Senin, 04 April 2011

Bertani di Sawah yang Berubah

Di gubuk tanpa dinding, di pinggir jalan berlubang, puluhan petani duduk di atas terpal. Siang itu para petani di Cantigi Kulon, Indramayu, Jawa Barat, mendiskusikan siasat terbaik untuk bertani di sawah mereka yang berair asin. Diskusi yang menentukan masa depan sawah dan hidup mereka.

Bergantian, tiap kelompok kecil menjelaskan amatan mereka. "Bisa disimpulkan, jenis padi yang paling cocok rangbo hasil silangan Haji Darmin. Anakannya terbanyak dan pertumbuhannya paling bagus," kata Takir. Petani berusia paruh baya itu berusaha meyakinkan keunggulan benih padi silang antara ciherang dan kebo itu.
"Rangbo sepertinya paling cocok, goyang dombret yang kami tanam anakannya sedikit," kata Kani, petani lain.
"Goyang dombret, goyangannya kurang hot sih," seorang petani berkelakar menimpali.
Demikian suasana sekolah lapangan iklim pertanian yang digagas Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Selama enam bulan terakhir, seminggu sekali petani diajak berdiskusi tentang perkembangan tanaman mereka, dari jumlah malai, anakan, penyakit, hingga tinggi tanaman.
Mereka diajak mencari bibit padi terbaik yang paling cocok dengan sawah berair asin. Sebanyak 15 bibit padi hasil persilangan lokal dan dari daerah lain dicoba, antara lain goyang dombret dan rangbo.
"Prinsipnya, kami mencari benih yang paling mampu bertahan di sawah yang airnya asin,: kata Zaenudin, Ketua Kelompok Tani Sumber Mulya Cantigi Kulon. "Benih bantuan pemerintah selalu gagal dipanen. Kami harus memuliakan benih lokal agar sesuai lingkungan sini," lanjutnya.
Jauh sebelum pendampingan dari IPPHTI, petani Cantigi Kulon ini bergulat sendiri untuk bertahan. Selain jenis benih, mereka juga mencari metode tanam yang paling baik, kapan waktu tanamnya, juga metode pemberantasan hama.
Desa Cantigi Kulon mnjadi area subur bagi hama keong mas karena posisi sawah mereka di muara. "Keong mas dari Indramayu kumpul semua di sini,'" ujar Zaenudin.
Solusi keong mas terpecahkan dengan cara sederhana: memelihara bebek! "Awalnya kami dipusingkan keong. Lalu, muncul ide keong sebagai pakan bebek," tuturnya. Keong mas menjadi pemasukan tambahan. Sekarang petani di Cantigi Kulon berebut mencari keong di sawah. Yang tak punya bebek tetap bisa mencari keong. Satu ember dihargai Rp 10.000.
Untuk memudahkan menangkap keong, dibuatlah saluran kecil di sela padi. lalu daun pisang atau kelapa ditaruh di saluran agar menjadi tempat favorit keong berkumpul sehingga bisa lebih mudah diambil.
Hama tikus juga pernah mewabah. Petani kemudian berinisiatif membeli sepasang garangan, sejenis musang yang menjadi predator alami tikus, di Pasar Pramuka, Jakarta. "Kami ternakkan garangan, kemudian dilepas. Kami buat larangan berburu garangan," ujar Zaenudin.
(Sumber: Kompas, 4 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar