Senin, 14 Mei 2012

Menjaga Nusantara: Lindungi Teluk Laikang demi Rumput Laut

Oleh Aswin Rizal Harahap
Sebelum tahun 2000, kondisi lingkungan Teluk Laikang memprihatinkan. Air lautnya keruh dan kawasan pesisir gundul. Nelayan leluasa memakai bom ikan dan pestisida yang menghancurkan terumbu karang. Tidak ada lagi kawanan burung kuntul (Egretta garzetta) yang mempercantik panorama teluk di ujung selatan Pulau Sulawesi itu.
   Jumlah ikan terus menyusut dan kondisi perairan yang bergelombang besar tak cocok untuk budidaya rumput laut. Suasana dusun Puntondo, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, Sulawesi Selatan, kian sunyi ditinggal warga yang kehilangan mata pencarian. Mereka memburu nafkah di Kota Makasssar, 60 kilometer arah Utara Puntondo.
   ...
   Keduanya kembali ke kampung halaman untuk berbudi daya rumput laut. kala itu, sejumlah nelayan membudidayakan rumput laut dengan memakai rakit dan patok dari bambu. Namun, penggunaan metode tradisional itu terganggu derasnya gelombang di Teluk Laikang akibat kerusakan lingkungan.
   Kondisi di Puntondo mulai  berubah seiring kehadiran Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) pada tahun 2001. Lembaga swadaya masyarakat itu mampu meyakinkan warga Puntondo untuk bersama-sama mengubah "wajah" Teluk Laikang. Manajer Divisi Program PPLH Puntondo, Fatima Ramadhani, mengtakan upaya membenahi lingkungan diawali dengan membentuk tiga kelompok di kalayangan nelayan.
"ada kelompok terumbu karang, kelompok tanaman bakau, dan pengguna alat tangkap ikan statis yang ramah lingkungan," ujar Fatima. Setiap kelompok yang terdiri dari 25-30 orang itu bertugas memastikan program pemulihan lingkungan di wilayah kerja masing-masing berjalan sesuai rencana.
   Di kelompok terumbu karang, warga Puntondo bersatu menghalau nelayan yang masih menggunakan alat ta ngkap ikan berbahaya, seperti bom dan pestisida. Selama ini penggunaan alat tangkap itu umumnya dilakukan nelayan pendatang dari Galesong dan Tanakeke, Takalar, yang menggunakan kapal besar berkapasitas 10 ton.
   Menurut tokoh masyarakat Puntondo, Ijar Daeng Jare (45), tak jarang mereka bersitegang saat "mengusir" para nelayan pendatang. Berkat komitmen kuat dari warga, nelayan dari luarpun lambat laun tidak lagi mencari ikan di kawasan Teluk Laikang. "Kami terpaksa menghalau mereka agar proses pemulihan dan pemeliharaan tidak sia-sia," ujarnya.
   Setelah teluk terbebas dari aktivitas bom ikan, nelayan pun diajarkan metode transplantasi atau penanaman koral pada bagian terumbu karang yang rusak. Mereka dilatih memasang rak berisi substrat koral di sepanjang tubuh terumbu karang yang rusak di kedalaman 3-4 meter. Koral itu adalah jenis bercabang (Acropora) yang banyak ditemui di Teluk Laikang.
Transplantasi ini bertujuan memulihkan dan mempercepat pertumbuhan koral dari 1 sentimeter menjadi 3 sentimeter per tahun. Demi tujuan itu tercapai, kelompok terumbu karang yang masih bagus, perawatannya cukup dibersihkan dari sedimentasi secara rutin," kata Fatima.
   Berdasarkan hasil penelitian tim Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, 60 persen dari total 1 hektar terumbu karang di Teluk Laikang masih berkondisi baik. Sisanya terumbu karang yang memutih (25 persen) dan mati (15 persen).
   Kondisi pesisir teluk kini tak lagi gundul setelah nelayan menanami ribuan tanaman bakau sejak satu dekade silam. Hamparan pohon bakau setinggi 2-3 meter berderet kokoh sepanjang 8 kilometer di Dusun Puntondo dan Laikang. Meskipun panjang pesisir Teluk Laikang 40 km, penanaman bakau difokuskan pada dua dusun yang memanfaatkan perairan untuk budidaya rumput laut.
   Pemulihan lingkungan teluk juga dilakukan nelayan dengan menggunakan alat tangka ikan statis. Mereka bergotong royong membuat alat tangkap ikan tidak bergerak yang biasa disebut sero bila, bagang tancap, dan bandong. Ketiga alat yang terbuat dari bambu, jaring, dan patok kayu itu ditopang pemberat berpa semen yang diikat ke bambu di ke empat sisi.
   Selain efisien dan ramah lingkungan, metoda penangkapan ikan ini menghindari eksploitasi ikan secara berlebihan. Jaring perangkap berikuran 10 x 10 meter dipasang di daerah yang dilalui gerombolan ikan. Ratusan alat statis itu kini terhampar di Teluk Laikang hingga 1,5 mil dari garis pantai.
   Berbagai upaya yang telah dilakukan selama 10 tahun terakhir itu perlahan-lahan efektif membenahi kualitas ekosistem teluk. Komunitas nelayan Puntondo bahkan meraih juara pertama lomba pelestarian lingkungan berbasis kelompok yang diadakan Dinas kelautan dan Perikanan Sulsel tahun 2010.
   Pemulihan terumbu karang mulai mengundang datangnya ikan. Pada saat terumbu karang mulai mengundang datangnya ikan. Pada saat tertentu ikan karang berwarna-warni tampak jelas berkejaran di sela-sela karang. Di sekitar kawasan zona inti terumbu karang terpasang sejumlah larangan.
   Reimbunan pohon bakau kini jadi habitat sejumlah fauna, seperti burung, kepiting, ikan dan udang. Sedikitnya terdapat 28 jenis burung di kawasan Teluk Laikang, antara lain kuntul, mahkota biru kehijauan (Holycon chloris), kaca mata laut (Zosterops chloris). dan kutilang (Pycnonotus aurigaster). PPLH pun memanfaatkan Dusun Puntondo sebagai tempat wisata dan penelitian.
   Membaiknya kondisi lingkungan teluk membawa berkah bagi 158 nelayan yang bersandar pada budidaya rumput laut. Pemulihan terumbu karang efektif meredam derasnya arus laut yang berpotensi mengganggu pertumbuhan rumput laut. Begitu pula dengan penggunaan bom ikan dan pestisida yang berdampak negatif terhadap budidaya rumput laut.
   "Sisa racun bom ikan dan pestisida dapat merusak rumput laut. Padahal, rumput laut membutuhkan nutrisi yang hanya terkandung di kawasan teluk," kata Muhammad Kasim, aktivis lingkungan yang kini menjadi nelayan di Puntondo.
   Perairan seluar 350 hektar telah dimanfaatkan 158 nelayan dengan budidaya rumput laut. Luasan itu baru 15 persen dari potensi rumput laut di Teluk Laikang 2.471 hektar. Harganya Rp 6.000 per kg.
   "Hasil dari rumput laut sangat lumayan karena kalau mencari ikan kami tak mampu bersaing dengan pemilik kapal besar," ungkap Rusli. Budidaya rumput laut juga mampu menyerap banyak tenaga kerja, seperti kaum ibu dan remaja perempuan.

Bersambung
Sumber: Kompas, 4 Mei 2012, halaman 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar