Contoh-contoh Kasus untuk Konsep-konsep dalam Ilmu Lingkungan Hidup
Sabtu, 14 Juli 2012
Perburuan Piranha 'Hidup Atau Mati' di China
Beijing (AFP/ANTARA) - Pihak berwenang di selatan China telah bergerak untuk menghentikan ancaman piranha aneh, menawarkan hadiah dan umpan gratis di tengah kekhawatiran ikan agresif Amerika Selatan yang menyerang di sebuah sungai, kata media pemerintah,
Kamis.
Pemerintah kota Liuzhou juga telah menyatakan sungai dibatasi sementara bagi perenang selama perburuan berlangsung, yang diyakini telah diimpor secara ilegal untuk peliharaan eksotis di akuarium, menurut China Daily.
"Mengerikan setelah tahu sungai terdapat ikan seperti itu, saya takkan berenang di sana lagi .... Saya berdoa semoga mereka segera menangkapnya," ujar surat kabar mengutip warga setempat, Liu Junjie.
Pemerintah kota mengumumkan insentif lain untuk menangkap ikan pada Selasa setelah seekor piranha menggigit seorang pria yang sedang memandikan anjingnya di sungai Liujiang.
Pria itu menangkap ikan tersebut, agar dapat diidentifikasi, dan mengatakan ia melihat dua orang lain di sungai pada saat yang sama.
Hadiah menangkap ikan itu "hidup atau mati" tersebut bernilai 1.000 yuan (sekitar Rp1,47 juta), merupakan jumlah yang besar bagi nelayan setempat dan dilaporkan mendorong banyak orang untuk memancingnya.
"Beberapa teman saya pergi memancing pada Selasa. Bayangkan, uang yang mereka dapatkan dari tiga piranha sama dengan pendapatan bulanan mereka. Bagaimana mereka bisa menolaknya," kata Zhu Feijie penduduk Liuzhou, menurut China Daily.
Pihak berwenang juga memberikan daging babi gratis dan daging lainnya bagi nelayan untuk digunakan sebagai umpan, sementara larangan menggunakan jaring ikan di bagian sungai yang mengalir melalui kota tersebut untuk sementara dicabut, kata surat kabar tersebut.
Namun belum ada piranha yang tertangkap dalam perburuan tersebut.
Impor piranha untuk akuarium eksotis dilarang di China dan di negara Asia lainnya karena kekhawatiran ikan tersebut akan memasuki saluran air lokal dan berkembang biak dengan cepat tanpa predator.
Polisi di Filipina menangkap lima orang yang mencoba menjual piranha pada Desember tahun lalu. (ia/ml)
http://id.berita.yahoo.com/perburuan-piranha-hidup-atau-mati-di-china-093818185.html
Kamis, 12 Juli 2012
Mantangan jadi "virus" bagi hutan tropis
Bandarlampung (ANTARA Bengkulu) - Sekitar 500 hektare tumbuhan liar mantangan (Merremia peltata) tumbuh di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Provinsi Lampung.
"Mantangan semacam tanaman liar yang bersifat parasit, kalau dilakukan pemotongan maka akan tumbuh lagi dua kali lipat dari sebelumnya dan berdampak pada kerusakan pada tanaman inti hutan," kata Kepala Bidang TNBBS Wilayah II Lampung--Bengkulu Edi Susanto, saat dikonfirmasi di Bandarlampung, Kamis.
Menurutnya, TNBBS tengah melakukan penelitian terhadap jenis tanaman parasit tersebut sejak setahun lalu, dan pihaknya juga akan melakukan upaya pencegahan perkembangbiakan tanaman tersebut agar tidak tumbuh lagi di kawasan hutan.
Sementara itu, Leader Project World Wildlife Fund (WWF) Wilayah Lampung Job Carles menjelaskan, tanaman parasit itu berkembangbiak di kawasan hutan karena ekosistem predator utama telah terancam punah akibat kerusakan hutan.
"Keberadaan badak itu, sebenarnya sangat membantu menjaga kelestarian hutan, karena hewan mamalia jenis badak itulah yang memakan tumbuhan sejenis mantangan di kawasan hutan itu," kata Job Carls.
Kini, tambahnya, matangan terus merambat dan melilit pohon-pohon besar. Mantangan itu sejenis virus yang jika satu pohon terserang virus tersebut, maka pohon itu akan tumbang dengan sendirinya.
"Karena itu, upaya menjaga kelestarian hutan perlu dilakukan secara serius, agar ekosistem top predator tetap bertahan di habitat sendiri dan pohon-pohon besar tetap kokoh tumbuh di kawasan hutan," ujarnya.
Catatan WWF menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Lampung mencapai 40 persen dari sektiar 1,5 juta hektare luas areal hutan.
Sebagian besar hutan telah gundul karena ulah manusia, bahkan hutan banyak yang berubah fungsinya menjadi tanaman perkebunan dan pemukiman.
"Sejak awal tahun 2011, kami bersama tim gabungan dari unsur pemerintahan menggelar operasi penurunan perambah, dalam rangka upaya kita menyelamatkan hutan yang kian rusak parah itu," ujarnya.
Beberapa kawasan, menurutnya, sudah kosong dari aktivitas perambahan yang dilakukan oleh warga, namun sebagian lagi ada yang kembali lagi melanjutkan perambahan hutan karena faktor ekonomi.
"Setiap titik yang telah dikosongkan itu, sempat kami tempatkan tim yang melakukan pemantauan pascaoperasi penurunan perambah, hasilnya, seperti di titik Simpang Kandis, Kabupaten Lampung Barat, sebagian mereka banyak yang kembali merambah hutan," ujarnya. (ANT)
Editor: Helti Marini S
COPYRIGHT © 2012
Sumber: http://www.antarabengkulu.com/berita/4563/mantangan-jadi-virus-bagi-hutan-tropis
Kamis, 12 Juli 2012 14:29 WIB
Rabu, 04 Juli 2012
Pemanasan Global Sejak Pra-Industri
Penelitian terbaru Julia Pongratz dari bagian Meteorologi Max Planck Institute di Jerman bersama Ken Caldeira dari Carnegie Institution for Science di Stanford, California, AS, menyebutkan, 9 persen pemanasan global sekarang berasal dari jaman pra-industri. Ini terakit penggundulan hutan. Emisi karbon bisa tinggal di atmosfer hingga ribuan tahun. Menurut Ponratz, selama ini pemanasan global dikatakan berawal dari era industri sekitar tahun 1840 seiring dengan penggunaan batrubara. Pongratz dan Caldeira menyebutkan, antara tahun 800 M dan 1850 M, jumlah penduduk dunia menjadi lima kali lipat, lebih dari satu miliar orang. Jika pembangunan abad ke-9 diperhitungkan sekarang, beban pihak pengemisi bertambah bagi China dan negara-negara Asia Selatan. Emisi karbon dioksida pada era pra-industri dari dua wilayah itu mengambil porsi 10-40 persen total emisi karbon. Ditemukan, lima persen emisi karbon dioksida di atmosfer saat ini dari emisi pada era sebelum tahun 1850. Beberapa peristiwa sejarah juga memperngaruhi emisi karbon dioksida. Hal itu, misalnya saat incasi Mongol ke China. Emisi sempat turun karena hutan tumbuh kembali. Pada zaman wabah sampar di Eropa, tahun 130-an, emisi karbon juga turun di Eropa. (Livescience.com/ISW)
Sumnber : Kompas, 5 Juli 2012. hal 14.
Sumnber : Kompas, 5 Juli 2012. hal 14.
Selasa, 03 Juli 2012
Australia: Pajak Emisi Karbon Tak Populer
Canberra, Senin --- Usaha Perdana Menteri Australia Julia Gillard untuk menerapkan pajak emisi karbon menghadapi ujian berat dari kalangan industri dan rakyat Australia. Hanya sepertiga penduduk yang memberikan dukungan dalam jajak pendapat yang dilakukan Nielsen dan dipublikasikan oleh The Sydney Morning Herald, Senin (2/7), sehari setelah pajak tersebut diberlakukan.
Hasil ini sejalan dengan dukungan rakyat bagi pemerintah partai Buruh pimpinan Gillard yang terus menurun. Partai yang beraliran kiri-tengah itu tertyinggal 42-58 dalam persentase dukungan pemilih dibandingkan dengan dukungan terhadap Partai Konservatif pimpinan Tony Abbott yang beroposisi.
Pajak emisi karbon dikenakan pada hampir 350 perusahaan dan pemerintah kota yang paling banyak mencemari lingkungan. Mulai dari pembangkit listrik bertenaga batubara hingga peleburan besi dan baja diwajibkan membayar 23 dolar Australia (sekitar Rp 221.500) untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan ke udara.
Pajak yang dikenakan Australia, salah satu negara penghasil polusi karbon terbesar di dunia ini, terbilang cukup besar. Nilainya lebih dari dua kali lipat pajak serupa di Uni Eropa, yang sebesar 8,15 Euro (sekitar Rp 96.500) per ton emisi karbon dioksida.
Upaya ambisius ini dilakukan untuk melawan pemanasan global dan mengurangi lima persen tingkat emisi karbon tahun 2000 pada tahun 2020. Program yang diterapkan Gillard termasuk pajak tetap selama tiga tahun pertama sebelum mengubahnya menjadi skema perdagangan karbon berdasarkan pasar seperti yang diterapkan Uni Eropa.
Namun, 62 persen dari 1.400 responden jajak pendapat menentang pemberlakuan pajak tersebut. Sekitar 2.000 pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota Sydney, Minggu, menuntut pembatalan penerapan pajak.
Gillard pun melakukan kampanye terbuka untuk memperjuangkan pajak ini. Dia menggelar wawancara khusus di radio dan televisi, dan mengatakan para pemilih akan merasakan dampak pajak tersebut pada ekonomi. Rakyat juga akan menyadari peringatan oposisi bahwa akan terjadi pemutusan hubungan kerja adalah keliru.
"Rakyat akan punya peluang untuk menilai mana yang terbaik untuk mereka. Dan yang ingin mereka lihat adalah pemotongan pajak, ujarnya. Namun, Gillard mengakui perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah opini publik.
"Terjadi kamapanye histeris dalam 12 bulan terakhir yang mencoba menakut-nakuti rakyat bahwa kita akan melihat, misalnya industri batubara akan bangkrut. Banyak pekerja menjadi penganggur," ujar Gillard kepada Radio ABC.
"Saya kira dalam beberapa bulan ke depan orang akan sadar apa artinya pajak emisi karbon bagi mereka, dan memperjuangkan makna itu untuk negara," ujarnya.
Sementara itu, kubu oposisi mengklaim konsumen yang harus menanggung pajak itu dari kenaikan harga produk. Hal itu akan menambah biaya hidup, selain mematikan industri pengolahan sumber daya alam.
"Perlu waktu uintuk memperoleh energi dari sumber daya terbarukan. Masalah utama untuk mengalihkan semua ke energi terbarukan adalah biayanya luar biasa mahal," ujar Tony Abbott. (AFP/AP/Reuters/WAS).
Sumber: Kompas, 3 Juli 2012, hal 10
Hasil ini sejalan dengan dukungan rakyat bagi pemerintah partai Buruh pimpinan Gillard yang terus menurun. Partai yang beraliran kiri-tengah itu tertyinggal 42-58 dalam persentase dukungan pemilih dibandingkan dengan dukungan terhadap Partai Konservatif pimpinan Tony Abbott yang beroposisi.
Pajak emisi karbon dikenakan pada hampir 350 perusahaan dan pemerintah kota yang paling banyak mencemari lingkungan. Mulai dari pembangkit listrik bertenaga batubara hingga peleburan besi dan baja diwajibkan membayar 23 dolar Australia (sekitar Rp 221.500) untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan ke udara.
Pajak yang dikenakan Australia, salah satu negara penghasil polusi karbon terbesar di dunia ini, terbilang cukup besar. Nilainya lebih dari dua kali lipat pajak serupa di Uni Eropa, yang sebesar 8,15 Euro (sekitar Rp 96.500) per ton emisi karbon dioksida.
Upaya ambisius ini dilakukan untuk melawan pemanasan global dan mengurangi lima persen tingkat emisi karbon tahun 2000 pada tahun 2020. Program yang diterapkan Gillard termasuk pajak tetap selama tiga tahun pertama sebelum mengubahnya menjadi skema perdagangan karbon berdasarkan pasar seperti yang diterapkan Uni Eropa.
Namun, 62 persen dari 1.400 responden jajak pendapat menentang pemberlakuan pajak tersebut. Sekitar 2.000 pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota Sydney, Minggu, menuntut pembatalan penerapan pajak.
Gillard pun melakukan kampanye terbuka untuk memperjuangkan pajak ini. Dia menggelar wawancara khusus di radio dan televisi, dan mengatakan para pemilih akan merasakan dampak pajak tersebut pada ekonomi. Rakyat juga akan menyadari peringatan oposisi bahwa akan terjadi pemutusan hubungan kerja adalah keliru.
"Rakyat akan punya peluang untuk menilai mana yang terbaik untuk mereka. Dan yang ingin mereka lihat adalah pemotongan pajak, ujarnya. Namun, Gillard mengakui perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah opini publik.
"Terjadi kamapanye histeris dalam 12 bulan terakhir yang mencoba menakut-nakuti rakyat bahwa kita akan melihat, misalnya industri batubara akan bangkrut. Banyak pekerja menjadi penganggur," ujar Gillard kepada Radio ABC.
"Saya kira dalam beberapa bulan ke depan orang akan sadar apa artinya pajak emisi karbon bagi mereka, dan memperjuangkan makna itu untuk negara," ujarnya.
Sementara itu, kubu oposisi mengklaim konsumen yang harus menanggung pajak itu dari kenaikan harga produk. Hal itu akan menambah biaya hidup, selain mematikan industri pengolahan sumber daya alam.
"Perlu waktu uintuk memperoleh energi dari sumber daya terbarukan. Masalah utama untuk mengalihkan semua ke energi terbarukan adalah biayanya luar biasa mahal," ujar Tony Abbott. (AFP/AP/Reuters/WAS).
Sumber: Kompas, 3 Juli 2012, hal 10
Senin, 25 Juni 2012
Pencemaran: Berlanjut, Ikan Mati di Kali Surabaya

Direktur Eksukutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Prigi Arisandi, di Surabaya, Selasa (29/5), menagatakan, ikan mati di Kali Surabaya sudah berlangsung sejak Sabtu (26/5). Ikan itu dijual warga di pinggir jalan sehingga polisi terpaksa menghalau mereka karena memacetkan lalu lintas di Jalan Jagir.
Hadi (45), warga setempat mengatakan, sejak pagi warga di sekitar Jagir ramai-ramai menjaring ikan yang sudah mengambang di sungai. Ikan jenis bader, mujair, tombro, dan rengkik itu dijual seharga Rp 2.000 - Rp 40.000 per ekor.
Kematian ikan juga terjadi di Wringinanom - Driyorejo, Gresik. Itu dipicu pabrik tepung yang membuang limbah saat hujan deras. Gubernur Jatim berjanji segera menuntaskan dan mengadukan pemilik pabrik yang diduga mencemari Kali Suranaya ke ranah hukum.
"Harus ada perusahaan yang bertanggunga jawab atas terjadinya pencemaran," katanya sembari mendesak segara dilakukan rehabilitasi sungai.
Oleh sebab itu, kata Gubernur, Ecoton harus punya standar penanganan limbah Kali Surabaya, sekaligus peringatan jika ada pencemaran air sungai. Apalagi di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas ada sekitar 65 perusahaan industri dan 33 pabrik.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Jatim, Indra Wiragana, mengatakan, pihaknya mengirim tim yang terdiri atas LSM Konsorsium lingkungan hidup untuk menelusuri Kali Surabaya. Tim sudah menemukan 2-3 perusahaan untuk diambil air limbahnya dan dijadikan contoh untuk diteliti di laboratorium. Hasil penelitian dari sampel limbah 2-3 industri akan diketahui tujuh hari ke depan.
Sampel air diambil dari Kali Kewangean yang berhubungan ke Kali Wringinanom-Driyoredjo yang asal pencemarannya dari limbah perusahaan tepung. Terkait Ecoton, Indra mengaku, sedang menyiapkan strategi, "Menentukan tersangka harus punya bukti yang jelas, jadi tidak mudah menyebut nama perusahaan yang mencemari air Kali Surabaya," katanya. (ETA)
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 22
Kecoa Penting bagi Kelestarian Lingkungan

Sumber: Kompas, 25 Juni 2012, hal 14
Minggu, 24 Juni 2012
64,6 Persen Hutan Mangrove Hilang
Banyuwangi, Kompas --- Sejak tahun 1999 hingga 2005 Indonesia telah kehilangan 5,58 juta hektar luas hutan mangrove. Jumlah ini mencapai 64,6 persen dari luas mangrove yang pernah terdata tahun 1999 yakni 8,6 juta hektar. Hilangnya hutan bakau ini telah berdampak pada berkurangnya biota laut seperti kepiting, ikan, dan kerang serta timbulnya abrasi.
Hal ini terungkap dalam diskusi dan workshop Pengembangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang diselenggarakan di Banyuwangi, Selasa (29/5). Diskusi diselenggarakan Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Peneliti lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Sri Nurul Rofiqo, memaparkan hgilangnya hutannya mangsrove disebabkan pembukaan lahan pesisir. Akibatnya, muncul persoalan, seperti berkurangnya jumlah ikan dan biota laut lainnya hingga abrasi.
Masyarakat pesisir mengaku sudah merasakan dampakdari kerusakan mangrove. Muzayin dari masyarakat Desa Wringin Putih Muncar mengatakan, setelah mangrove berkurang drastis di wilayahnya, tangkapan ikan, kepitingm, dan kerangpun turut berkurang. "Kondisi ini membuat kamiu sadar, dan tergerak untuk mengembalikan hutan mangrove lagi. Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, kami bekerja swadaya menanam mangrove di pinggir pantai," ujar Muzayin.
Gerakan warga
Gerakan swadaya mengembalikan mangrove, menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Kementerian Kehutanan, Murdoko, sudah banyak dilakukan masyarakat. Di Banyuwangi misalnya, di kawasan pantai selatan Jawa mempertahankan Bedul sebagai daerah konservasi mangrove. Hutan mangrove dijaga karena menjadi aset wisata mereka.
Di Medan, kelompok tani pun memilih mempertahankan hutan mangrove dan memperluasnya karena memberi dampak positif dalam usaha perikanan mereka. "Dengan adanya hutan mangrove ikan-ikan jadi lebih melimpah," kata Murdoko.
Gerakan rakyat itu, tambah Murdoko, lebih efektif dibandingkan dengan proyek pengembangan mangrove yang dilakukan pemerintah. Namun gerakan masyarakat masih terkotak-kotak dan belum menyeluruh. Beberapa gerakan hanya untuk pariwisata, belum menjangkau pendidikan atau sebaliknya.
JICA pun ikut ambil bagian membantu gerakan pengemblaian ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Menurut Takahisa Kusano, Ketua Penasihat Gerakan Konservasi Mangrove JICA di wilayah ASEAN, kelompok masyarakat dari berbagai daerah dikumpulkan. Mereka akan bertukar informasi mengenai keberhasilan dan kesulitan dalam mengelola ekowisata mangrove. Dengan cara demikian, pengembalian hutan mangrove lebih cepat terealisasi. (NIT)
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 21
Hal ini terungkap dalam diskusi dan workshop Pengembangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang diselenggarakan di Banyuwangi, Selasa (29/5). Diskusi diselenggarakan Kementerian Kehutanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Peneliti lingkungan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Sri Nurul Rofiqo, memaparkan hgilangnya hutannya mangsrove disebabkan pembukaan lahan pesisir. Akibatnya, muncul persoalan, seperti berkurangnya jumlah ikan dan biota laut lainnya hingga abrasi.
Masyarakat pesisir mengaku sudah merasakan dampakdari kerusakan mangrove. Muzayin dari masyarakat Desa Wringin Putih Muncar mengatakan, setelah mangrove berkurang drastis di wilayahnya, tangkapan ikan, kepitingm, dan kerangpun turut berkurang. "Kondisi ini membuat kamiu sadar, dan tergerak untuk mengembalikan hutan mangrove lagi. Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, kami bekerja swadaya menanam mangrove di pinggir pantai," ujar Muzayin.
Gerakan warga
Gerakan swadaya mengembalikan mangrove, menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Kementerian Kehutanan, Murdoko, sudah banyak dilakukan masyarakat. Di Banyuwangi misalnya, di kawasan pantai selatan Jawa mempertahankan Bedul sebagai daerah konservasi mangrove. Hutan mangrove dijaga karena menjadi aset wisata mereka.
Di Medan, kelompok tani pun memilih mempertahankan hutan mangrove dan memperluasnya karena memberi dampak positif dalam usaha perikanan mereka. "Dengan adanya hutan mangrove ikan-ikan jadi lebih melimpah," kata Murdoko.
Gerakan rakyat itu, tambah Murdoko, lebih efektif dibandingkan dengan proyek pengembangan mangrove yang dilakukan pemerintah. Namun gerakan masyarakat masih terkotak-kotak dan belum menyeluruh. Beberapa gerakan hanya untuk pariwisata, belum menjangkau pendidikan atau sebaliknya.
JICA pun ikut ambil bagian membantu gerakan pengemblaian ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Menurut Takahisa Kusano, Ketua Penasihat Gerakan Konservasi Mangrove JICA di wilayah ASEAN, kelompok masyarakat dari berbagai daerah dikumpulkan. Mereka akan bertukar informasi mengenai keberhasilan dan kesulitan dalam mengelola ekowisata mangrove. Dengan cara demikian, pengembalian hutan mangrove lebih cepat terealisasi. (NIT)
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 21
Langganan:
Postingan (Atom)