Selasa, 03 Juli 2012

Australia: Pajak Emisi Karbon Tak Populer

Canberra, Senin --- Usaha Perdana Menteri Australia Julia Gillard untuk menerapkan pajak emisi karbon menghadapi ujian berat dari kalangan industri dan rakyat Australia. Hanya sepertiga penduduk yang memberikan dukungan dalam jajak pendapat yang dilakukan Nielsen dan dipublikasikan oleh The Sydney Morning Herald, Senin (2/7), sehari setelah pajak tersebut diberlakukan.

Hasil ini sejalan dengan dukungan rakyat bagi pemerintah partai Buruh pimpinan Gillard yang terus menurun. Partai yang beraliran kiri-tengah itu tertyinggal 42-58 dalam persentase dukungan pemilih dibandingkan dengan dukungan terhadap Partai Konservatif pimpinan Tony Abbott yang beroposisi.

Pajak emisi karbon dikenakan pada hampir 350 perusahaan dan pemerintah kota yang paling banyak mencemari lingkungan. Mulai dari pembangkit listrik bertenaga batubara hingga peleburan besi dan baja diwajibkan membayar 23 dolar Australia (sekitar Rp 221.500) untuk setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan ke udara.

Pajak yang dikenakan Australia, salah satu negara penghasil polusi karbon terbesar di dunia ini, terbilang cukup besar. Nilainya lebih dari dua kali lipat pajak serupa di Uni Eropa, yang sebesar 8,15 Euro (sekitar Rp 96.500) per ton emisi karbon dioksida.

Upaya ambisius ini dilakukan untuk melawan pemanasan global dan mengurangi lima persen tingkat emisi karbon tahun 2000 pada tahun 2020. Program yang diterapkan Gillard termasuk pajak tetap selama tiga tahun pertama sebelum mengubahnya menjadi skema perdagangan karbon berdasarkan pasar seperti yang diterapkan Uni Eropa.

Namun, 62 persen dari 1.400 responden jajak pendapat menentang pemberlakuan pajak tersebut. Sekitar 2.000 pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota Sydney, Minggu, menuntut pembatalan penerapan pajak.

Gillard pun melakukan kampanye terbuka untuk memperjuangkan pajak ini. Dia menggelar wawancara khusus di radio dan televisi, dan mengatakan para pemilih akan merasakan dampak pajak tersebut pada ekonomi. Rakyat juga akan menyadari peringatan oposisi bahwa akan terjadi pemutusan hubungan kerja adalah keliru.

"Rakyat akan punya peluang untuk menilai mana yang terbaik untuk mereka. Dan yang ingin mereka lihat adalah pemotongan pajak, ujarnya. Namun, Gillard mengakui perlu waktu berbulan-bulan untuk mengubah opini publik.

"Terjadi kamapanye histeris dalam 12 bulan terakhir yang mencoba menakut-nakuti rakyat bahwa kita akan melihat, misalnya industri batubara akan bangkrut. Banyak pekerja menjadi penganggur," ujar Gillard kepada Radio ABC.

"Saya kira dalam beberapa bulan ke depan orang akan sadar apa artinya pajak emisi karbon bagi mereka, dan memperjuangkan makna itu untuk negara," ujarnya.

Sementara itu, kubu oposisi mengklaim konsumen yang harus menanggung pajak itu dari kenaikan harga produk. Hal itu akan menambah biaya hidup, selain mematikan industri pengolahan sumber daya alam.

"Perlu waktu uintuk memperoleh energi dari sumber daya terbarukan. Masalah utama untuk mengalihkan semua ke energi terbarukan adalah biayanya luar biasa mahal," ujar Tony Abbott. (AFP/AP/Reuters/WAS).

Sumber: Kompas, 3 Juli 2012, hal 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar