Selasa, 15 Mei 2012

Pembangunan Berkelanjutan: Yang Kecil, yang Memelopori

he Sinking Tuvalu
Isu pembangunan berkelanjutan terus bergulir dan terus membesar bak bola salju. Berbagai konferensi tingkat global soal pembangunan terus mewacanakan pembangunan berkelanjutan.

Wacana pembangunan berkelanjutan bersentuhan langsung dengan isu ekonomi ramah lingkungan (green economy) dan isu pembangunan rendah emisi karbon dioksida - penyebab pemanasan global.

Perdebatan panjang antara kubu negara berkembang dan negara maju terus berlangsung. Siapa yang harus membayar biaya dari dampak pemanasan global -yang memicu perubahan iklim- yang bermuara pada berbagai bencana tersebut? Semula muncul wacana, negara maju yang harus membayar karena telah menikmati hasil pembangunan yang menyebabkan pemanasan global.

Namun, berawal dari Konferensi Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan, tahun lalu, para pihak pda Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC) kini harus bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global. Berapapun besarnya.

Semua negara harus "menyingsingkan lengan baju". Pernyataan serupa semakin sering muncul. Pada pertemuan Global Summit Green Growth di Seoul, Korea Selatan, pekan lalu, Bank Dunia menegaskan hal itu.

Tak hanya mengukur dari apa yang diproduksi, tetapi juga mesti menghitung apa yang telah digunakan dan polusi yang muncul pada proses produksi.

"Negara berkembang jangan mengulangi pola pertumbuhan abad lalu. Harus tumbuh lebih cerdas, lebih ramah lingkungan, dan lebih cepat," kata Direktur Jenderal Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIDO) Kandeh Yumkella.

"Yang mengatakan bahwa negara miskin tidak dapat tumbuh tanpa merusak lingkungan dan membakar sumber energi yang murah dan kotor adalah konsep yang keliru," tambahnya.

Menurut dia, "membangun dengan cara yang ramah lingkungan itu adalah sesuatu yang mahal" adalah mitos belaka.

Masayoshi Sen, pendiri dan CEO perusahaan telepon seluler Jepang, Softbank Corp, mendesak diakhirinya pembangunan tenaga nuklir yang tak bisa dikontrol- menyusul tragedi nuklir Fukushima tahun lalu. Ia mendukung tenaga matahari dan angin untuk negara-negara Timur Tengah.

Negara kecil menjawab
Apa yang diutarakan Yumkella langsung dijawab negara-negara kecil di Pasifik. Hal itu disampaikan sejumlah pemimpin negara-negara kepulauan kecil pada pertemuan terpisah yang diprakarsai Program Pembangunan PBB (UNDP) dan pemerintah Barbados, pekan lalu.

Kepulauan Cook dan Tuwalu di Pasifik bermaksud membangun pemangkit dari energi terbarukan. Negara-negara itu akan menggunakan bahan bakar dari kelapa dan panel matahari. Tokelau, yang terdiri atas pulau kecil, berjanji mandiri energi tahun ini. St Vincent dan Grenada di Kepulauan Caribia berkomitmen 60 persen pembangkitnya tahun 2020 adalah energi terbarukan.

Saat Tuvalu dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 0,2 persen berkomitmen, Indonesia yang pertumbuhannya 6,1 persen sibuk "menghemat BBM". Katanya, Indonesia kaya sumber energi terbarukan. (AFP/ISW)

Sumber: Kompas, 15 Mei 2012, hal 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar