Jakarta, Kompas --- Pemerintah mengkaji ulang sistem verifikasi yang diterapkan dalam impor besi bekas. Sistem selama ini dinilai masih longgar sehingga ratusan ribu ton besi bekas bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya impor masuk ke kedaulatan Indonesia.
"Banyaknya kontainer besi bekas impor yang tertahan di pelabuhan karena limbah B3 menjadi perhatian serius kami. Kami tengah mengkaji ulang sistem verifikasi proses impornya," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh di Jakarta, Jumat (5/5).
Selama ini, lanjutnya, verifikasinya tergolong longgar. Dari pelabuhan asal, verifikasi hanya administratif. Begitu tiba di Indonesia, pengecekan fisik bersifat acak. Akibatnya, besi bekas yang diimpor sulit dipastikan terbebas dari limbah B3.
Saat ini, pemerintah menjajaki menerapakan model verifikasi impor seperti di China. Verifikasi impor terdiri dari tiga tahapan: di pelabuhan asal, pelabuhan tujuan, dan pengecekan fisik terhadap seluruh besi bekas yang diimpor. Begitu ada bukti mengandung limbah B3, besi bekas langsung direekspor.
Nantinya, pengecekan tak hanya acak, tetapi semua ditaruh di hamparan atau semacam penampungan untuk dicek. Untuk itu, dibutuhkan prasarana pendukung yang memadai, seperti fasilitas tempat dan tenaga penguji. "Kami akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup," paparnya.
Sambut positif
Dihubungi di jakarta, Deputi V Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian LH Sudariyono mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana verifikasi itu. "Prinsipnya, selesaikan persoalan di hulunya," katanya.
Verifikasi yang baik di negara pengekspor diyakini dapat mencegah permasalahan seperti yang terjadi empat bulan terakhir. Di saat barang sudah tiba di pelabuhan tujuan, persoalan menjadi panjang. Ada biaya besar yang harus ditanggung, selain ancaman sanksi pidana.
"Kami siap bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kedmenterian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan untuk membahas impor limbah dan sebagainya," kata Sudariyono.
Kementerian Luar Negeri patut dilibatkan dalam pembahasan karena terkait perdagangan lintas batas negara. Selain itu, perwakilan pemerintah di negara-negara pengekspor limbah juga bisa menyosialisasikan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Sejak Januari 2012, setidaknya 7.000 kontainer besi bekas masuk ke Indonesia melalui sejumlah pelabuhan. Sebagian besar masih tertahan di pelabuhan untuk pemeriksaan fisik setelah ditemukan bukti sebagian kontainer mengandung limbah B3.
Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Ismail Mandry mengatakan tertahannya besi bekas di pelabuhan mulai mengganggu produksi baja. Importasi besi bekas lebih dari 30 tahun dan baru kali ini terjadi permasalahan penahanan skala besar. (ENY/GSA)
Sumber : Kompas 5 Mei 2012, hal 13
Contoh-contoh Kasus untuk Konsep-konsep dalam Ilmu Lingkungan Hidup
Kamis, 31 Mei 2012
Jumat, 25 Mei 2012
Lahan Gambut: Hentikan Pembabatan di Rawa Tripa
.png)
"Pembukaan lahan di Rawa Tripa harus dihentikan. Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan sawit yang terus membuka lahan," kata Suratman, warga Desa Suka Ramai, Kecamatan Darul Makmur, Sabtu (12/5).
Sejak tahun 1980-an, sebagian besar kawasan gambut Rawa Tripa dikuasai perusahaan perkebunan sawit dengan hak guna usaha. Beberapa perusahaan memiliki lahan seluas 3.000-13.000 hektar. Kondisi ini menyebabkan luas Rawa Tripa yang semula 62.000 ha tinggal 11.504,3 ha. Padahal, Rawa Tripa ditetapkan sebagai bagian Kawasan Ekosisyem Leuser.
Suratman menambahkan, pembukaan kebun sawit merusak lahan pertanian warga. Sebab kesuburan tanah turun, cuaca makin panas dan irigasi mati karena kurang hujan lokal.
Saino (35), warga Desa Panton Bayu, menuturkan, sejak beberapa tahun terakhir, air bersih sulit didapat. Sebaliknya, banjir makin parah.
Koordinator Program Rawa Tripa Yayasan Ekosistem Lestari Halim Gurning menyatakan, selain masalah lingkungan, persoalan yang juga mengancam adalah konflik sosial antara perusahaan sawit dan warga. Jika tak segera diatasi, bisa berkembang menjadi konflik berdarah, seperti Mesuji.
Kepala Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Nagan Raya Akmaizar mengatakan, penghentian pembukaan lahan menjadi kewenangan BPN, bukan dishutbun.
Dalam siaran pers, Satgas Kelembagaan REDD+ menyampaikan apresiasi kepada semua kementerian dan lembaga penegak hukum atas kesigapan menangani dugaan pelanggaran hukum di Rawa Tripa. (HAN)
Sumber: Kompas, 15 Mei 2012, hal 13
Minggu, 20 Mei 2012
Perikanan: Nelayan Keluhkan Teluk Jakarta Tercemar
Jakarta, Kompas --- Nelayan kecil dan tradisional di sepanjang pantai Utara Jakarta saat ini kesulitan melaut. Pencemaran limbah yang kian pekat dan meluas di Teluk Jakarta membuat nelayan susah mendapatkan hasil tangkapan, juga memicu kegagalan panen budidaya kerang.
Persoalan itu dikeluhkan sejumlah nelayan di Kali Baru di Kecamatan Cilincing, Muara Angke, serta Marunda di Jakarta Utara, Jumat (18/5).
Tiharom, nelayan rajungan di Marunda, menuturkan, pencemaran limbah di Teluk jakarta selama ini berlangsung lama dan semakin parah dalam sebulan terakhir. Bahkan, dua pekan belakangan ini, nelayan tradisional tidak bisa lagi mencari ikan karena air yang pekat dan tercemar.
Air yang tercemar limbah itu berbau menyengat, keruh, dan pekat dengan berbagai warna, seperti hitam, putih, hijau, hingga coklat kemerahan.
Pencemaran yang parah itu mencapai radius 1 mil dari pinggir pantai, atau mendekati Pulau Seribu. Para nelayan jaring sero dengan bobot mati perahu kurang dari 2 ton hampir tak bisa lagi memperoleh udang, rajungan dan ikan. Kalaupun ikan ditemukan, kondisinya sudah mati mengapung dan membusuk.
"Biasanya sehari masih bisa dapat hasil tangkapan Rp 50.000. Tetapi, dua minggu terakhir tidak ada lagi yangt bisa ditangkap," ujar Tiharom, yang saat ini beralih menjadi buruh bangunan.
Kondisi lebih memperhatikan pembudidaya kerang hijau yang gagal panen. Kerang hijau yang dipanen umumnya mati. Sebagian besar nelayan yang tidak bisa melaut dan pebudidaya ikan kini beralih profesi menjadi tukang ojek, buruh bangunan, dan pemulung untuk menyambung hidup.
Pembuangan limbah ke laut, ujar Tiharom, semakin tidak terkendali. Limbah cair dan sampah tidak hanya dibuang ke laut sewaktu musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau. Pencemaran ini diduga kuat tidak hanya bersumber dari rumah tangga, tapi juga dari pabrik dan industri.
Hal senada dikemukakan Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Bahari Muara Angke Syachruna Fauzi. Limbah pekat yang terus meluas menyebabkan ikan-ikan mabuk dan mengapung di permukaan. Air yang tercemar limbah berbau dan menimbulkan gatal jika terkena kulit.
Sebagian nelayan yang kesulitan mencari ikan terpaksa mengambil ikanyang mengapung. Namun, mereka khawatir ikan hasil tangkapannya itu terkontaminasi zat berbahaya. Ikan yang tercemar akan susah dijual," ujar Syahruna.
Pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Soen'an Hadi Purnomo, mengemukakan, pembuangan limbah yang tidak terkendali mengganggu pencarian nelayan, khususnya nelayan kecil dengan daya jelajah serba terbatas. "Pembuangan limbah seharusnya tidak dilakukan pada wilayah tangkapan nelayan kecil dalam radius kurang dari 4 mil," ujarnya. (LKT)
Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 18
Persoalan itu dikeluhkan sejumlah nelayan di Kali Baru di Kecamatan Cilincing, Muara Angke, serta Marunda di Jakarta Utara, Jumat (18/5).
Tiharom, nelayan rajungan di Marunda, menuturkan, pencemaran limbah di Teluk jakarta selama ini berlangsung lama dan semakin parah dalam sebulan terakhir. Bahkan, dua pekan belakangan ini, nelayan tradisional tidak bisa lagi mencari ikan karena air yang pekat dan tercemar.
Air yang tercemar limbah itu berbau menyengat, keruh, dan pekat dengan berbagai warna, seperti hitam, putih, hijau, hingga coklat kemerahan.
Pencemaran yang parah itu mencapai radius 1 mil dari pinggir pantai, atau mendekati Pulau Seribu. Para nelayan jaring sero dengan bobot mati perahu kurang dari 2 ton hampir tak bisa lagi memperoleh udang, rajungan dan ikan. Kalaupun ikan ditemukan, kondisinya sudah mati mengapung dan membusuk.
"Biasanya sehari masih bisa dapat hasil tangkapan Rp 50.000. Tetapi, dua minggu terakhir tidak ada lagi yangt bisa ditangkap," ujar Tiharom, yang saat ini beralih menjadi buruh bangunan.
Kondisi lebih memperhatikan pembudidaya kerang hijau yang gagal panen. Kerang hijau yang dipanen umumnya mati. Sebagian besar nelayan yang tidak bisa melaut dan pebudidaya ikan kini beralih profesi menjadi tukang ojek, buruh bangunan, dan pemulung untuk menyambung hidup.
Pembuangan limbah ke laut, ujar Tiharom, semakin tidak terkendali. Limbah cair dan sampah tidak hanya dibuang ke laut sewaktu musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau. Pencemaran ini diduga kuat tidak hanya bersumber dari rumah tangga, tapi juga dari pabrik dan industri.
Hal senada dikemukakan Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Bahari Muara Angke Syachruna Fauzi. Limbah pekat yang terus meluas menyebabkan ikan-ikan mabuk dan mengapung di permukaan. Air yang tercemar limbah berbau dan menimbulkan gatal jika terkena kulit.
Sebagian nelayan yang kesulitan mencari ikan terpaksa mengambil ikanyang mengapung. Namun, mereka khawatir ikan hasil tangkapannya itu terkontaminasi zat berbahaya. Ikan yang tercemar akan susah dijual," ujar Syahruna.
Pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Soen'an Hadi Purnomo, mengemukakan, pembuangan limbah yang tidak terkendali mengganggu pencarian nelayan, khususnya nelayan kecil dengan daya jelajah serba terbatas. "Pembuangan limbah seharusnya tidak dilakukan pada wilayah tangkapan nelayan kecil dalam radius kurang dari 4 mil," ujarnya. (LKT)
Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 18
Tambang Manggarai: Kisah Penyesatan Terus-menerus
Penerbitan izin usaha pertambangan bagi PT MT keluar tanpa sosialisasi kepada masyarakat dan tanpa surat rekomendasi dua bupati dari dua wilayah yang bakal terkena dampak.
Akibatnya, muncul dugaan penerbitan izin usaha pertambangan tersebut terkait erat dengan dana politik. Berita ini adalah "berita biasa".
Kegiatan pertambangan tanpa sosialisasi bukan lagi berita. Ditulis pun tak akan mengubah keadaan. Kejadian akan berulang terus dan terus di berbagai tempat di pelosok Tanh Air. Tak ada lagi pembelaan bagi rakyat.
Investor mengklaim telah melakukan sosialisasi. Contoh nyata, kisah dari Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.
Di wilayah itu, sosialisasi yang dimaksud investor adalah datang ke lokasi, memasang patok. Jika warga bertanya, mereka menegaskan, "Kami telah mengantongi izin dari pusat." Jika masyarakat tetap menolak, investor akan mengajak "berdialog". Mengutip Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, investor mengatakan, "Hak kalian hanya sampai 25 sentimeter di bawah permukaan tanah. Selebihnya milik negara."
Persoalan pertambangan sesak dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara.
Pemberitaannya di berbagai media massa telah demikian telanjang, tetapi selalu membentur "tembok kekebalan" pemerintah berbagai level dan sektor. Pemerintah tak peduli lagi.
Bupati Manggarai Chris Rotok menyatakan, " Saya tak akan mengizinkan usaha pertambangan karena dikhawatirkan mengganggu usaha pertanian dan perkebunan masyarakat serta pariwisata."
Faktanya, Simon Suban Turkan SVD dari lembaga swadaya masyarakat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice Peace Integrity of Creation) Keuskupan Ruteng menuliskan, "Ada 22 izin per Desember 2011 (di bidang pertambangan). Izin mencakup luas 27.000 hektar (luas Manggarai 191.562 hektar)". Sekitar 14 persen Kabupaten Manggarai dijadikan wilayah pertambangan. Artinya, kerusakan yang diakibatkan jelas jauh lebih luas.
Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, mineral dan minyak bumi adalah sumber daya terhabiskan. Takkan ada masa depan bagi warga di daerah tambang. Penghidupan mereka lenyap sejak tanah mereka dikeruk. Itulah buah penyesatan demi penyesatan.
Akibatnya, muncul dugaan penerbitan izin usaha pertambangan tersebut terkait erat dengan dana politik. Berita ini adalah "berita biasa".
Kegiatan pertambangan tanpa sosialisasi bukan lagi berita. Ditulis pun tak akan mengubah keadaan. Kejadian akan berulang terus dan terus di berbagai tempat di pelosok Tanh Air. Tak ada lagi pembelaan bagi rakyat.
Investor mengklaim telah melakukan sosialisasi. Contoh nyata, kisah dari Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.
Di wilayah itu, sosialisasi yang dimaksud investor adalah datang ke lokasi, memasang patok. Jika warga bertanya, mereka menegaskan, "Kami telah mengantongi izin dari pusat." Jika masyarakat tetap menolak, investor akan mengajak "berdialog". Mengutip Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, investor mengatakan, "Hak kalian hanya sampai 25 sentimeter di bawah permukaan tanah. Selebihnya milik negara."
Persoalan pertambangan sesak dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara.
Pemberitaannya di berbagai media massa telah demikian telanjang, tetapi selalu membentur "tembok kekebalan" pemerintah berbagai level dan sektor. Pemerintah tak peduli lagi.
Bupati Manggarai Chris Rotok menyatakan, " Saya tak akan mengizinkan usaha pertambangan karena dikhawatirkan mengganggu usaha pertanian dan perkebunan masyarakat serta pariwisata."
Faktanya, Simon Suban Turkan SVD dari lembaga swadaya masyarakat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice Peace Integrity of Creation) Keuskupan Ruteng menuliskan, "Ada 22 izin per Desember 2011 (di bidang pertambangan). Izin mencakup luas 27.000 hektar (luas Manggarai 191.562 hektar)". Sekitar 14 persen Kabupaten Manggarai dijadikan wilayah pertambangan. Artinya, kerusakan yang diakibatkan jelas jauh lebih luas.
Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan, mineral dan minyak bumi adalah sumber daya terhabiskan. Takkan ada masa depan bagi warga di daerah tambang. Penghidupan mereka lenyap sejak tanah mereka dikeruk. Itulah buah penyesatan demi penyesatan.
Sabtu, 19 Mei 2012
Mobil Ramah Lingkungan: Mau Sukses, Jadikanlah Simbol Status
Tak cukup sekedar bisa membuat mobil listrik atau mobil ramah lingkungan. Diterima publik adalah persoalan lain lagi. Tak mudah.
Mobil, seberapapun harganya, jika bisa mendongkrak pamor, selalu ada pembelinya di negeri yang katanya harus mencabut subsidi BBM untuk menutup APBN-nya ini. Di kota-kota besar seperti Jakarta, mobil adalah simbol status. Sekalipun rumah masih mengontrak, tak sedikit yang memilikinya.
Betapa tak mudah mengiming-imingi publik dengan mobil baru, yang fungsi dan gengsinya masih diragukan. Apalgi kalau jelas nilai jualnya kemudian. Tentu masih banyak lagi faktor penentu lain yang mendorong seseorang menginvestasikan dana yang jauh dari penghasilannya.
Melihat keadaan ini, seyogyanya program menuju kendaraan ramah lingkungan menjadi program jangka panjang.
Peran perguruan tinggi
Ingat mobil sel surya Widya Wahana, karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang tahun 1989 menaklukan Jakarta-Surabaya dalam seminggu? Kendaraan listrik bertenaga matahari itu tercatat dalam sejarah emas. Namun, sekian tahun lewat, tak ada yang mau mewujudkannya dalam produk komersial.
Belakangan, Rektor Universitas Indonesia bertekad membuat mobil listrik untuk kebutuhan kampusnya. Mobil yang akan diterjunkan pada lomba Shell Eco-Marathon Asia di Sepang, Malaysia, Juli mendatang, itu masih sebatas untuk kebutuhan lingkungan kampus saja.
Bagaimanapun, untuk bisa produksi masal perlu perusahaan otomotif yang tidak hanya bermodal besar, tetapi juga berpengalaman membuat dan memasarkan produk otomotif. Perguruan tinggi sebagai perintis membuktikan bangsa ini bisa membuat itu. Namun, jelas mereka tak bisa dituntut menjadi produsen.
Pada kenyataannya, industri lokal tak berkembang. Belasan perusahaan sejak 1993 tak berhasil. Sangat sulit bersaing dengan perusahaan raksasa otomotif Jepang ataupun Jerman yang lama bercokol di negeri ini.
Ingat nama mobil Timor dan Bimantara? Mereka ini di antaranya yang pernah ingin membuat mobil nasional. Yang masih berjuang bertahan adalah Komodo. Belakangan yang paling fenomenal adalah mobil Esemka buatan anak SMK yang masih harus tertatih-tatih tanpa dukungan berarti dari pemerintah.
Padahal, seperti mobil Komodo dan Esemka, seharusnya bertumbuh dan diandalkan sebagai perusahaan lokal mandiri. Bila perlu, disorong riset mengembangkan mobil ramah lingkungan. Namun, sepertinya pemerintah menginginkan citranya sendiri yang muncul.
Lebih bermanfaat jika pemerintah menyiapkan infrastruktur yang bisa mendukung kendaraan ramah lingkungan, termasuk menawarkan kemudahan dan insentif bagi perusahaan yang mengembangkannya.
Rintisan
Tahun 2005, Jakarta sempat dibanjiri motor listrik dari China. Namun berbeda dengan yang terjadi di "Negeri Tirai Bambu", di isni perkembangan motor listrik satu demi satu importirnya rontok. Tak berkelanjutan.
Kondisi transportasi di negeri ini, antara lain, karena pasar terlanjur dikuasai kendaraan bensin. Sulit menawarkan motor listrik. Bukan hanya soal kecepatan dan beragamnya penawaran motor bensin, cara pembayaran dan layanan purna jualnya pun menarik.
Adapun pemilik motor listrik harus mengupayakan perbaikannya sendiri jika ada gangguan pada motor. Biasanya sangat sulit mencari suku cadangnya.
Ditambah kelangkaan ketersediaan infrastruktur penyetruman dan lamanya mengisi ulang, kian mengkhawatirkan calon pemilik mobil listrik Tingginya kemacetan membuat konsumsi pemakaian listrik boros.
Upaya memperoleh mobil listrik paling murah saat ini bisa dengan konversi mobil pembakaran-dalam dengan mengganti penggerak listrik. Menyediakan motor listrik dan aki penyimpan listrik saja bisa habis ratusan juta rupiah. Sementara dengan Rp 150 juta sudah banyak mobil bensin baru bisa dipilih.
Mobil listrik sekarang banyak versinya. Selain mengandalkan penyetruman ulang dari listrik PLN, ada yang menggunakan sel surya atau keduanya (hibrida).
Yang menarik sebetulnya motor listrik bertenaga fuel cell, yaitu pembangkit listrik kimiawi yang bekerja menggabungkan gas hidrogen (disimpan di tangki) dengan oksigen dari udara. Reaksi kimia berupa listrik menggerakan motor listrik dan uap air yang sangat ramah lingkungan.
Namun, membawa gas hidrogen pada wahana bergerak masih beresiko karena mudah meledak. Kini, raksasa otomotif dunia berlomba menemukan bahan yang tepat, seperti menggunakan metanol yang sebelumnya digunakan dipisahkan dulu hidrogennya dengan membran khusus. Infrastruktur pengisian metanol sama seperti BBM.
Cara lain, membuat hibrida, yaitu mobil listrik dengan cadangan mesin pembakaran-dalam. Mobil ramah lingkungan lain adalah menggunakan bahan bakar biodiesel dan gas alam cair.
Solusi
Melihat banyak kendala yang kompleks, tak ada jalan lain selain sosialisasi terus-menerus secara kreatif dan cerdas. Tujuannya, mengenalkan kepada publik supaya lebih dekat, terutama untuk mengangkat nilai gengsinya.
Bila perlu, acara car free day mengecualikan mobil atau motor listrik untuk tetap boleh berlalu lintas. Buat pula parade mobil listrik dengan berbagai mobil barunya, sekaligus mengenalkan produk baru ataupun hasil modifikasi anak negeri.
Ciptakan suasan kompetitif, seperti Shell Eco-Marathon, untuk mobil layak jalan. Jangan terlalu ambisius, bagaimanapun pasar yang menentukan. Mulailah dari lingkungan terbatas, seperti kampus, tempat wisata, dan kendaraan umum.
Namun, yang harus dipikirkan juga, jangan seperti fenomena telepon seluler. Banyak perusahaan sekedar tempel nama pada produk impor tanpa memikirkan kandungan lokal. Bila ini dibiarkan, hampir bisa dipastikan akan banjir kendaraan dari China. Bagaimanapun, mengimpor dari China lebih murah daripada bersusah payah mengembangkan sendiri.
Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 14
Mobil, seberapapun harganya, jika bisa mendongkrak pamor, selalu ada pembelinya di negeri yang katanya harus mencabut subsidi BBM untuk menutup APBN-nya ini. Di kota-kota besar seperti Jakarta, mobil adalah simbol status. Sekalipun rumah masih mengontrak, tak sedikit yang memilikinya.
Betapa tak mudah mengiming-imingi publik dengan mobil baru, yang fungsi dan gengsinya masih diragukan. Apalgi kalau jelas nilai jualnya kemudian. Tentu masih banyak lagi faktor penentu lain yang mendorong seseorang menginvestasikan dana yang jauh dari penghasilannya.
Melihat keadaan ini, seyogyanya program menuju kendaraan ramah lingkungan menjadi program jangka panjang.
Peran perguruan tinggi
Ingat mobil sel surya Widya Wahana, karya mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, yang tahun 1989 menaklukan Jakarta-Surabaya dalam seminggu? Kendaraan listrik bertenaga matahari itu tercatat dalam sejarah emas. Namun, sekian tahun lewat, tak ada yang mau mewujudkannya dalam produk komersial.
Belakangan, Rektor Universitas Indonesia bertekad membuat mobil listrik untuk kebutuhan kampusnya. Mobil yang akan diterjunkan pada lomba Shell Eco-Marathon Asia di Sepang, Malaysia, Juli mendatang, itu masih sebatas untuk kebutuhan lingkungan kampus saja.
Bagaimanapun, untuk bisa produksi masal perlu perusahaan otomotif yang tidak hanya bermodal besar, tetapi juga berpengalaman membuat dan memasarkan produk otomotif. Perguruan tinggi sebagai perintis membuktikan bangsa ini bisa membuat itu. Namun, jelas mereka tak bisa dituntut menjadi produsen.
Pada kenyataannya, industri lokal tak berkembang. Belasan perusahaan sejak 1993 tak berhasil. Sangat sulit bersaing dengan perusahaan raksasa otomotif Jepang ataupun Jerman yang lama bercokol di negeri ini.
Ingat nama mobil Timor dan Bimantara? Mereka ini di antaranya yang pernah ingin membuat mobil nasional. Yang masih berjuang bertahan adalah Komodo. Belakangan yang paling fenomenal adalah mobil Esemka buatan anak SMK yang masih harus tertatih-tatih tanpa dukungan berarti dari pemerintah.
Padahal, seperti mobil Komodo dan Esemka, seharusnya bertumbuh dan diandalkan sebagai perusahaan lokal mandiri. Bila perlu, disorong riset mengembangkan mobil ramah lingkungan. Namun, sepertinya pemerintah menginginkan citranya sendiri yang muncul.
Lebih bermanfaat jika pemerintah menyiapkan infrastruktur yang bisa mendukung kendaraan ramah lingkungan, termasuk menawarkan kemudahan dan insentif bagi perusahaan yang mengembangkannya.
Rintisan
Tahun 2005, Jakarta sempat dibanjiri motor listrik dari China. Namun berbeda dengan yang terjadi di "Negeri Tirai Bambu", di isni perkembangan motor listrik satu demi satu importirnya rontok. Tak berkelanjutan.
Kondisi transportasi di negeri ini, antara lain, karena pasar terlanjur dikuasai kendaraan bensin. Sulit menawarkan motor listrik. Bukan hanya soal kecepatan dan beragamnya penawaran motor bensin, cara pembayaran dan layanan purna jualnya pun menarik.
Adapun pemilik motor listrik harus mengupayakan perbaikannya sendiri jika ada gangguan pada motor. Biasanya sangat sulit mencari suku cadangnya.
Ditambah kelangkaan ketersediaan infrastruktur penyetruman dan lamanya mengisi ulang, kian mengkhawatirkan calon pemilik mobil listrik Tingginya kemacetan membuat konsumsi pemakaian listrik boros.
Upaya memperoleh mobil listrik paling murah saat ini bisa dengan konversi mobil pembakaran-dalam dengan mengganti penggerak listrik. Menyediakan motor listrik dan aki penyimpan listrik saja bisa habis ratusan juta rupiah. Sementara dengan Rp 150 juta sudah banyak mobil bensin baru bisa dipilih.
Mobil listrik sekarang banyak versinya. Selain mengandalkan penyetruman ulang dari listrik PLN, ada yang menggunakan sel surya atau keduanya (hibrida).
Yang menarik sebetulnya motor listrik bertenaga fuel cell, yaitu pembangkit listrik kimiawi yang bekerja menggabungkan gas hidrogen (disimpan di tangki) dengan oksigen dari udara. Reaksi kimia berupa listrik menggerakan motor listrik dan uap air yang sangat ramah lingkungan.
Namun, membawa gas hidrogen pada wahana bergerak masih beresiko karena mudah meledak. Kini, raksasa otomotif dunia berlomba menemukan bahan yang tepat, seperti menggunakan metanol yang sebelumnya digunakan dipisahkan dulu hidrogennya dengan membran khusus. Infrastruktur pengisian metanol sama seperti BBM.
Cara lain, membuat hibrida, yaitu mobil listrik dengan cadangan mesin pembakaran-dalam. Mobil ramah lingkungan lain adalah menggunakan bahan bakar biodiesel dan gas alam cair.
Solusi
Melihat banyak kendala yang kompleks, tak ada jalan lain selain sosialisasi terus-menerus secara kreatif dan cerdas. Tujuannya, mengenalkan kepada publik supaya lebih dekat, terutama untuk mengangkat nilai gengsinya.
Bila perlu, acara car free day mengecualikan mobil atau motor listrik untuk tetap boleh berlalu lintas. Buat pula parade mobil listrik dengan berbagai mobil barunya, sekaligus mengenalkan produk baru ataupun hasil modifikasi anak negeri.
Ciptakan suasan kompetitif, seperti Shell Eco-Marathon, untuk mobil layak jalan. Jangan terlalu ambisius, bagaimanapun pasar yang menentukan. Mulailah dari lingkungan terbatas, seperti kampus, tempat wisata, dan kendaraan umum.
Namun, yang harus dipikirkan juga, jangan seperti fenomena telepon seluler. Banyak perusahaan sekedar tempel nama pada produk impor tanpa memikirkan kandungan lokal. Bila ini dibiarkan, hampir bisa dipastikan akan banjir kendaraan dari China. Bagaimanapun, mengimpor dari China lebih murah daripada bersusah payah mengembangkan sendiri.
Sumber: Kompas 19 Mei 2012, hal 14
Label:
05 Udara-iklim-cuaca,
09 Energi dan Ekologi Pembangunan,
11 Tindakan Kita,
fuel cell,
mobil listrik,
mobil ramah lingkungan,
motor listrik,
sepeda motor listrik
Kasus Rawa Tripa: Pekan Depan, Pemeriksaan Saksi Perusahaan
Jakarta, Kompas --- Penyidik gabungan Kementerian Lingkungan Hidup, Polri dan Kejaksaan Agung, Senin (21/5) dijadwalkan mulai memeriksa saksi-saksi atas pembakaran rawa gambut Rawa Tripa di KAwasan Ekosistem Leuser Aceh. Saksi-saksi itu dari perusahaan PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur 2. Ini tindak lanjut penyidikan di lapangan beberapa waktu lalu.
"Sekarang pemanggilan pertama untuk saksi-saksi dari kedua perusahaan. Saksi lain nantinya juga dari instansi pemerintah, seperti Pemprov Aceh dan Badan Pertanahan Nasional," ucap Sudariyono, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat di Jakarta.
Saat masih di Nagan Raya, tim telah memeriksa saksi-saksi warga setempat. Pemberkasan untuk memperkuat temuan penyidik.
Di lapangan, tim penyidik menemukan areal Rawa Tripa dibersihkan dan dibakar untuk perkebunan sawit. Pembakaran lahan ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 108. Ancaman penjara minimal 3-10 tahun, denda minimal hingga Rp 10 miliar.
Selain sisi pidana, penyidik juga menggunakan hukum perdata sebab ada kerusakan lingkungan akibat pembakaran yang merugikan negara. "Jumlah ganti rugi masih kami taksir. Proses perdata ini juga berjalan bersama-sama ranah pidana," ucapnya.
Kasus Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan beberapa LSM di Aceh menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar pada areal Kawasan Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak ma\jelis hakim.
Kejanggalan pemberian izin ini lalu tercium Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian Lingkungan Hidup, Polri dan Kejaksaan menangani kasus ini.
Dihubungi Jumat sore, Direktur PT Surya Panen Subur, Eddy Sutjahyo Busirim telah menerima surat pemanggilan sebagai saksi. "Agendanya hari Selsa. Kami pasti hadir dan membawa bukti serta data," ucapnya.
Ia mengatakan, perusahaannya tak membakar, tetapi jadi korban pembakaran oleh tetangga kebun. Kamis sore, pegawainya di Rawa Tripa bersiaga 24 jam karena terjadi kebakaran di areal PT Kalista Alam.
" Kami langsung lapor ke polisi dan orang lingkungan hidup setempat untuk melihat sendiri kebakaran yang terjadi," ucapnya.
Tingkatkan koordinasi
Secara terpisah, Tjokorda Nirarta Samadhi, Koordinator Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Satgas REDD+, sepakat kasus Rawa Tripa menjadi jalan kaji ulang areal-areal pada peta moratorium (Peta Indikatif Penundaan Izin Baru) yang telah dikeluarkan.
Ia merekomendasikan agar sejumlah instansi pemerintah berkoordinasi dan mengawasi. (ICH)
"Sekarang pemanggilan pertama untuk saksi-saksi dari kedua perusahaan. Saksi lain nantinya juga dari instansi pemerintah, seperti Pemprov Aceh dan Badan Pertanahan Nasional," ucap Sudariyono, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat di Jakarta.
Saat masih di Nagan Raya, tim telah memeriksa saksi-saksi warga setempat. Pemberkasan untuk memperkuat temuan penyidik.
Di lapangan, tim penyidik menemukan areal Rawa Tripa dibersihkan dan dibakar untuk perkebunan sawit. Pembakaran lahan ini melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 108. Ancaman penjara minimal 3-10 tahun, denda minimal hingga Rp 10 miliar.
Selain sisi pidana, penyidik juga menggunakan hukum perdata sebab ada kerusakan lingkungan akibat pembakaran yang merugikan negara. "Jumlah ganti rugi masih kami taksir. Proses perdata ini juga berjalan bersama-sama ranah pidana," ucapnya.
Kasus Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan beberapa LSM di Aceh menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar pada areal Kawasan Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak ma\jelis hakim.
Kejanggalan pemberian izin ini lalu tercium Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian Lingkungan Hidup, Polri dan Kejaksaan menangani kasus ini.
Dihubungi Jumat sore, Direktur PT Surya Panen Subur, Eddy Sutjahyo Busirim telah menerima surat pemanggilan sebagai saksi. "Agendanya hari Selsa. Kami pasti hadir dan membawa bukti serta data," ucapnya.
Ia mengatakan, perusahaannya tak membakar, tetapi jadi korban pembakaran oleh tetangga kebun. Kamis sore, pegawainya di Rawa Tripa bersiaga 24 jam karena terjadi kebakaran di areal PT Kalista Alam.
" Kami langsung lapor ke polisi dan orang lingkungan hidup setempat untuk melihat sendiri kebakaran yang terjadi," ucapnya.
Tingkatkan koordinasi
Secara terpisah, Tjokorda Nirarta Samadhi, Koordinator Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Satgas REDD+, sepakat kasus Rawa Tripa menjadi jalan kaji ulang areal-areal pada peta moratorium (Peta Indikatif Penundaan Izin Baru) yang telah dikeluarkan.
Ia merekomendasikan agar sejumlah instansi pemerintah berkoordinasi dan mengawasi. (ICH)
Selasa, 15 Mei 2012
Pembangunan Berkelanjutan: Yang Kecil, yang Memelopori
![]() |
he Sinking Tuvalu |
Wacana pembangunan berkelanjutan bersentuhan langsung dengan isu ekonomi ramah lingkungan (green economy) dan isu pembangunan rendah emisi karbon dioksida - penyebab pemanasan global.
Perdebatan panjang antara kubu negara berkembang dan negara maju terus berlangsung. Siapa yang harus membayar biaya dari dampak pemanasan global -yang memicu perubahan iklim- yang bermuara pada berbagai bencana tersebut? Semula muncul wacana, negara maju yang harus membayar karena telah menikmati hasil pembangunan yang menyebabkan pemanasan global.
Namun, berawal dari Konferensi Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan, tahun lalu, para pihak pda Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCC) kini harus bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global. Berapapun besarnya.
Semua negara harus "menyingsingkan lengan baju". Pernyataan serupa semakin sering muncul. Pada pertemuan Global Summit Green Growth di Seoul, Korea Selatan, pekan lalu, Bank Dunia menegaskan hal itu.
Tak hanya mengukur dari apa yang diproduksi, tetapi juga mesti menghitung apa yang telah digunakan dan polusi yang muncul pada proses produksi.
"Negara berkembang jangan mengulangi pola pertumbuhan abad lalu. Harus tumbuh lebih cerdas, lebih ramah lingkungan, dan lebih cepat," kata Direktur Jenderal Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-bangsa (UNIDO) Kandeh Yumkella.
"Yang mengatakan bahwa negara miskin tidak dapat tumbuh tanpa merusak lingkungan dan membakar sumber energi yang murah dan kotor adalah konsep yang keliru," tambahnya.
Menurut dia, "membangun dengan cara yang ramah lingkungan itu adalah sesuatu yang mahal" adalah mitos belaka.
Masayoshi Sen, pendiri dan CEO perusahaan telepon seluler Jepang, Softbank Corp, mendesak diakhirinya pembangunan tenaga nuklir yang tak bisa dikontrol- menyusul tragedi nuklir Fukushima tahun lalu. Ia mendukung tenaga matahari dan angin untuk negara-negara Timur Tengah.
Negara kecil menjawab
Apa yang diutarakan Yumkella langsung dijawab negara-negara kecil di Pasifik. Hal itu disampaikan sejumlah pemimpin negara-negara kepulauan kecil pada pertemuan terpisah yang diprakarsai Program Pembangunan PBB (UNDP) dan pemerintah Barbados, pekan lalu.
Kepulauan Cook dan Tuwalu di Pasifik bermaksud membangun pemangkit dari energi terbarukan. Negara-negara itu akan menggunakan bahan bakar dari kelapa dan panel matahari. Tokelau, yang terdiri atas pulau kecil, berjanji mandiri energi tahun ini. St Vincent dan Grenada di Kepulauan Caribia berkomitmen 60 persen pembangkitnya tahun 2020 adalah energi terbarukan.
Saat Tuvalu dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 0,2 persen berkomitmen, Indonesia yang pertumbuhannya 6,1 persen sibuk "menghemat BBM". Katanya, Indonesia kaya sumber energi terbarukan. (AFP/ISW)
Sumber: Kompas, 15 Mei 2012, hal 13
Langganan:
Postingan (Atom)