Rabu, 13 April 2011

Bongkar Vila atau Bangun Resapan

Kawasan wisata Puncak memegang peranan vital bagi Jakarta. Puncak tidak hanya sebagai tempat berlibur yang relatif dekat bagi warga Jakarta, tetapi juga menjadi kawasan pencegah banjir di Jakarta. Namun, pembangunan di Puncak tidak menunjukkan ke arah itu.
Pembangunan vila dan real estat baru terus bermunculan serta tidak terkendali. Lihat saja, di sepanjang jalan Puncak kini dipenuhi dengan toko, restoran, dan tempat rekreasi. Banyak bangunan baru juga muncul di lahan bekas ladang dan sawah milik penduduk setempat.
Dosen Ilmu Lingkungan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan, Lim Bianpoen, dalam perbincangan dengan Kompas pekan lalu mengatakan, dengan membiarkan Puncak ditumbuhi vila dan real estat baru, Puncak tidak lagi menjadi daerah tangkapan air, dan ini membahayakan Jakarta.
Selain itu, secara perlahan, kondisi ini sesungguhnya juga bisa memiskinkan warga setempat.
”Penduduk setempat tidak sadar, dengan menjual lahan miliknya, dia akan semakin miskin dari sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Bianpoen, banyak penduduk biasanya tidak pandai mengelola uang. Ketika mendapatkan bayaran atas penjualan lahan, mereka langsung membelanjakannya untuk kebutuhan sesaat, seperti membeli sepeda motor atau memperbaiki rumah. Akhirnya, setelah menikmati kesenangan sesaat itu, mereka jadi lebih miskin dari sebelumnya.
Puncak, yang semula merupakan tempat berlibur, berubah menjadi pusat kemacetan, khususnya pada akhir pekan. Warga Jakarta yang berlibur ke sana justru dihadapkan pada kemacetan yang membuat mental dan fisik lelah luar biasa. Warga setempat pun kembali terkena imbasnya.
Lebih miskin
Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada era Gubernur Ali Sadikin, Bianpoen dengan tegas menunjuk pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Menurut dia, kesalahan ini dilakukan oleh semua pihak. Namun, yang paling besar andilnya dengan kerusakan yang terjadi di Puncak adalah pemerintah daerah setempat.
”Mereka harus berani membongkar vila-vila itu. Toh, mereka juga yang menikmati biaya pengurusan izin yang dikeluarkan oleh pemilik vila,” kata Bianpoen.
Imbauan untuk membongkar vila-vila ini sebenarnya sudah lama didengungkan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Bogor juga pernah melaksanakannya. Namun, jumlah vila yang dibongkar sangat kecil dibandingkan dengan jumlah bangunan- bangunan baru yang muncul di kawasan Puncak.
Kini, untuk memperbaiki kawasan Puncak, Bianpoen mengatakan ada langkah sementara yang bisa diambil sambil menunggu bangunan-bangunan itu dibongkar. Langkah itu adalah memaksa pemilik bangunan membuat sumur resapan.
Di sini, pemerintah setempat harus memastikan bahwa sumur resapan itu benar-benar dibuat oleh para pemilik vila sesuai dengan bangunan yang dibangun.
Dicontohkan, jika seseorang mempunyai lahan seluas 1.000 meter persegi lalu di atasnya dibangun vila seluas 600 meter persegi, yang bersangkutan harus membuat sumur resapan yang luas dinding resapannya mencapai 600 meter persegi.
”Dinding itu harus mempunyai lubang-lubang yang mampu menyalurkan air ke dalam tanah. Pembuatan sumur resapan ini harus diawasi secara ketat. Pemerintah daerah jangan hanya percaya dengan pengakuan pemilik bangunan,” tutur Bianpoen.
Terhadap penduduk setempat, pemerintah daerah juga harus memberi pendampingan agar tidak mudah menjual tanah mereka. Pemerintah harus memastikan kualitas hidup warganya tidak tergusur dan terus terjaga dengan baik. (ARN)
(Sumber: Kompas, 23  Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar