Rabu, 13 April 2011

Anomali Cuaca Membuat Mereka Gundah


KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Pandi (40), petani penggarap di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Senin (28/2), menanam kapulaga di sela-sela tanaman teh miliknya. Ketidakpastian cuaca membuat sebagian besar pohon buah di daerah itu tak berbuah. Sebagian petani menyiasatinya dengan menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Ujang Keden (48) tak menduga hujan sepanjang 2010 lalu menyeret nasibnya ke jalanan. Dari bandar buah manggis beromzet Rp 30 juta sehari, kini dia menjadi pedagang pengecer di tepi Jalan Raya Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Omzetnya pun tinggal puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah per hari.
Biasanya, selama 3-4 bulan masa panen, Ujang memasok 2-4 ton manggis per hari ke seorang eksportir asal Jakarta. Ia mengepul manggis di sentra Wanayasa, Bojong, Darangdan, dan Kiarapedes. Dengan modal Rp 20 juta untuk membeli hasil panen petani, dia bisa menjual ke eksportir hingga Rp 30 juta.
Sejak awal tahun 2011, kisah menggembirakan itu tidak pernah lagi terjadi. Jangankan 2-4 ton, mengumpulkan 50 kg per hari saja sulit bagi pedagang seperti Ujang yang telah lebih dari 10 tahun menekuni manggis.
Sebelum menular ke pedagang, ”wabah” telah lebih dulu menjalari pohon dan petani pemiliknya. Guyuran hujan selama proses pembuahan membuat sebagian besar pohon gagal berbuah. Nasib serupa dialami pohon rambutan, cengkeh, dan mangga, yang menjadi sandaran hidup sebagian petani di Jabar.
Ahmad Mulyana (62), petani di Desa Garokgek, Kecamatan Kiarapedes, biasanya mengandalkan pendapatan dari teh saat 6 pohon manggis dan 50 pohon cengkeh miliknya tak berbuah. Sayang, nasib teh tak lebih baik dari tanaman buah. Harga jualnya selalu tertekan karena harus menghadapi kokohnya dominasi jaringan pemasaran.
Ongkos produksi pucuk daun teh basah dari perkebunan teh rakyat mencapai Rp 1.700 per kg. Itu mencakup ongkos pemeliharaan, pemupukan, dan penyemprotan, serta ongkos petik dan angkut. Namun, saat cengkeh dan manggis gagal panen, harga jual pucuk teh hanya Rp 1.150 per kg.
Dengan harga jual rendah, petani memilih membiarkan tanamannya tumbuh alami. Di beberapa kebun teh di Desa Sukadami dan Taringgul Landeuh, Kecamatan Wanayasa; Desa Kiarapedes dan Cibeber, Kecamatan Kiarapedes; dan Pasirangin, Nangewer, dan Linggasari, Kecamatan Darangdan, tanaman teh kalah tinggi dengan rumput liar. Petani tak lagi memupuk atau menyemprot tehnya sehingga produktivitas cenderung turun. Produksi dari 1 patok (400 meter persegi) kebun teh turun dari 1 kuintal menjadi 0,4-0,5 kuintal dalam sekali petik.
Saat menghadapi ketidakpastian cuaca yang memengaruhi produksi, petani tak berdaya untuk mendobrak tata niaga yang monopolistis. Bagi petani, teh rakyat di Purwakarta, dominasi tengkulak serta harga jual rendah telah menjadi ”penyakit menahun” yang belum terobati. Penyakit itu bahkan telah menggerogoti kebun-kebun teh rakyat.
Menurut catatan Kelompok Teh Rakyat (Kotera) Purwakarta, dari 4.400 hektar kebun teh rakyat di sentra Wanayasa, Kiarapedes, Bojong, dan Darangdan, lebih dari separuhnya telah beralih fungsi menjadi kandang ternak, bangunan, atau kebun komoditas lain dalam 5 tahun terakhir.
”Pageblug”
Era sejak tahun 2010 menjadi masa ”pageblug” bagi petani. ”Wabah penyakit” akibat anomali iklim seolah menular dengan cepat dalam cakupan luas dan menimbulkan banyak korban, baik petani, pedagang, para pekerja pendukung, dan keluarganya. Kondisi itu diperparah oleh penyakit menahun yang belum sembuh.
Situasi itu yang membuat hidup Enan Sunarya (52) dan keluarganya kian terpuruk. Petani di Desa Linggasari, Kecamatan Darangdan, itu punya empat pabrik pengolah teh dan kebun hingga 6 hektar yang menyerap belasan tenaga kerja.
Akan tetapi, zaman seolah kian tak berpihak ke petani seperti Enan. Kini, Enan hanya menyandarkan penghasilan dari 1 hektar, karena 5 hektar lainnya telah dijual untuk menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Senasib dengannya, ratusan petani yang mengelola sekitar 400 hektar kebun di Linggasari, Neglasari, dan Cilingga telah menjual lahannya.
Bertani, bagi Enan, seolah kian tidak menguntungkan. Dia mencontohkan, pada kurun 1979-1985, seorang kuli angkut pucuk daun teh dengan upah Rp 10 per kg bisa membeli lahan. Ketika itu harga pucuk daun teh Rp 25 per kg dan harga tanah Rp 10.000 per patok (400 meter persegi) atau perbandingan 1:400 antara pucuk teh dan tanah. Kini, harga pucuk teh Rp 1.100 per kg dan harga tanah Rp 40 juta per patok. Itu berarti perbandingannya kian timpang yakni 1:36.363. ”Jangankan untuk beli tanah lagi, buat mencukupi kebutuhan sehari-hari saja kini kian tak cukup,” kata Enan.
Ketidakpastian cuaca membuat hidup sekitar 14.000 keluarga petani teh rakyat di Purwakarta kian suram. Sebab, manggis dan cengkeh, yang menjadi tanaman tumpang sari di kebun teh, juga tak berbuah. Unit Pengembangan Manggis Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta memastikan tak ada ekspor manggis sejak awal tahun 2010 hingga kini. Minimnya produksi dari sekitar 63.000 pohon manggis di Purwakarta memaksa eksportir menolak permintaan dari luar negeri.
Di Kabupaten Subang, ”pageblug” dirasakan oleh para petani rambutan, seperti dialami Casmita (56), petani rambutan di Desa Kaliangsana, Kecamatan Kalijati. Guyuran hujan dan serangan ulat membuat dia kehilangan potensi pendapatan sedikitnya Rp 8,8 juta dari 44 pohon miliknya.
Produksi rambutan dari 7.451 hektar lahan di Subang selama 2010, mengacu data Dinas Pertanian Kabupaten Subang, mencapai 21.000 ton. Angka itu hanya sekitar 12 persen dari rata-rata produksi 10 tahun terakhir yang mencapai 180.000 ton per tahun.
Anomali cuaca membuat petani gundah....(Mukhamad Kurniawan)
(Sumber: Kompas, 22 Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar