Sabtu, 19 Mei 2012

Mobil Ramah Lingkungan: Mau Sukses, Jadikanlah Simbol Status

   Tak cukup sekedar bisa membuat mobil listrik atau mobil ramah lingkungan. Diterima publik adalah persoalan lain lagi. Tak mudah.
   Mobil, seberapapun harganya, jika bisa mendongkrak pamor, selalu ada pembelinya di negeri yang katanya harus mencabut subsidi BBM untuk menutup APBN-nya ini. Di kota-kota besar seperti Jakarta, mobil adalah simbol status. Sekalipun rumah masih mengontrak, tak sedikit yang memilikinya.
   Betapa tak mudah mengiming-imingi publik dengan mobil baru, yang fungsi dan gengsinya masih diragukan. Apalgi kalau jelas nilai jualnya kemudian. Tentu masih banyak lagi faktor penentu lain yang mendorong seseorang menginvestasikan dana yang jauh dari penghasilannya.
   Melihat keadaan ini, seyogyanya program menuju kendaraan ramah lingkungan menjadi program jangka panjang.

Peran perguruan tinggi
   Ingat mobil sel surya Widya Wahana, karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang tahun 1989 menaklukan Jakarta-Surabaya dalam seminggu? Kendaraan listrik bertenaga matahari itu tercatat dalam sejarah emas. Namun, sekian tahun lewat, tak ada yang mau mewujudkannya dalam produk komersial.
   Belakangan, Rektor Universitas Indonesia bertekad membuat mobil listrik untuk kebutuhan kampusnya. Mobil yang akan diterjunkan pada lomba Shell Eco-Marathon Asia di Sepang, Malaysia, Juli mendatang, itu masih sebatas untuk kebutuhan lingkungan kampus saja.
   Bagaimanapun, untuk bisa produksi masal perlu perusahaan otomotif yang tidak hanya bermodal besar, tetapi juga berpengalaman membuat dan memasarkan produk otomotif. Perguruan tinggi sebagai perintis membuktikan bangsa ini bisa membuat itu. Namun, jelas mereka tak bisa dituntut menjadi produsen.
   Pada kenyataannya, industri lokal tak berkembang. Belasan perusahaan sejak 1993 tak berhasil. Sangat sulit bersaing dengan perusahaan raksasa otomotif Jepang ataupun Jerman yang lama bercokol di negeri ini.
   Ingat nama mobil Timor dan Bimantara? Mereka ini di antaranya yang pernah ingin membuat mobil nasional. Yang masih berjuang bertahan adalah Komodo. Belakangan yang paling fenomenal adalah mobil Esemka buatan anak SMK yang masih harus tertatih-tatih tanpa dukungan berarti dari pemerintah.
   Padahal, seperti mobil Komodo dan Esemka, seharusnya bertumbuh dan diandalkan sebagai perusahaan lokal mandiri. Bila perlu, disorong riset mengembangkan mobil ramah lingkungan. Namun, sepertinya pemerintah menginginkan citranya sendiri yang muncul.
   Lebih bermanfaat jika pemerintah menyiapkan infrastruktur yang bisa mendukung kendaraan ramah lingkungan, termasuk menawarkan kemudahan dan insentif bagi perusahaan yang mengembangkannya.

Rintisan
   Tahun 2005, Jakarta sempat dibanjiri motor listrik dari China. Namun berbeda dengan yang terjadi di "Negeri Tirai Bambu", di isni perkembangan motor listrik satu demi satu importirnya rontok. Tak berkelanjutan.
   Kondisi transportasi di negeri ini, antara lain, karena pasar terlanjur dikuasai kendaraan bensin. Sulit menawarkan motor listrik. Bukan hanya soal kecepatan dan beragamnya penawaran motor bensin, cara pembayaran dan layanan purna jualnya pun menarik.
   Adapun pemilik motor listrik harus mengupayakan perbaikannya sendiri jika ada gangguan pada motor. Biasanya sangat sulit mencari suku cadangnya.
   Ditambah kelangkaan ketersediaan infrastruktur penyetruman dan lamanya mengisi ulang, kian mengkhawatirkan calon pemilik mobil listrik Tingginya kemacetan membuat konsumsi pemakaian listrik boros.
   Upaya memperoleh mobil listrik paling murah saat ini bisa dengan konversi mobil pembakaran-dalam dengan mengganti penggerak listrik. Menyediakan motor listrik dan aki penyimpan listrik saja bisa habis ratusan juta rupiah. Sementara dengan Rp 150 juta sudah banyak mobil bensin baru bisa dipilih.
   Mobil listrik sekarang banyak versinya. Selain mengandalkan penyetruman ulang dari listrik PLN, ada yang menggunakan sel surya atau keduanya (hibrida).
   Yang menarik sebetulnya motor listrik bertenaga fuel cell, yaitu pembangkit listrik kimiawi yang bekerja menggabungkan gas hidrogen (disimpan di tangki) dengan oksigen dari udara. Reaksi kimia berupa listrik menggerakan motor listrik dan uap air yang sangat ramah lingkungan.
  Namun, membawa gas hidrogen pada wahana bergerak masih beresiko karena mudah meledak. Kini, raksasa otomotif dunia berlomba menemukan bahan yang tepat, seperti menggunakan metanol yang sebelumnya digunakan dipisahkan dulu hidrogennya dengan membran khusus. Infrastruktur pengisian metanol sama seperti BBM.
   Cara lain, membuat hibrida, yaitu mobil listrik dengan cadangan mesin pembakaran-dalam. Mobil ramah lingkungan lain adalah menggunakan bahan bakar biodiesel dan gas alam cair.

Solusi
   Melihat banyak kendala yang kompleks, tak ada jalan lain selain sosialisasi terus-menerus secara kreatif dan cerdas. Tujuannya, mengenalkan kepada publik supaya lebih dekat, terutama untuk mengangkat nilai gengsinya.
   Bila perlu, acara car free day mengecualikan mobil atau motor listrik untuk tetap boleh berlalu lintas. Buat pula parade mobil listrik dengan berbagai mobil barunya, sekaligus mengenalkan produk baru ataupun hasil modifikasi anak negeri.
   Ciptakan suasan kompetitif, seperti Shell Eco-Marathon, untuk mobil layak jalan. Jangan terlalu ambisius, bagaimanapun pasar yang menentukan. Mulailah dari lingkungan terbatas, seperti kampus, tempat wisata, dan kendaraan umum.
   Namun, yang harus dipikirkan juga, jangan seperti fenomena telepon seluler. Banyak perusahaan sekedar tempel nama pada produk impor tanpa memikirkan kandungan lokal. Bila ini dibiarkan, hampir bisa dipastikan akan banjir kendaraan dari China. Bagaimanapun, mengimpor dari China lebih murah daripada bersusah payah mengembangkan sendiri.

Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar