketidakpastian cuaca yang memengaruhi produksi, petani tak berdaya untuk mendobrak tata niaga yang monopolistis. Bagi petani, teh rakyat di Purwakarta, dominasi tengkulak serta harga jual rendah telah menjadi ”penyakit menahun” yang belum terobati. Penyakit itu bahkan telah menggerogoti kebun-kebun teh rakyat.
Menurut catatan Kelompok Teh Rakyat (Kotera) Purwakarta, dari 4.400 hektar kebun teh rakyat di sentra Wanayasa, Kiarapedes, Bojong, dan Darangdan, lebih dari separuhnya telah beralih fungsi menjadi kandang ternak, bangunan, atau kebun komoditas lain dalam 5 tahun terakhir.
”Pageblug”
Era sejak tahun 2010 menjadi masa ”pageblug” bagi petani. ”Wabah penyakit” akibat anomali iklim seolah menular dengan cepat dalam cakupan luas dan menimbulkan banyak korban, baik petani, pedagang, para pekerja pendukung, dan keluarganya. Kondisi itu diperparah oleh penyakit menahun yang belum sembuh.
Situasi itu yang membuat hidup Enan Sunarya (52) dan keluarganya kian terpuruk. Petani di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, itu punya empat pabrik pengolah teh dan kebun hingga 6 hektar yang menyerap belasan tenaga kerja.
Akan tetapi, zaman seolah kian tak berpihak ke petani seperti Enan. Kini, Enan hanya menyandarkan penghasilan dari 1 hektar, karena 5 hektar lainnya telah dijual untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Senasib dengannya, ratusan petani yang mengelola sekitar 400 hektar kebun di Linggasari, Neglasari, dan Cilingga telah menjual lahannya.
Bertani, bagi Enan, seolah kian tidak menguntungkan. Dia mencontohkan, pada kurun 1979-1985, seorang kuli angkut pucuk daun teh dengan upah Rp 10 per kg bisa membeli lahan. Ketika itu harga pucuk daun teh Rp 25 per kg dan harga tanah Rp 10.000 per patok (400 meter persegi) atau perbandingan 1:400 antara pucuk teh dan tanah. Kini, harga pucuk teh Rp 1.100 per kg dan harga tanah Rp 40 juta per patok. Itu berarti perbandingannya kian timpang yakni 1:36.363. ”Jangankan untuk beli tanah lagi, buat mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kini kian tak cukup,” kata Enan.
Ketidakpastian cuaca membuat hidup sekitar 14.000 keluarga petani teh rakyat di Purwakarta kian suram. Sebab, manggis dan cengkeh, yang menjadi tanaman tumpang sari di kebun teh, juga tak berbuah. Unit Pengembangan Manggis Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta memastikan tak ada ekspor manggis sejak awal tahun 2010 hingga kini. Minimnya produksi dari sekitar 63.000 pohon manggis di Purwakarta memaksa eksportir menolak permintaan dari luar negeri.
Di Kabupaten Subang, ”pageblug” dirasakan oleh para petani rambutan, seperti dialami Casmita (56), petani rambutan di Desa Kaliangsana, Kecamatan Kalijati. Guyuran hujan dan serangan ulat membuat dia kehilangan potensi pendapatan sedikitnya Rp 8,8 juta dari 44 pohon miliknya.
Produksi rambutan dari 7.451 hektar lahan di Subang selama 2010, mengacu data Dinas Pertanian Kabupaten Subang, mencapai 21.000 ton. Angka itu hanya sekitar 12 persen dari rata-rata produksi 10 tahun terakhir yang mencapai 180.000 ton per tahun.
Anomali cuaca membuat petani gundah....(Mukhamad Kurniawan)
(Sumber: Kompas, 22 Maret 2011)

Banyak Situ di Bogor Rusak

Bogor, Kompas - Dari 93 situ di Kabupaten Bogor, hanya 44 situ yang dalam kondisi baik, selebihnya kurang baik kondisinya. Lima situ di antaranya dalam kondisi rusak berat sejak dua tahun lalu dan pemerintah setempat tidak bisa berbuat banyak membenahinya.
Kelima situ yang rusak berat adalah Situ Wedana di Desa Cikuda, Parungpanjang; Situ Cimanggis di Desa Cimanggis, Kecamatan Bojonggede; Situ Cogrek di Desa Cogrek, Kecamatan Ciseeng; Situ Cicau Cigadung di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Kalapanunggal; dan Situ Rawa Jeler di Desa Situsari, Kecamatan Cileungsi.

Kepala Seksi Pemeliharaan Irigasi dan Sumber Daya Air Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor Agus RN Naengolan menyampaikan hal ini di Cibinong, Rabu (23/3).Di beberapa situ, banyak bangunan liar milik warga masyarakat yang didirikan di sekitar situ. Bahkan, Situ Kemuning di Kecamatan Bojonggede telah dipagar/dipatok perusahaan pengembang perumahan.
Kondisi situ yang kurang baik umumnya mengalami pendangkalan dan kerusakan pada tanggul ataupun pintu keluar air. Pendakalan situ juga terus terjadi karena minimnya pemeliharaan. Pengerukan situ jarang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pengalihan kewenangan
Menurut Agus, Pemerintah Kabupaten Bogor sebetulnya ingin melakukan pemeliharaan situ-situ tersebut, tetapi terkendala kewenangan. Pasalnya, kewenangan pemeliharaan dan pengelolaan situ ada di pemerintah pusat.
”Wewenang pemeliharaan dan pengelolaannya ada di pemerintah pusat, Kementerian Pekerjaan Umum,” kata Agus.
Oleh karena itu, pihaknya tidak dapat melarang atau membongkar begitu saja bangunan yang ada di bantaran situ tersebut meskipun, menurut peraturan, 15 meter dari bibir situ merupakan kawasan hijau. Sampai saat ini pun pihaknya belum mendapatkan data pasti luas dan batas-batas sebuah situ.
Pemerintah Kabupaten Bogor berharap ada payung hukum yang melimpahkan kewenangan pemeliharaan dan pengelolaan situ kepada pemerintah daerah setempat.
”Kami tahu, kalau terjadi apa-apa atas situ, rakyat Bogor yang lebih dahulu kena dampaknya. Namun, untuk melakukan pemeliharaan, kami terbentur di DPRD. Ketika kami mengajukan anggaran untuk itu, DPRD menanyakan kewenangan,” ujarnya.
DPRD tidak bisa meluluskan permohonan dana pemeliharaan situ yang diajukan pemerintah kabupaten walaupun DPRD juga tahu dan ingin situ-situ terpelihara baik.
Banjir dan kekurangan air
Nani Saptariani, Transfering Knowledge Director Rimbawan Muda Indonesia, menilai pemerintah tidak peduli dengan kondisi situ. Buktinya, pemerintah tidak memerhatikan dengan saksama posisi situ ketika memberi izin pembangunan kawasan perumahan. Masyarakat juga tidak peduli karena kurang mendapat penjelasan mengenai fungsi situ bagi lingkungan hidup dan sosial.
”Situ penting untuk penyediaan air tawar dan pengendalian hidrologi tanah. Tidak ada situ, air akan lari ke mana-mana dan berpotensi mendatangkan banjir saat musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau,” tuturnya. (rts)
(Sumber: Kompas 24 Maret 2011)

Melirik sabun herbal yang ramah lingkungan



Dewasa ini, semakin banyak orang yang mulai peduli dengan kelestarian lingkungan. Henie Z.R. dan Hendricus Ledu Gere, misalnya. Kedua membuat sabun mandi dari bahan-bahan alami yang ramah terhadap alam. Sebab, sumber pencemaran juga berasal dari limbah sabun.

Ya, rumah tangga juga berpotensi menyumbang pencemaran terhadap lingkungan. Tengok saja, ketika mandi, sabun yang kita pakai umumnya mengandung banyak senyawa kimia, seperti petroleum, synthetic chemical, dan chemicals harmful, yang dapat merusak lingkungan sekitar.Sabun mandi biasanya juga mengandung sodium lauryl sulfate (SLS), yang sering digunakan sebagai bahan pembuat detergen.

Berangkat dari fakta ini, Henie ZR kemudian mengembangkan sabun mandi yang ramah lingkungan dan aman untuk tubuh. Hanya bahan natrium hidroksida (NaOH) yang tetap dipakai untuk mengubah minyak tumbuhan menjadi sabun sehingga tidak membahayakan lingkungan. Perempuan yang sudah dua tahun menggeluti usaha pembuatan sabun mandi ramah lingkungan dengan nama Java Natural Soap ini membuat sabun pembersih badan ini dengan bahan-bahan alami. Contoh, minyak kelapa, minyak sawit, minyak zaitun, minyak castor atau jarak, dan dedak beras.

Manfaat dan fungsi dari bahan-bahan alami tersebuth, minyak kelapa untuk menghasilkan busa dan melembabkan kulit. Lalu, minyak sawit untuk mengeraskan dan mengawetkan sabun, sedang minyak zaitun buat menghaluskan dan melembabkan kulit.

Kemudian, minyak castor untuk menghasilkan busa sabun mandi yang lebih lembut sekaligus memberikan nutrisi untuk kulit. Sementara, dedak beras atau rice brand untuk pelembab dan penghalus kulit.

Setiap kali produksi, Henie yang tinggal di Jakarta bisa menghasilkan kurang lebih 80 batang sabun mandi ramah lingkungan. Tiap batang sabun berukuran 5x8 sentimeter (cm), dengan ketebalan 2,5 cm.

Henie membagi sabun buatannya menjadi dua jenis, yakni sabun natural biasa dan sabun natural untuk kulit sensitif atawa castile soap. "Untuk jenis sabun natural biasa, komposisi yang dibutuhkan untuk pembuatan sabun adalah, 40% minyak sawit, 20% minyak zaitun, 15% minyak kelapa, 5% minyak castor, dan 20% dedak beras," tuturnya.

Adapun, untuk pembuatan sabun natural untuk kulit sensitif, Henie menjelaskan, komposisi bahan bakunya yaitu, 80% minyak zaitun, 10% minyak kelapa, serta 10% minyak kelapa sawit. Dari sabun yang ia buat, Henie menambahkan beberapa bahan yang digunakan sebagai penambah aroma, semisal jeruk, vanila, dan jahe. Setidaknya, ada 10 varian sabun made ini Henie, antara lain ginger orange, vanilla oatmeal, dan fresh orange soap.


Harga cukup mahal

Untuk harga, Henie memasang harga Rp 15.000 untuk sabun natural biasa dengan ukuran 100 gram, dan Rp 15.000 untuk castile soap berukuran yang sama. Dalam sehari ia bisa menjual 10 sampai 20 batang sabun dengan omzet Rp 150.000, atau per bulan mencapai Rp 4,5 juta - Rp 5 juta.

Sejauh ini, Henie masih mengandalkan penjualan melalui dunia maya. Itu sebabnya, pasar sabun mandi ramah lingkungannya menyebar dari Jakarta ke Sumatra, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Tapi, ia mengklaim, umur sabun mandi produksinya bisa bertahan sampai dengan satu tahun.

Pemain lainnya, Hendricus Ledu Gere, pemilik Kesambi Bali di Renon, Denpasar, Bali. Awalnya, ia pernah bekerja di sebuah pabrik sabun. Setelah keluar, dia pun mencoba membuat sabun mandi tanpa bahan kimia, sehingga baik untuk tubuh karena tidak menyebabkan kulit kering.

Menurut Hendricus, dirinya tidak menggunakan bahan-bahan yang sukar terurai. "Dalam sabun biasa, terdapat surface active agent (surfactan) yang tidak mudah terurai," ungkapnya.
Adapun sabun mandi bikinannya memakai bahan baku biodegradable. Sama seperti Henie, ia menggunakan minyak tumbuhan, seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak jarak. "Terserah konsumen mau menggunakan minyak yang mana," ujar Hendricus.

Untuk pewarnaan sabun mandi, Hendricus menggunakan kunyit untuk warna kuning, serta vanili atau serbuk kayu manis dan cendana untuk warna kecokelatan. Untuk aroma, dia memanfaatkan essential oil atau fragrance oil.
Beda dengan Henie, Hendricus hanya melayani permintaan dalam jumlah besar. Ia melego sabun mandi ramah lingkungan buatannya seharga Rp 5.000 untuk ukuran 50 gram, dengan minimal pemesanan 100 batang untuk satu aroma. Lalu, sabun ukuran 100 gram, harga jualnya sebesar Rp 10.000 dengan pesanan minimal sebanyak 50 batang untuk satu aroma.

Hendricus mengaku, dirinya hanya memproduksi sabun kalau ada pesanan yang datang, jadi ia tidak menjual secara bebas. Dia punya alasan: usahanya belum berbadan usaha. Kebanyakan konsumennya adalah penjual sabun, sehingga Hendricus memberi label sabun buatannya dengan merek mereka.
Tiap bulan, dari bisnis ini, Hendricus dapat memperoleh pendapatan sekitar Rp 1 juta. Masalah utama yang ia hadapi adalah, dia mengerjakan segala sesuatunya, mulai dari pencetakan hingga finishing, seorang diri.

Selain itu, proses pembuatannya tergolong lama. Untuk proses pencetakan dan pemotongan sabun memang hanya butuh tempo satu hari hari saja. Namun, untuk proses pengeringan sabun agar natrium hidroksida sempurna bercampur dengan minyak tumbuh-tumbuhan dapat memakan waktu dua sampai tiga minggu.

Menuju Green Generation

PDF Print
Negeri kita saat ini agaknya mulai dipandang kurang nyaman. Dari tahun ke tahun, negeri kita hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami, atau kekeringan seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan yang kerap terjadi.

Sementara itu, perburuan satwa liar dan illegal loging nyaris tak pernah luput dari agenda para perusak lingkungan.Ironis,kita seolaholah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang- wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat. Meminjam istilah Garret Hardin (1968), inilah yang disebut the tragedy of commons, akibat kegagalan manusia dalam memelihara milik bersama.

Kegagalan mengapresiasi sumber daya serentak juga akan melahirkan eksternalitas negatif. Ekses-ekses buruk dapat disebabkan oleh perilaku pihak luar dan tanpa disadari berpengaruh terhadap kehidupan komunitas lain. Ketidakmampuan Indonesia mencegah pembalakan hutan misalnya, akan berimbas negatif kepada rakyat negara ini dan juga generasi yang akan datang.

Dari Sekolah

Dominasi tatanan ekonomipolitik yang telah melahirkan krisis perlu dilawan dengan kerja-kerja alternatif lokal. Nah, salah satunya dengan membangun sekolah hijau (green school).Saat ini,kesadaran untuk mewujudkan sekolah hijau sudah mulai merekah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya telah berancang- ancang mewajibkan seluruh gedung sekolah pada tahun 2011 untuk menerapkan green school building yang akan dipusatkan dengan konsep penghematan energi listrik, penggunaan air yang bisa didaur ulang dan pemanfaatan limbah sesuai dengan kaidahkaidah lingkungan.

Sekolah sebagai lembaga untuk mendidik dan menanamkan budaya positif memiliki fungsi strategis dalam mengubah paradigma berpikir yang salah dari generasi ke generasi terhadap lingkungan hidup. Selama ini, paradigma berpikir masyarakat kita melihat lingkungan hidup semisal hutan sebagai aset ekonomi yang harus dieksploitasi sebanyak- banyaknya tanpa memedulikan dampak dan akibat jangka panjangnya. Dari sekolahlah semua proses perbaikan ini dimulai.

Lingkungan sekolah yang kondusif akan ikut mendorong terwujudnya pola hidup bermutu yang pada saat ini yang sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing bangsa di mata dunia sekaligus melestarikan kekayaan sumber daya alam hayati Indonesia. Sekolah hijau punya makna yang lebih luas, yakni bukan hanya tampilan fisik sekolah yang hijau, tetapi wujud sekolah yang memiliki program dan aktivitas pendidikan mengarah kepada kesadaran dan kearifan terhadap lingkungan hidup.

Artinya, sekolah hijau merupakan sekolah yang memiliki komitmen dan secara sistematis mengembangkan program-program untuk menginternalisasikan nilai-nilai lingkungan ke dalam seluruh aktifitas sekolah. Dalam hal ini, perlu penguatan program-program sekolah hijau misalnya seputar pengembangan kurikulum berwawasan lingkungan, pengembangan pendidikan berbasis komunitas, peningkatan kualitas kawasan sekolah dan lingkungan sekitarnya, pengembangan sistem pendukung yang ramah lingkungan, dan juga pengembangan manajemen sekolah berwawasan lingkungan.

Melahirkan Generasi Tercerahkan

Nilai-nilai pendidikan yang bersifat menyeluruh yang mengasah aspek motorik, kognitif dan afektif,serta mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual akan berujung pada pem-bentukan sebuah generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi baru yang menghadapi tantangan dan lingkungan yang berbeda dan bahkan lebih keras. Nah, pada situasi di mana kondisi lingkungan tidak ramah lagi, tumbuhnya generasi hijau (green generation) menjadi penting.

Generasi hijau secara internasional telah dikampanyekan sejak tahun 2009. Sebuah gerakan yang bernama Green Edelweiss Foundation dengan moto Green Earth,misalnya terus berikhtiar menghasilkan generasi hijau khususnya dari kalangan remaja agar loyal,tanggap,cerdas,dan peduli terhadap masalah lingkungan. Kita yakin, keluarga dan sekolah akan mampu menjadi media transfer of knowledgeyang efektif dalam menanamkan dalam-dalam nilai-nilai luhur cinta lingkungan.

Orang tua dan guru merupakan dua figur yang sangat potensial untuk membangun karakter generasi hijau sebagai pewaris masa depan. Inisiatif generasi hijau ini didasari pada kesadaran pentingnya masyarakat dalam melestarikan bumi. Pemerintah saja tak cukup.Rangkaian efek darikerusakanlingkunganyang telah kita rasakan hendaknya membangkitkan kesadaran sosial untuk berbuat. Kitalah pemilik bumi ini. Konsekuensinya, kita pulalah yang harus bertanggung jawab melestarikannya.

Lahirnya generasi hijau sejatinya hendak mengajak semua masyarakat untuk terlibat secara individual dan kolektif guna meningkatkan kualitas lingkungan sekitar mereka. Masyarakat pun diharapkan berkontribusi pada ide-ide solusi permasalahan lingkungan yang lebih makro. Apapun kita, pelajar, petani, aktivis, ilmuwan, pemuka agama, profesional, guru,atau lainnya,kita dapat memberikan kontribusi pada penciptaan bumi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Generasi hijau akan terwujud bila ada kristalisasi perilaku individu dalam lingkup yang lebih luas, yaitu komunitas, baik formal (institusi pendidikan) maupun nonformal (institusi masyarakat). Dari catatan sejarah, terbukti bahwa perubahan dan munculnya sebuah generasi diawali dari dunia pendidikan. Kita tak hanya berpangku dan manggut-manggut pada “fatwa”para pakar lingkungan yang genial dan cerdas tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Cukupkah itu? Ternyata, ada yang lebih penting, yaitu tindakan nyata dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

Kita perlu sosoksosok istimewa yang memiliki semangat, konsistensi, dan integritas untuk berbuat demi pelestarian lingkungan. Generasi tercerahkan inilah yang akan mampu menginspirasi lahirnya generasi hijau (green generation). Mereka ini berbuat dengan prinsip “think globally, act locally”.Sehebat apa pun pemikiran atau semodern apa pun pergaulannya tidak ada artinya tanpa berbuat dan berkarya terhadap pelestarian lingkungan. Akhirnya, kita menjadi tersadarkan bahwa selama ini kita telah terbiasa melakukan pembiaran dan tak peduli pada kepentingan umum.

Padahal, kesadaran akan penyelamatan lingkungan tak hanya berlandaskan pada semangat altruistis semata. Lebih jauh, semua ini adalah demi kepentingan kelanjutan kehidupan manusia itu sendiri.Kita dihadapkan pada kemungkinan ecological suicide akibat ketidakpedulian terhadap lingkungan.Tak ayal, hanya pembangunan kesadaran masif akan kepentingan kehidupan bersama pada masa depan yang akan menjamin keberlanjutan kehidupan kita yang nyaman di bumi. ●

MARWAN JA’FAR
Ketua Fraksi PKB DPR RI 
(Sumber: Seputar Indonesia, 1 Maret 2011)

Senin, 04 April 2011

Bertani di Sawah yang Berubah

Di gubuk tanpa dinding, di pinggir jalan berlubang, puluhan petani duduk di atas terpal. Siang itu para petani di Cantigi Kulon, Indramayu, Jawa Barat, mendiskusikan siasat terbaik untuk bertani di sawah mereka yang berair asin. Diskusi yang menentukan masa depan sawah dan hidup mereka.

Bergantian, tiap kelompok kecil menjelaskan amatan mereka. "Bisa disimpulkan, jenis padi yang paling cocok rangbo hasil silangan Haji Darmin. Anakannya terbanyak dan pertumbuhannya paling bagus," kata Takir. Petani berusia paruh baya itu berusaha meyakinkan keunggulan benih padi silang antara ciherang dan kebo itu.
"Rangbo sepertinya paling cocok, goyang dombret yang kami tanam anakannya sedikit," kata Kani, petani lain.
"Goyang dombret, goyangannya kurang hot sih," seorang petani berkelakar menimpali.
Demikian suasana sekolah lapangan iklim pertanian yang digagas Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Selama enam bulan terakhir, seminggu sekali petani diajak berdiskusi tentang perkembangan tanaman mereka, dari jumlah malai, anakan, penyakit, hingga tinggi tanaman.
Mereka diajak mencari bibit padi terbaik yang paling cocok dengan sawah berair asin. Sebanyak 15 bibit padi hasil persilangan lokal dan dari daerah lain dicoba, antara lain goyang dombret dan rangbo.
"Prinsipnya, kami mencari benih yang paling mampu bertahan di sawah yang airnya asin,: kata Zaenudin, Ketua Kelompok Tani Sumber Mulya Cantigi Kulon. "Benih bantuan pemerintah selalu gagal dipanen. Kami harus memuliakan benih lokal agar sesuai lingkungan sini," lanjutnya.
Jauh sebelum pendampingan dari IPPHTI, petani Cantigi Kulon ini bergulat sendiri untuk bertahan. Selain jenis benih, mereka juga mencari metode tanam yang paling baik, kapan waktu tanamnya, juga metode pemberantasan hama.
Desa Cantigi Kulon mnjadi area subur bagi hama keong mas karena posisi sawah mereka di muara. "Keong mas dari Indramayu kumpul semua di sini,'" ujar Zaenudin.
Solusi keong mas terpecahkan dengan cara sederhana: memelihara bebek! "Awalnya kami dipusingkan keong. Lalu, muncul ide keong sebagai pakan bebek," tuturnya. Keong mas menjadi pemasukan tambahan. Sekarang petani di Cantigi Kulon berebut mencari keong di sawah. Yang tak punya bebek tetap bisa mencari keong. Satu ember dihargai Rp 10.000.
Untuk memudahkan menangkap keong, dibuatlah saluran kecil di sela padi. lalu daun pisang atau kelapa ditaruh di saluran agar menjadi tempat favorit keong berkumpul sehingga bisa lebih mudah diambil.
Hama tikus juga pernah mewabah. Petani kemudian berinisiatif membeli sepasang garangan, sejenis musang yang menjadi predator alami tikus, di Pasar Pramuka, Jakarta. "Kami ternakkan garangan, kemudian dilepas. Kami buat larangan berburu garangan," ujar Zaenudin.
(Sumber: Kompas, 4 April 2011)

Minggu, 27 Maret 2011

Warga Miskin Bayar Air Jauh Lebih Mahal

Jakarta, Kompas - Warga miskin perkotaan lebih sulit mengakses air bersih dan membayar jauh lebih mahal dibandingkan warga lebih kaya. Hal ini mengemuka pada peringatan Hari Air Sedunia 2011 yang bertema ”Air Perkotaan dan Tantangannya”.Hal itu disampaikan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Selasa (22/3). Hal serupa diserukan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon pada peringatan Hari Air Sedunia oleh UNESCO di Jakarta. Badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan itu menggelar lokakarya internasional ”Ecohydrology for Managing Sustainable Water Futures” bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hadir dalam kegiatan itu antara lain Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kepala LIPI Lukman Hakim, Direktur UNESCO untuk Indonesia Hubert Gijzen, dan El-Mostafa Benlamih selaku United Nations Resident Coordinator in Indonesia.
Jumlah penduduk kota di dunia yang tidak memiliki akses pipa penyaluran air bersih saat ini meningkat 20 persen dari dekade sebelumnya menjadi 114 juta jiwa. Penduduk kota dunia yang tidak memiliki akses sanitasi dasar meningkat menjadi 134 juta jiwa.
”Penduduk termiskin dan paling rentan tak memiliki pilihan kecuali membeli air dari pedagang tidak resmi dengan harga 20-100 persen lebih tinggi daripada tetangga yang kaya, yang menerima pasokan air di rumah,” tulis Ban Ki-moon.
Sebagai gambaran, menurut koordinator nasional KRuHA, Hamong Santono, warga miskin di Jakarta membeli air bersih Rp 1.000-Rp 1.500 per jeriken isi 20 liter. Itu berarti Rp 50.000-Rp 75.000 per meter kubik. Padahal, harga air PDAM hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per meter kubik.
Djoko Kirmanto mengakui, saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia mengakses air bersih.
Tangkapan air kritis
Direktur Operasi Jawa-Bali PT PLN (Persero) Ngurah Adnyana mengemukakan, kelestarian lingkungan, terutama di area tangkapan air hujan, makin kritis. Hal ini memengaruhi produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dimiliki PLN.
”Pembangkit listrik di Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur, Jawa Barat, pada periode tahun 2010-2011 kehilangan produksi sebesar 1.000 megawatt dari total 1.600 megawatt karena airnya jauh berkurang,” katanya.
Sementara itu, kondisi hulu Sungai Brantas di Malang Raya, Jawa Timur, mengkhawatirkan. Sedimentasi dan erosi mengancam keberlangsungan mata air di sana dan berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor. Demikian dikatakan Eko Wahyudi, Ketua Umum Fakultas Teknik Pengairan Universitas Brawijaya.
Di Kota Malang, keberadaan air bawah tanah mulai menipis. ”Dari tiga sumur bor milik PDAM di wilayah Tidar, satu sudah mengering,” kata Direktur PDAM Kota Malang Jemianto.
Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU Susmono di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyatakan, baru 12 persen rumah tangga di pedesaan mampu mengakses air bersih PDAM. (NAW/DIA/EKI)
(Sumber: Kompas, 23 maret 2011)

Setelah Bencana Nuklir di Jepang

Rinaldy DalimiJepang memasuki darurat nuklir dengan tingkat bencana nuklir 5 mulai Jumat (18/3) setelah reaktor nomor 1 meledak pada Sabtu (12/3), kemudian reaktor nomor 3 pada Senin (14/3), nomor 2 pada Selasa (15/3), dan nomor 4 pada Rabu (16/3).
Tingkat bencana 5 berarti berpotensi membawa kecelakaan berdampak luas: paparan radiasi bisa berakibat kematian. Jika usaha menghilangkan radiasi di sekitar reaktor nuklir gagal, akan dilakukan penimbunan reaktor itu dengan pasir dan beton seperti di reaktor Chernobyl.
Tragedi nuklir di Fukushima merupakan pelajaran sangat berharga bagi dunia dalam memberi gambaran tentang kecelakaan nuklir dan bahaya yang mungkin ditimbulkan radiasi nuklir.
Secara teknologi sudah terbukti bahwa PLTN aman apabila beroperasi dalam kondisi normal. Kecelakaan terjadi justru di luar ketangguhan teknologi nuklir itu sendiri, antara lain akibat kesalahan manusia yang mengoperasikan reaktor nuklir seperti di Chernobyl; akibat kesalahan merancang seperti di Kashiwazaki, Jepang; dan karena tsunami yang baru terjadi di Fukushima.
Pengalaman di Fukushima ini melahirkan banyak reaksi atas kelanjutan energi nuklir di beberapa negara. Kanselir Jerman Angela Merkel yang semula ingin memperpanjang masa pakai beberapa PLTN di Jerman mengatakan bahwa Jerman akan segera meninggalkan era nuklir dan beralih ke sumber energi terbarukan. Beberapa negara di Eropa ingin bertahap menutup PLTN dan menggantinya dengan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak berisiko.
Penelitian dan pembangunan industri energi terbarukan akan cepat berkembang. Jepang sedang mempersiapkan program yang akan menangkap energi matahari 24 jam per hari. Penggunaan teknologi energi bersih akan digalakkan menghadapi pemanasan global.
Negara yang punya sumber daya energi akan membangun cadangan energi strategis untuk keamanan pasokan energi jangka panjang. Artinya, ekspor energi negara yang punya sumber daya energi akan berkurang bertahap dan itu akan bikin harga energi di pasar internasional kian mahal.
Kebijakan selanjutnya
Reaksi di Indonesia? Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional mengatakan, Indonesia tetap akan butuh energi nuklir guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Menristek mengatakan, Indonesia akan ketinggalan dari negara tetangga jika tidak membangun PLTN.
Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan, setelah bencana nuklir di Jepang, seharusnya tidak ada lagi diskusi tentang perlu-tidaknya pembangunan PLTN sebab akan berisiko tinggi bagi kehidupan rakyat Indonesia. Sikap Pemerintah Indonesia terlihat dari pernyataan Menko Perekonomian Hatta Rajasa: ”Jika tak ada energi primer lainnya, baru nuklir jadi pilihan.”
Indonesia termasuk negara yang berpeluang cukup besar mengatur dan mempersiapkan kebutuhan energi nasional dengan jaminan pasokan yang tinggi berdasarkan kemampuan sendiri sebab punya sumber daya energi yang cukup besar memenuhi kebutuhan jangka panjang
Indonesia punya potensi tenaga air 75 GW, panas bumi 28 GW, dan energi laut 240 GW. Bandingkanlah itu dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik yang ada di seluruh Indonesia saat ini: 32 GW. Indonesia punya potensi batu bara 104 miliar ton. Bandingkan dengan produksi batu bara Indonesia saat ini 300 juta ton per tahun. Itu pun 75 persen dari produksi tersebut diekspor. Hampir 50 persen dari produksi gas bumi saat ini juga diekspor. Yang lebih membuat kita optimistis, Indonesia punya semua bahan baku untuk bahan bakar nabati sehingga Indonesia dijuluki ”Arab Saudi” bahan bakar nabati pada masa datang.
Dalam menyelesaikan masalah energi di Indonesia, perlu ada kesamaan cara pandang secara nasional dalam merumuskan dan menyepakati pokok soal. Bila berbeda, cara dan sasaran penyelesaian masalah akan berbeda pula. Maka, rumusan pokok soal yang tepat adalah ”kekurangan energi yang dialami Indonesia saat ini bukan karena Indonesia tidak punya sumber daya energi, melainkan karena Indonesia belum menemukan konsep tata kelola yang tepat untuk Indonesia”.
Sebenarnya sudah banyak usaha pemerintah mengatasi masalah energi dengan kemandirian. Namun, sering terjadi hambatan dalam pelaksanaan akibat ketidaksinkronan langkah pemangku kepentingan dan kekuranglengkapan perangkat peraturan di tatanan lebih rendah.
Sempurnakan
Marilah menyempurnakan konsep yang sudah pernah ada. Laksanakan Program Nasional Bahan Bakar Nabati dengan target awal mengurangi secara bertahap impor BBM. Bangun PLT panas bumi dan PLTA dengan sasaran menghilangkan kebutuhan pembangunan PLTN. Perbaiki tata laksana Desa Mandiri Energi menjadi program Listrik Pedesaan Nasional untuk mengurangi secara bertahap kebutuhan BBM bagi masyarakat pedesaan. Terapkan konsep feed in tariff yang sukses di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk pembelian listrik dari energi terbarukan agar industri energi terbarukan dalam negeri berkembang cepat.
Perlu ada usaha menyelesaikan hambatan pembangunan sektor energi yang sudah terdeteksi. Carilah konsep yang tepat tentang subsidi energi (BBM dan listrik). Bentuklah Badan Penyangga Energi (seperti Bulog pada pangan) untuk menjamin pembelian bahan baku bahan bakar nabati dan listrik dari energi terbarukan demi menjamin stabilitas harga. Tugaskan BPPT mempercepat hasil teknologi energi tepat guna untuk listrik pedesaan. Tugaskan Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan fokus mengembangkan energi terbarukan.
Bila kita sepakat dengan rumusan pokok soal di atas, tak akan ada usaha lagi membeli teknologi energi dari luar yang bahan bakarnya harus diimpor seperti halnya PLTN. Amanat Pasal 3 UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran adalah mempersiapkan bahan baku dan bahan bakar nuklir untuk PLTN, bukan membangun PLTN dengan mengimpor bahan bakar uranium.
Jadi, pembangunan PLTN sudah tak layak di Indonesia sebab akan menambah ketergantungan Indonesia terhadap negara lain karena teknologi dan bahan bakarnya akan diimpor. Selain itu, juga akan menambah subsidi listrik karena harga listrik PLTN itu mahal. Lagi pula, Indonesia punya sumber daya energi yang cukup, lebih murah, dan tak berisiko tinggi. Kemudian lokasi PLTN merupakan titik terlemah dari serangan musuh dan teroris. Yang terakhir: Indonesia berada di daerah gempa yang dapat menimbulkan bencana nuklir seperti di Fukushima.
Indonesia harus dapat mengantisipasi perubahan politik energi dunia setelah tragedi nuklir di Jepang. Negara industri yang telah mengembangkan energi terbarukan mengatakan bahwa harga energi terbarukan akan sama dengan harga energi fosil mulai tahun 2020. Indonesia masih punya sumber daya energi yang lebih dari cukup sampai energi terbarukan mencapai nilai keekonomiannya. Setelah itu Indonesia berpotensi menjadi negara penghasil bahan bakar nabati terbesar di dunia.
Maka, tak satu pun alasan rasional membangun PLTN di Indonesia, selain untuk kepentingan bisnis asing.
Rinaldy Dalimi Guru Besar Fakultas Teknik UI dan Anggota Dewan Energi Nasional 
(Sumber: Kompas, 23 Maret 2011)

Ancaman Radiasi pada Makanan

Oleh : Posman Sibuea
Ledakan reaktor nuklir Fukushima tidak hanya membuat rakyat Jepang ketakutan. Berbagai bangsa pun cemas berlipat-lipat.
Pasalnya, efek radiasi yang ditimbulkan berdampak buruk pada kesehatan, apalagi radiasi diduga telah menyebar pula ke bahan makanan.
Dari sejumlah pemberitaan diketahui bahwa level radiasi di sekitar lokasi ledakan PLTN Fukushima telah berada di atas normal. Konsekuensi yang mungkin muncul adalah dampak negatif terhadap tubuh manusia.
Pertanyaannya, apakah radiasi nuklir tersebut serta-merta mengontaminasi makanan, terutama yang dikemas dan beredar ke berbagai negara? Apakah produk makanan kemasan yang terkena radiasi aman dikonsumsi?
Jaminan keamanan
Sejumlah produk makanan segar, seperti susu, bayam, dan air keran yang bisa langsung dikonsumsi yang diproduksi tidak jauh dari reaktor nuklir, memang dilaporkan tercemar radiasi di atas ambang batas. Meski demikian, Pemerintah Jepang telah memberikan jaminan keamanan. Level dosis di atas normal tidak berarti produk makanan yang terkontaminasi itu langsung memicu kematian jika dikonsumsi kecuali jika dikonsumsi secara berlebihan dan secara terus-menerus dalam waktu lama.
Pemerintah patut belajar dari cara Jepang menenangkan warganya dengan bertindak cepat untuk menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan. Kantor berita AFP pada hari Jumat (18/3/2011) melaporkan, Pemerintah Jepang langsung menguji produk susu dan bayam serta mengkaji bagaimana produk makanan tersebut didistribusikan.
Meski demikian, jaminan keamanan tidak serta-merta meredam kepanikan warga dunia. Meski secara resmi Pemerintah Jepang telah melarang penjualan produk makanan yang dihasilkan dari wilayah di sekitar reaktor Fukushima, temuan radiasi pada produk makanan malah semakin menambah kekhawatiran terhadap dampak darurat nuklir.
Masyarakat Indonesia pun ikut panik, apalagi banyak informasi bohong beredar di internet. Namun, pemerintah menjamin, jika fasilitas produksi bahan pangan itu berada dalam radius bahaya radiasi, produk impor itu tidak akan diterima Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sebenarnya, kepanikan ini mengingkari sifat alamiah manusia yang bisa hidup bersama radiasi, yang artinya adalah proses hantaran energi yang luas. Radiasi bisa berasal dari sinar matahari yang mendukung kehidupan dan hidup manusia. Setiap saat permukaan Bumi terpapar radiasi sinar kosmis yang terdiri dari gelombang elektromagnetik serta ratusan jenis partikel dan mineral radioaktif yang terlarut dalam air dan udara.
Jadi, tanpa kehadiran reaktor nuklir pun kita tidak bebas dari paparan radiasi radioaktif. Ketika teknologi kian canggih, ada radiasi buatan yang muncul dari berbagai peralatan modern, seperti sinar X pada peralatan medis, televisi, monitor komputer.
Tidak seperti sinar matahari yang dapat kita rasakan, paparan radiasi tidak terasa. Efek radiasi bersifat tidak langsung, bisa berminggu kemudian baru muncul gejalanya, bergantung material radioaktif yang dilepas dan durasi paparan. Level paparan yang tinggi menyebabkan sindrom radiasi akut, bahkan kematian. Gejalanya, mual, muntah, kelelahan, rambut rontok, dan diare.
Efeknya pada makanan
Meskipun produksi susu dari peternakan di Fukushima, sekitar 30 km dari lokasi PLTN, dilaporkan tercemar radiasi, hingga kini belum ada laporan makanan kemasan tercemar radiasi.
Kecemasan berlebihan terhadap cemaran radiasi pada makanan kemasan ini bisa berdampak buruk terhadap teknologi pengawetan makanan dengan iradiasi (food irradiation).
Josephson (1983) dalam tulisannya ”An Historical Review of Food Irradiation” di Journal of Food Safety menyebutkan penggunaan radiasi gamma untuk mengawetkan makanan dengan dosis di atas 10 kGy (kilogrey) sudah berlangsung pada produk pangan kemasan.
Meski Codex Alimentarius Commission tahun 2003 sudah menyatakan iradiasi pada bahan pangan di atas dosis 10 kGy dibolehkan, Pemerintah Indonesia tetap mensyaratkan uji keamanan pangan apabila produk itu akan dikomersialkan dan dikonsumsi masyarakat.
Di sejumlah negara maju, pasien yang baru selesai menjalani operasi—karena daya imun tubuh masih rendah dan diisolasi dari kondisi normal—direkomendasikan mengonsumsi makanan bergizi tinggi yang disterilkan dengan berbagai teknik, termasuk radiasi.
Makanan siap saji bergizi tinggi dalam kemasan laminasi yang disterilkan dengan teknik radiasi dosis tinggi 45 kGy dan dikombinasikan dengan suhu rendah dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan asupan gizi tersebut.
Sejauh ini, penelitian di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mengembangkan teknik iradiasi pada biji-bijian dan produk olahannya, buah-buahan, daging, pepes ikan mas, dan lain-lain. Hasil riset tersebut dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kualitas higiene dan daya awet bahan pangan.
Posman Sibuea Guru Besar di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas Medan; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(Sumber : Kompas, 23 Maret 2011)

Radiasi tak selalu bahaya

Oleh Bob Sadino (Pengusaha Agribisnis)
Meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang mengakibatkan radiasi nuklir di Jepang memunculkan kekhawatiran  adanya pencemaran pada produk makanan dan minuman baik di Jepang maupun di negara lain. Bagi saya sebagai pengimpor dan pengekspor produk dari dan ke Jepang, hingga saat ini belum mengalami masalah.
Pada dasarnya beberapa produk justru bagus bila mendapat radiasi nuklir dalam kadar tertentu agar steril dan bebas kuman. Produk tetes mata misalnya,banyak negara minta diraduiasi nuklir lebih dulu sebelum diekspor agar steril.
Begitu pula dengan bibit sayuran-sayuran dan buah-buahan. Bibit sayuran-sayuran harus disterilkan melalui radiasi nuklir agar terhindar dari kuman penyakit. Sedangkan buah-buahan rentan dihinggapi lalat buah yang tidak terlihat secara kasat mata. Maka untuk membasminya, perlu radiasi nuklir. Jadi anggapan bahwa radiasi nuklir mengancam bisnis, tidak sepenuhnya benar.
Yang harus diperhatikan adalah seberapa besar kadar radiasi dalam suatu produk. Inilah yang menjadi tugas pemerintah untuk mengontrol. Pemerintah harus menyaring produk yang berasal dari Jepang sebelum didistribusikan. Soalnya, pemerintah harus melindungi masyarakat bagi produk yang mengandung bahan berbahaya.
Saya memandang bila ada pengusaha yang memanfaatkan peluang ini untuk mengekspor produk indonesia ke sana, juga sah-sah saja. PAda prinsipnya, pebisnis harus jeli melihat peluang.
(Sumber: Kontan 21 Maret 2011)

Sabtu, 19 Maret 2011

Siklus Hama Berubah

Jakarta, Kompas - Anomali iklim saat ini menyebabkan siklus hama dan penyakit tanaman berubah. Jika sebelumnya pergantian musim memutuskan siklus hama, kini dengan anomali cuaca siklus hama tidak terputus atau berlanjut sepanjang tahun.

Ancaman krisis pangan pada tahun berikutnya patut diwaspadai oleh fenomena ini yang bisa mengakibatkan pandemi hama yang menyebar ke mana-mana.

”Bisa dilihat sekarang ada pohon mangga yang sedang berbuah, tetapi akhir-akhir ini kembali berbunga. Masyarakat awam melihat hal ini menguntungkan, tetapi sesungguhnya membahayakan,” kata Teguh Triono, ahli taksonomi pada Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat (14/1) di Jakarta.

Sebetulnya, hal tersebut bisa berlangsung tidak hanya pada tanaman mangga saja. Hal yang membahayakan, menurut Teguh, adalah siklus hama dan penyakit menjadi tidak terputus.

Dengan kondisi siklus hama dan penyakit yang tidak terputus, dikhawatirkan pada tahun berikutnya di antara berbagai jenis hama dan penyakit tanaman itu akan mewabah di mana-mana.

Kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) Sobir mengatakan, saat ini terjadi anomali iklim. Dengan kondisi tropika tanpa anomali seperti sekarang pun, siklus hama dan penyakit tertentu bisa terus berlanjut sepanjang tahun, dipengaruhi kelembaban yang tinggi.

”Dalam keadaan sesuai pola normal, proses keberlanjutan siklus hama dan penyakit tanaman bisa terus berlangsung dengan cara berpindah inang,” kata Sobir.

Masalah lain dari fenomena satu kali periode berbuah terdapat dua kali masa berbunga, menurut Sobir, juga menurunkan kualitas buah. Ini karena pohonnya membagi kemampuan antara menumbuhkan bunga dan buah dalam waktu bersamaan.

”Kondisi ini jelas sebagai dampak perubahan iklim yang terbukti mengganggu produktivitas tanaman,” kata Sobir.

Indikator perubahan iklim

Teguh mengatakan, saat ini sedang mengembangkan riset pemantauan flora dan fauna sebagai indikator perubahan iklim. Seperti berbagai jenis serangga, ternyata juga terpengaruh oleh perubahan iklim yang meningkatkan suhu.

”Ketika suhu berubah satu derajat celsius saja, ternyata berdampak pada perubahan ukuran tubuh beberapa serangga,” kata Teguh.

Iklim yang memungkinkan hujan terjadi sepanjang tahun, diakui Teguh, memang sangat berdampak pada produktivitas tanaman. Seperti di Kalimantan, setiap awal tahun akan mudah dijumpai buah durian, tetapi awal tahun ini hampir tidak ada.

”Dampak perubahan iklim yang merugikan harus diantisipasi sehingga pada tahun-tahun berikutnya bisa dicegah kejadian yang tidak diinginkan,” kata Teguh.

Sobir mengatakan, terdapat peluang dari pohon-pohon buah yang sekarang tidak produktif akan menyimpan energinya. Jika tidak terjadi lagi anomali iklim dan tidak diserang hama dan penyakit, pada musim berikutnya bisa sangat produktif. (NAW)

(Sumber: Kompas, 15 Januari 2011)

Kamis, 17 Maret 2011

Perlindungan Masyarakat Adat Kabur

Jakarta, Kompas - Perundingan negara anggota Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) belum memastikan bentuk perlindungan bagi masyarakat adat terkait pemanfaatan sumber daya genetika yang dikelola masyarakat adat. Pemberlakuan hak atas kekayaan intelektual dalam penggunaan sumber daya genetika berisiko mengurangi akses masyarakat adat.

Asisten Deputi Urusan Perjanjian Internasional Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan, perundingan para pihak WIPO, Desember 2010, belum menyepakati jenis hukum hak atas kekayaan intelektual (HAKI) untuk penggunaan sumber daya genetika oleh masyarakat adat.

Masyarakat adat secara tradisional menggunakan banyak sumber daya genetika untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, penggunaan berbagai tanaman untuk obat tradisional mereka, seperti temulawak atau kunyit.

Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati mendefinisikan itu sebagai keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman; mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem.

”Bagaimana menjamin hak masyarakat adat dengan hukum paten yang memberi pengakuan HAKI individual, sementara masyarakat adat cenderung komunal. HAKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemegang hak, tetapi bagaimana agar HAKI juga bermanfaat bagi masyarakat adat yang mengonservasi berbagai sumber daya genetika yang potensial diteliti dan dikembangkan,” kata Vivien di Jakarta, Senin (10/1).

Pada Oktober 2010, para pihak Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang bertemu di Nagoya, Jepang, menyepakati penerapan asas access and benefit sharing, yaitu memberikan akses dan keuntungan negara asal sebuah keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan negara lain. Perundingan WIPO terkait pengaturan HAKI itu akan dilanjutkan pada 28 Februari-4 Maret 2011 di Geneva, Swiss.

Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, menyatakan, pemberlakuan HAKI dalam pemanfaatan sumber daya genetika akan mengurangi bahkan berisiko menutup akses masyarakat adat terhadap sumber daya genetika bersangkutan. (ROW)

(Sumber: Kompas, 11 Maret 2011)