Kazan, Kompas --- Pemerintah Indonesia mendorong produsen dan eksportir berkompetisi menghadapi pasar global. Ini penting karena pemerintah bersikukuh tak mengeluarkan labelisasi pada produk dagang ramah lingkungan atau environmental goods atau EG.
Demikian ungkapan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI Imam Pambagyo di sela-sela Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) Meeting of Ministers Responsible for Trade (MRT) 2012 di Kazan, Rusia, Senin (4/6) seperti dilaporkan wartawan Kompas Agnes Swetta Pandia. Indonesia diwakili Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti.
Terdapat dua kelompok labelisasi pada produk dagang ramah lingkungan: mendukung sepenuh hati, dan kelompok yang berat untuk menerapkan. Indonesia salah satu negara yang belum mengeluarkan kebijakan EG.
Kelompok yang siap produk ramah lingkungan berasal dari negara yang memiliki koordinasi internal relatif baik. Mereka diperkirakan mampu meraup keuntungan ekonomi dengan disahkannya daftar EG pada produk dagang. Sementara negara yang kurang siap khawatir perlabelan berdampak negatuf bagi ekonomi dalam negeri.
Hingga akhir Mei 2012, 13 dari 21 anggota APEC telah menyerahkan daftar produk ramah lingkungan untuk dikompilasi oleh Friends of the Chairs EG APEC menjadi sekitar 300 produk. Umumnya negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Selandia Baru, Hongkong dan Rusia. Empat negara ASEAN melakukannya, yakni Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei. Sementara Indonesia, bersama Vietnam dan Filipina, belum menyetor produk dagang.
Indonesia ingin memnberi kesempatan kepada produsen dan eksportir untuk menyiapkan diri lebih baik. "Sambil menyiapkan pengusaha, pemerintah akan terus berkonsolidasi internal mematangkan daftar EG dari Indonesia. Sebab, sangat diharapkan EG benar-benar memperhatikan aspek lingkungan, bukan melulu menonjolkan aspek dagang,: ujar Imam.
Menurut dia, Indonesia punya banyak produk yang ramah lingkungan, baik dalam bentuk sederhana maupun tradisional, hingga diolah dengan teknologi tinggi. Persoalannya, pada forum APEC seperti ini, belum terdapat kejelasan menyangkut kriteria produk dagang yang bisa masuk dalam daftar EG. (ETA)
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 13
Contoh-contoh Kasus untuk Konsep-konsep dalam Ilmu Lingkungan Hidup
Minggu, 10 Juni 2012
Selasa, 05 Juni 2012
Rio+20: Indonesia Mau ke Mana?
Oleh Tejo Wahyu Jatmiko
PAda 13-22 Juni 2012, para kepala negara dan ribuan pemangku kepentingan akan berkumpul untuk meneguhkan kembali niat merawat Bumi. Tema "the Future We Want" akan menjadi perjuanagan kita ke depan.Disebut Rio+20 karena diselenmggarakan 20 tahun setelah KTT Bumi, di tempat yang sama, KTT kali ini berlangsung saat masyarakat dunia bergantian mengalami krisis baik ekonomi, pangan, perubahan iklim, maupun lingkungan. Meski demikian, justru inilah saat melihat semua tindakan yang sudah dilakukan sampai hari ini.
KTT Bumi mengusung konsep pembangunan berkelanjutan yang menghubungkan banyak hal. Bukan hanya antara pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan, tetapi juga antara negara maju dan berkembang, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tercakup pula poengetahuan ilmiah, kebijakan, desa dan kota, serta lintas generasi.
Sayang, di lapangan kondisinya jauh berbeda. Setelah 20 tahun, kesenjangan antara negara kaya dan miskin justru semakin lebar. Seperlima orang terkaya dunia mendapatkan 70 persen total pendapatan, sementara penduduk golongan paling miskin hanya mendapat 2 persen penghasilan dunia.
Dalam bidang sosial, pertumbuhan ekonomi dunia ternyata tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data MDG menunjukkan dari 84 negara yang melaporkan kondisinya, 45 negara sudah berjalan baik dan 39 negara tak mencapai target pengurangan kemiskinan.
Lingkungan memburuk
Kondisi lingkungan juga semakin memburuk yang ditandai dengan meluasnya penggundulan huta rata-rata 5,6 juta hektar per tahun (FAO, 2010) dan penggurunan seluas 4,8 juta hektar tahiun 2012.
Punahnya keanekaan hayati juga mencapai lebih dari 10 kali lipat di atas ambang aman yang disepakati, baik di darat maupun di laut. Lebih dari 30 persen spesieske yang hidup di laut terancam punah akibat perubahan iklim, pengasaman laut, polusi dan eksploitasi berlebihan.
Mengubah pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, seperti yang dijanjikan negara-negara maju pada 1992 juga tidak berjalan. Bahkan, negara miskin mengikuti pola mereka.
Semua itu menunjukkan bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan prinsip Rio tidak dijalankan. Hampir tidak ada komitmen yang terpenuhi, termasuk pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas.
Bagaimana dengan Indonesia? Seperti juga negara lain, Indonesia mengalami kegagalan dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan. Meski termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi 5-7 persen, kemajuan di bidang sosial dan kelestarian lingkungan masih kurang.
Sejauh ini pembangunan Indonesia 2003-2010 sudah berhasil meningkatkan jumlah kelas menengah dari 50 juta orang menjadi 113 juta, tetapi juga masih meninggalkan sekitar 60 juta penduduk miskin. Penduduk miskin ini umumnya terkonsentrasi di enam provinsi: Papua, Papua Barat, maluku, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Aceh. Sebanyak 214 kabupaten dari total 346 kabupaten (62 persen) di 32 provinsi memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dari pada rata-rata nasional.
Pembangunan Indonesia
Pembangunan di Indonesia juga terus mengorbankan lingkungan, seperti laju perusakan hutan yang mencapai angka 2 juta hektar per tahun pada kurun 1990-2000 dan terus melaju dengan angka 685.000 hektar per tahun pada 2000-2010 (FAO, 2010). Kerusakan daerah aliran sungai hampir di seluruh Indonesia juga menjadi penanda kesalahan pembangunan.
Penghancuran pun terjadi di laut akibat polusi industri di darat dan over eksploitasi di laut. Pencurian, penangkapan yang tidak dilaporkan dan diatur juga menjadi penyebab hilangnya sumber daya perikanan dan laut di Indonesia bagian barat.
Belajar dari kesalahan masa lalu merupakan tindakan yang bijak. Banyak tindakan nyata yang harus dilakukan untuk mengoreksi kesalahan ini.
Pertama, tidak merendahkan komitmen pembangunan berkelanjutan dengan globalisasi yang dicirikan dengan liberalisasi ekonomi, peningkatan konsentrasi penguasaan oleh korporasi raksasa, dan merendahkan kedaulatan negara.
Kedua, memastikan sarana untuk implementasi, yakni pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas tersedia dan bisa diakses oleh para pihak.
Ketiga, integrasi tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup merupakan hal yang tidak bisa ditawar pada semua kebijakan.
Keempat, harus ada penguatan ulang pada prinsip yang paling mendasar, yakni common but differentiated responsibilities. Artinya, negara maju harus mengubah pola produksi dan konsumsi serta melakukan dukungan pendanaan dan transfer teknologi dan negara berkembang menjaga lingkungannya.
Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Perkumpulan Indonesia Berseru, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera.
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 6
Label:
keanekaragaman hayati,
kemiskinan,
kesenjangan ekonomi,
KTT Bumi,
MDG,
pembangunan berkelanjutan,
penggundulan hutan,
penggurunan,
perubahan iklim,
pola konsumsi,
polusi,
Rio+20,
The Future We Want
Senin, 04 Juni 2012
40 Tahun Gerakan Lingkungan
Oleh Emil Salim
Ketika pembangunan berlangsung tahun 1960-an, dunia dikejutkan oleh udara buram berkabut di Eropa, penyakit Minamata di Jepang, dan sunyinya burung-burung berkicauan di musim semi Amerika Serikat. Maka, dunia pun cemas akan kerusakan lingkungan. Karena itu, diselenggarakanlah Konferensi PP tentang Lingkungan Manusia, Juni 1972, di Stockholm, Swedia.Konferensi ini menyepakati: Pertama, "Deklarasi Stockholm" yang memuat prinsip-prinsip mengelola lingkungan hidup untuk masa depan, khususnya melalui hukum lingkungan internasional. Kedua, "Rencana Aksi" mencakup perencanaan pemukimam, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran, pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup. Ketiga, segi kelembagaan, membentuk Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program/UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Sepanjang 1972-1982 lingkungan hidup diperlakukan sebagai sektor tersendiri tanpa menyentuh pembangunan ekonomi. Karena itu, dalam Konferensi UNEP 1982 disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development/WCED) dipimpin Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland. Sepanjang 1984-1987 ia mengkaji kaitan lingkungan dan pembangunan.
Komisi Brundtland mengusulkan perubahan pola dari "pembangunan konvesional" melalui jalur ekonomi saja ke "pembangunan berkelanjutan" melalui tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dilaksanakan secara serentak.
KTT Bumi
Sepuluh tahun kemudian diselenggarakan Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Conference on Environment and Development, WCED) di Rio de Janeiro, Brazil, 3-14 Juni 1992. Konferensi dihadiri dihadiri para kepala negara-negara sedunia membahas pola ini.
Konferensi Tingkat Tinggi -lebih dikenal sebagai KTT Bumi- ini menghasilkan dokumen Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, memperteguh komitmen Deklarasi Stockholm 1972. Tekanannya adalah keterkaitan lingkungan dengan pembangunan.
Dokumen kedua memuat "Agenda 21" tentang program pelaksanaan dengan perincian pembiayaannya. Program ini melibatkan "kelompok utama", seperti para legislator anggota parlemen, pemerintahan lokal, pengusaha, ilmuwan, perempuan, pemuda, dan lembaga swadaya. Secara khusus disorot tentang keuangan, teknologi dan kelembagaan.
Dokukmen ketiga adalah "Prinsip-prinsip Kehutanan" memuat pola "Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan". Dokumen keempat adalah "Konvensi Perubahan Iklim" dan dokumen kelima adalah Konvensi Keanekaan Hayati.
KTT Bumi 1992 diliputi semangat kerjasama global tinggi yang didukung iklim politik global dengan meredanya ketegangan :perang dingin" antara Blok Komunis dan agai akibat pengebo sebelawan Terorisme Blok Kapitalis (1992-2000). Dinding pemisah Berlin Timur dan Berlin Barat runtuh. Ada harapan "laba perdamaian dunia" yang terhimpun kini bisa dimanfaatkan untuk membiayai Agenda 21 Pembangunan Berkelanjutan.
Tahun 2000 Sekjen PBB Kofi Annan mengangkat isu kemiskinan dalam Target Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals, 2000), melengkapi pembangunan berkelanjutan.
Tiba-tiba meletuslah "Perang Melawan Teorisme" sebagai akibat pengeboman New York, 11 September 2001. Hancur suasana optimistis dan hilang pula "laba perdamaian". Tahun-tahun menjelang akhir 2000 juga ditandai krisis ekonomi global. Indonesia adalah salah satu korban. Pemerintah Orde Baru pun digantikan Orde Reformasi sejak 1998. Kekuatan ekonomi Jepang surut, sedangkan kekuatan ekonomi Republik Rakyat China (RRC) bangkit. Peta kekuatan ekonomi pun bergeser dari Barat ke Timur.
Dunia Berubah
Dalam suasana perubahan politik dan ekonomi global seperti ini berlangsunglah World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002. Kesepakatan Konferensi penting adalah Deklarasi Johannesburg yang memuat visi masa depan umat manusia dengan penajabaran lebih luas dari segi-segi pembangunan berkelanjutan Rio 1992.
Juga disepakati saran keuangan hasil pertemuan Menteri-Menteri Keuangan di Monterey (2001) dan saran perdagangan hasil Pertemuan Menteri-Menteri Perdagangan di Doha (2001). Untuk pertama kalinya menteri non-lingkungan aktif dalam konferensi lingkungan.
Kesepakatan kedua adalah Johannesburg Plan of Implementation yang menambah Agenda 21 dengan isu-isu HIV/AIDS. dimensi sosial pembangunan berkelanjutan, kesetaraan jender, air, energi, kesehatan, pertanian, dan keanekaan hayati.
Dunia kini sedang menyiapkan UN Conference on Sustainable Development Rio+20, di Rio de Janeiro, Brazil, Juni 2012. Dokumen utamanya adalah "The Future We Want", mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan, ditopang keuangan, sain-teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia. Dokumen kedua menjabarkan kelembagaan pelaksanaannya dalam lingkungan PBB.
Tampak trend perkembangan dari sekedar isu pencemaran tahun 1972, Konperensi Rio+20 kini berkembang lebih luas. Sekjen PBB merencanakan kerangka Sustainable Development Goals (SDG) memuat upaya MDG, perubahan iklim, keberlanjutan, keanekaan hayati, sekuritas pangan, energi, dan lain tantangan global penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia masa datang.
Untuk inilah Sekjen PBB meminta Presiden Republik Indonesia, Presiden Liberia, dan Perdana Menteri Inggeris menjadi Co-Chairs memimpin High Level Panel on SDG, memberi masukan tentang "peta jalan" dari Rio+20 (2012) ke MDG-Summit (2013) dan masa depan melalui pola pembangunan berkelanjutan dengan ukuran keberhasilan "produk domestik bruto dimensi ekonomi plus sosial plus lingkungan".
"Peta jalan" dunia ini juga penting bagi Indonesia menanggapi keberlanjutannya pada 2045. Maka sangatlah urgen melengkapi pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial dan lingkungan menuju Indonesia 2045.
Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012, hal 6
Label:
15 Kerjasama Internasional,
Agenda 21,
Brundtland Commission,
Doha,
Earth Summit,
Emil Salim,
KTT Bumi,
Monterey,
Rio+20,
Stockholm Declaration,
Sustainable Development Goals,
The Future We Want,
UNEP,
WCED
Sabtu, 02 Juni 2012
Nuklir Fukushima: Radiasi Ditemukan pada Ikan Tuna

Sejumlah kecil Cesium-137 dan Cesium-134 terdeteksi pada ikan tuna yang ditangkap dekat San Diego pada Agustus 2011. Ikan ditangkap hanya empat bulan setelah zat radioaktif itu terlepas ke perairan lepas pantai timur Jepang.
Ikan itu tiba di pantai Barat AS berbulan-bulan lebih cepat dibandingkan dengan angin dan arus laut yang membawa puing-puing dari PLTN itu ke perairan lepas pantai Alaska dan kawasan Pasifik di Barat laut AS.
"Terus terang kami terkejut," kata Nicholas Fisher, salah seorang peneliti yang melaporkan temuan itu di jurnal Laporan Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan AS, yang diunggah ke internet, Senin (28/5).
Tingkat radioaktivitas cesium itu 10 kali lebih tinggi dibanding dengan jumlah yang diukur pada ikan tuna di lepas pantai California tahun-tahun sebelumnya. Namun, hal itu masih jauh di bawah batas aman untuk dimakan seperti yang ditetapkan oleh pemerintah AS dan Jepang.
Tanpa membuat penilaian yang definitif mengenai amannya ikan itu, penulis utama kajian itu, Daniel Madigan dari Stasiun Laut Hopkins Universitas Stanford, mengatakan jumlah bahan radioaktif yang terdeteksi jauh di bawah batas aman Jepang.
Sebelumnya, plankton dan ikan-ikan lebih kecil ditemukan dengan tingkat radiasi yang naik di perairan Jepang setelah gempa Maret 2011 menyebabkan tsunami dan merusak reaktor PLTN Fukushima Dai-ichi.
Namun, para ilmuwan tidak memperkirakan radiasi nuklir itu akan tetap berada di ikan besar yang merenangi samudra. Metabolisme tubuh ikan semacam itu bisa membuang bahan-bahan radioaktif.

Dari ukuran ikan yang diperiksa -sekitar 6 kg- para peneliti yakin itu adalah ikan muda yang meninggalkan perairan Jepang sekitar sebulan setelah tragedi Fukushima.
Untuk mengetahui bagaimana radioaktivitas mempengaruhi populasi tuna, musim panas ini para peneliti akan mengulangi kajian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Tuna yang akan diteliti telah berada dalam perairan radioaktif untuk masa yang lebih lama dari sebulan. (AP/REUTERS/DI)
Sumber : Kompas, 30 Mei 2012, hal 10.
Label:
Fukushima,
Pacific bluefin tuna,
PLTN,
radiokatif
Jumat, 01 Juni 2012
Hari Antitambang: Antara Subsidi BBM dan Kemuliaan Tambang
Sekitar pukul 19:30 WIB, Selasa, 29 Mei 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Penghematan Negara.
Intinya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2010, subsidi BBM menelan Rp 140 triliun. Akibatnya, APBN tak cukup untuk membiayai pembangunan.
Presiden melanjutkan, dua langkah harus ditempuh. Pertama: harus mengurangi subsidi BBM, antara lain dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Kedua, meningkatkan pendapatan APBN dengan dua cara, yaitu meningkatkan pendapatan dari pajak dan pendapatan dari sektor non pajak.
Presiden juga meminta semua badan usaha milik negara, perusahaan nasional, dan multinasional membayar pajak.
Apa itu non pajak?
Yang dimaksud, meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan, minyak, dan gas bumi. Tak terbantahkan, Indonesia merupakan gudang alam, mulai dari minyak, gas bumi, hingga berbagai mineral dan logam mulia, bahkan juga tanah yang belum dieksploitasi.
Semua upaya itu, menurut Susilo Bambang Yudoyono, bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan sosial, berbagi beban, dan membantu rakyat miskin. Benarkah?
Lalu, kemana fakta-fakta ini? Berbagai peristiwa penangkapan masyarakat antitambang oleh polisi tanpa alasan jelas; kolong-kolong galian timah di Bangka yang tak direhabilitasi jadi pemandangan "menakjubkan" dari udara; kerusakan lingkungan amsif dengan lubang hingga kedalaman 300 meter di berbagai lokasi di Kalimantan; hilangnya semua lapisan tanah berhumus yang subur (400.000 hektar di Pulau Bangka Belitung); hilangnya sumber air yang memusnahkan pertanian di Mollo, NTT; dan seterusnya.
Intinya, masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, penyakit berjangkit mulai dari malaria hingga infeksi saluran pernafasan akut akibat debu-debu mineral. Masyarakat lokal jatuh miskin, penyakitan, dan tak memiliki masa depan karena nyaris mustahil merehabilitasi lingkungan bekas tambang. Presiden telah "memuliakan" pertambangan rupanya.
"Jelas bahwa dampak kerusakan akibat tambang ditanggung publik," ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan. Dimanakah janji menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca dibandingkan tanpa upaya apapun (business as usual), dimanakah pula konsep pembangunan berkelanjutan yang bakal dibahas pada konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, Rio+20? Silahkan presiden menjawabnya.
Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14
Intinya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2010, subsidi BBM menelan Rp 140 triliun. Akibatnya, APBN tak cukup untuk membiayai pembangunan.
Presiden melanjutkan, dua langkah harus ditempuh. Pertama: harus mengurangi subsidi BBM, antara lain dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Kedua, meningkatkan pendapatan APBN dengan dua cara, yaitu meningkatkan pendapatan dari pajak dan pendapatan dari sektor non pajak.
Presiden juga meminta semua badan usaha milik negara, perusahaan nasional, dan multinasional membayar pajak.
Apa itu non pajak?
Yang dimaksud, meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan, minyak, dan gas bumi. Tak terbantahkan, Indonesia merupakan gudang alam, mulai dari minyak, gas bumi, hingga berbagai mineral dan logam mulia, bahkan juga tanah yang belum dieksploitasi.
Semua upaya itu, menurut Susilo Bambang Yudoyono, bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan sosial, berbagi beban, dan membantu rakyat miskin. Benarkah?

Intinya, masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, penyakit berjangkit mulai dari malaria hingga infeksi saluran pernafasan akut akibat debu-debu mineral. Masyarakat lokal jatuh miskin, penyakitan, dan tak memiliki masa depan karena nyaris mustahil merehabilitasi lingkungan bekas tambang. Presiden telah "memuliakan" pertambangan rupanya.
"Jelas bahwa dampak kerusakan akibat tambang ditanggung publik," ujar Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan. Dimanakah janji menurunkan 26 persen emisi gas rumah kaca dibandingkan tanpa upaya apapun (business as usual), dimanakah pula konsep pembangunan berkelanjutan yang bakal dibahas pada konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, Rio+20? Silahkan presiden menjawabnya.
Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14
Ekosistem Pesisir: Pemanasan Global Rusak Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem produktif di pesisir, selain bakau dan lamun. Indonesia memiliki 85.000 km persegi ekosistem terumbu karang dan representasi dari 14 persen terumbu karang dunia. Namun di Indonesia hanya kurang dari 7 persen yang kondisinya sangat bagus.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas terumbu karang, seperti pencemaran, pengeboman, pemakaian sianida, dan perubahan iklim, termasuk pemanasan global.
Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan air laut memberikan dampak pada ekosistem terumbu karang, seperti terjadinya pemutihan karang. Hal ini merupakan proses dimana karang kehilangan simbionnya yang berupa zooxanthela (alga endosimbion), terutama dari ordo Symbiodinium yang memberikan warna pada permukaan karang. Alga simbion ini berperan penting dalam ekosistem terumbu karang. Siumbion menyediakan hampir semua kebutuhan energi karang yang berasal dari fotosintesis berupa karbon. Pemutihan karang diyakini sebagai mekanisme normal karang sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dan mempertahankan eksistensinya. Alga simbion lepas dari inang karang secara temporer dan terjadi perubahan komposisi alga simbion. Dalam konsep coral holobionts, yakni inang karang dan mikroorganisme yang berasosiasi dengannya, dikenal istilah adaptive bleaching hypothesis. Dalam hipotesisi ini, ada hubungan dinamika antara karang dan Symbiodinium pada kondisi lingkungan berbeda untuk memilih alga simbion menguntungkan.
Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 +/- 0,2 derajat celcius dan diprediksi akan meningkat 1,5 - 4,5 derajat celcius pada abad ini, merupakan ancaman bagi terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut.
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain pemutihan karang Oculina patagonia, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa.
Suhu air laut
Peningkatan suhu air laut merupakan faktor utama dalam peningkatan ancaman penyakit karang. PAda pemutihan karang yang menyerang Pocillopora damicornis yang terinfeksi bakteri Vibrio coralliilytycus, karang akan mengalami pemutihan ketika suhu air laut 24-26 derajat celcius, dan Symbiodinium akan mengalami lisis ketika suhu air laut 27-29 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius infeksi tidak terjadi.
Beberapa tahap dalam proses infeksi karang, seperti adhesi patogen pada permukaan karang, ketahanan hidup patogen dalam jaringan karang dan produksi toksin merupakan proses yang bergantung pada kenaikan suhu.
Pada kasus infeksi yang menyebabkan pemutihan pada Oculina patagonia yang disebabkan oleh bakteri Vibrio Shiloi, kenaikan suhu yang mendekati 30 derajat celcius menyebabkan patogen ini memasuki status viable but nonculturable. Hal ini merupakan keadaan dimana patogen kehilangan kemampuan untuk menghasilkan koloni pada media agar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan.
Implikasinya, kita tidak akan mampu mengisolasi patogen yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menguji dalam memnentukan agen penyebab penyakit. Karena itu, pemanasan global merupakan ancaman nyata yang menyebabkan penyakit karang.
Mikroorganisme
Ancaman lain berkaitan dengan penyakit karang adalah fakta dimana penyakit karang tidak lagi didominasi bakteri/jamur tunggal, seperti aspergilosis oleh jamur Aspergillus sydowii atau pelak putih oleh Aurantimonas coralicida, tetapi disebabkan oleh konsorsium mikroorganisme, seperti pada kasus black band.
Dalam penelitian terkini tentang agen penyebab penyakit white band di Perairan Tanjung Gelam, Kepulauan Karimunjawa, Hakim dan kawan-kawan (2012) membuktikan, penyakit white band yang menyerang karang Acropora humilis dan Acropora tortousa disebabkan oleh konsorsium bakteri yang terdiri dari genus Vibrio, Pseudoalteromonas, dan Bacillus.
Konsorsium patogen ini menyebabkan tipe penyakit white band yang berbeda pada A humilis dan A tortousa. Tipe I ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian bawah karang yang diuji pada A humilis dan tipe II yang ditandai dengan infeksi yang dimulai pada bagian tengah percabangan ke arah ujung koloni pada A tortousa.
Fakta lain berkaitan dengan penyakit karang adalah perbedaan pemutihan karang adalah perbedaan pemutihan karang. Pemutihan yang hanya dipicu oleh kenaikan suhu ditandai dengan pemutihan massal. Adapun pada penyakit karang, pemutihan bersifat lokal.
Sangat mungkin pada karang yang sama dan hidup berdampingan, yang satu terkena infeksi, tetapi karang di sebelahnya bebas dari serangan patogen penyebab penyakit.
Coral probiotic hypothesis dipercaya sebagai jawabn atas fenomena ini. Hampir mirip dengan adaptive bleaching hypothesis, hipotesis coral probiotic memungkinkan inang koral mengubah komposisi mikroorganisme yang berasosiasi dengannya. Dengan demikian dapat beradaptasi dengan ancaman penyakit karang dan kenaikan suhu air laut.
Pengetahuan berkaitan dengan penyakit karang yang dikaitkan dengan pemanasan global dan agen-agen penyebabnya sangat diperlukan dalam manajemen penyakit karang. Hal itu terutama berkaitan dengan penyebaran penyakit karang.
Oleh: Ocky Karna Radjasa, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas terumbu karang, seperti pencemaran, pengeboman, pemakaian sianida, dan perubahan iklim, termasuk pemanasan global.
Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan air laut memberikan dampak pada ekosistem terumbu karang, seperti terjadinya pemutihan karang. Hal ini merupakan proses dimana karang kehilangan simbionnya yang berupa zooxanthela (alga endosimbion), terutama dari ordo Symbiodinium yang memberikan warna pada permukaan karang. Alga simbion ini berperan penting dalam ekosistem terumbu karang. Siumbion menyediakan hampir semua kebutuhan energi karang yang berasal dari fotosintesis berupa karbon. Pemutihan karang diyakini sebagai mekanisme normal karang sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dan mempertahankan eksistensinya. Alga simbion lepas dari inang karang secara temporer dan terjadi perubahan komposisi alga simbion. Dalam konsep coral holobionts, yakni inang karang dan mikroorganisme yang berasosiasi dengannya, dikenal istilah adaptive bleaching hypothesis. Dalam hipotesisi ini, ada hubungan dinamika antara karang dan Symbiodinium pada kondisi lingkungan berbeda untuk memilih alga simbion menguntungkan.
Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 +/- 0,2 derajat celcius dan diprediksi akan meningkat 1,5 - 4,5 derajat celcius pada abad ini, merupakan ancaman bagi terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut.
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain pemutihan karang Oculina patagonia, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa.
Suhu air laut
Peningkatan suhu air laut merupakan faktor utama dalam peningkatan ancaman penyakit karang. PAda pemutihan karang yang menyerang Pocillopora damicornis yang terinfeksi bakteri Vibrio coralliilytycus, karang akan mengalami pemutihan ketika suhu air laut 24-26 derajat celcius, dan Symbiodinium akan mengalami lisis ketika suhu air laut 27-29 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celcius infeksi tidak terjadi.
Beberapa tahap dalam proses infeksi karang, seperti adhesi patogen pada permukaan karang, ketahanan hidup patogen dalam jaringan karang dan produksi toksin merupakan proses yang bergantung pada kenaikan suhu.
Pada kasus infeksi yang menyebabkan pemutihan pada Oculina patagonia yang disebabkan oleh bakteri Vibrio Shiloi, kenaikan suhu yang mendekati 30 derajat celcius menyebabkan patogen ini memasuki status viable but nonculturable. Hal ini merupakan keadaan dimana patogen kehilangan kemampuan untuk menghasilkan koloni pada media agar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan.
Implikasinya, kita tidak akan mampu mengisolasi patogen yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menguji dalam memnentukan agen penyebab penyakit. Karena itu, pemanasan global merupakan ancaman nyata yang menyebabkan penyakit karang.
Mikroorganisme
Ancaman lain berkaitan dengan penyakit karang adalah fakta dimana penyakit karang tidak lagi didominasi bakteri/jamur tunggal, seperti aspergilosis oleh jamur Aspergillus sydowii atau pelak putih oleh Aurantimonas coralicida, tetapi disebabkan oleh konsorsium mikroorganisme, seperti pada kasus black band.
Dalam penelitian terkini tentang agen penyebab penyakit white band di Perairan Tanjung Gelam, Kepulauan Karimunjawa, Hakim dan kawan-kawan (2012) membuktikan, penyakit white band yang menyerang karang Acropora humilis dan Acropora tortousa disebabkan oleh konsorsium bakteri yang terdiri dari genus Vibrio, Pseudoalteromonas, dan Bacillus.
Konsorsium patogen ini menyebabkan tipe penyakit white band yang berbeda pada A humilis dan A tortousa. Tipe I ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian bawah karang yang diuji pada A humilis dan tipe II yang ditandai dengan infeksi yang dimulai pada bagian tengah percabangan ke arah ujung koloni pada A tortousa.
Fakta lain berkaitan dengan penyakit karang adalah perbedaan pemutihan karang adalah perbedaan pemutihan karang. Pemutihan yang hanya dipicu oleh kenaikan suhu ditandai dengan pemutihan massal. Adapun pada penyakit karang, pemutihan bersifat lokal.
Sangat mungkin pada karang yang sama dan hidup berdampingan, yang satu terkena infeksi, tetapi karang di sebelahnya bebas dari serangan patogen penyebab penyakit.
Coral probiotic hypothesis dipercaya sebagai jawabn atas fenomena ini. Hampir mirip dengan adaptive bleaching hypothesis, hipotesis coral probiotic memungkinkan inang koral mengubah komposisi mikroorganisme yang berasosiasi dengannya. Dengan demikian dapat beradaptasi dengan ancaman penyakit karang dan kenaikan suhu air laut.
Pengetahuan berkaitan dengan penyakit karang yang dikaitkan dengan pemanasan global dan agen-agen penyebabnya sangat diperlukan dalam manajemen penyakit karang. Hal itu terutama berkaitan dengan penyebaran penyakit karang.
Oleh: Ocky Karna Radjasa, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro
Sumber: Kompas, 30 Mei 2012, hal 14
Gambut Rawa Tripa: Berita Acara Dibuat Langsung di Lokasi

"Proses hukum penerapan dan tindak lanjut penandatanganan nota kesepahaman Kementerian Lingkungan Hidup, kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk menegakkan proses hukum lingkungan," kata penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KLH, Bayu Hardjanto di Nagan Raya kemarin.
Penanganan hukum kebakaran lahan gambut di Rawa Tripa terindikasi kuat disengaja pada 19 Maret 2012. Pelaku terancam dijerat Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Shaifuddin Akbar, PPNS KLH lainnya, mengatakan bahwa ancaman penjara minimal 3-10 tahun. Denda minimal Rp 1 miliar hingga Rp 10 miliar. "Tidak ditujukan untuk menentukan siapa pelaku secara fisik pembakar lahan. Namun, pimpinan korporasi perusahaan yang harus bertanggung jawab," kata Shaifuddin.
Tanggung jawab kebakaran lahan gambut ini ditujukan kepada PT Surya Panen Subur (SPS). Pimpinan Proyek PT SPS 2, Zakaria Lubis yang bertanggung jawab terhadap lokasi kebakaran itu menyatakan, kebakaran lahan tak disengaja.
Menurut Shaifuddin, pertama kali petugas PT SPS hanya menunjukkan peta area 500 hektar lahan terbakar yang sudah ditanami sawit. Namun, sesuai dengan data citra satelit menunjukkan lebih dari 1.000 hektar terbakar.
"Seketika itu juga lalu ditunjukkan peta area 600 hektar yang terbakar dan belum ditanami sawit," katanya.
Dugaaan Awal
Dugaan pembakaran secara sengaja lahan gambut sekitar 1.100 hektar di Rawa Tripa menguat setelah melibatkan penelitian dua ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). "Ada kejanggalan, seperti pemisahan dengan batas lahan milik pihak lain, diduga untuk menghindari penjalaran kebakaran," kata Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan sekaligus Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB.
Ia ditemani Basuki Wasis dari Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan IPB. Keduanya mengumpulkan berbagai sampel dari lokasi kebakaran sehari sebelumnya.
"Kebakaran lahan gambut untuk pengalihan fungsi sebagai kebun sawit, baik disengaja maupun tidak, tetap melanggar hukum," kata Bambang. (NAW)
Sumber : Kompas, 5 Mei 2012, hal 13
Langganan:
Postingan (Atom)