Tanaman invasif bisa dari luar dan dalam ekosistem setempat. "Tanaman itu menjadi invasif karena ekosistem terganggu atau rusak," kata pakar fisiologi tanaman Institut Pertanian Bogor, Soekisman Tjitrosudirdjo, di Jakarta, Kamis (30/8).
Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), misalnya, saat ini terjadi perambahan biologis oleh matangan (Meremia sp). Tumbuhan asli ini jadi invasif karena penebangan pepohonan besar membuka kanopi yang sebelumnya menghalangi sinar matahari.
Dari sekitar 365.000 hektar luas TNBBS, sekitar 10.000 hektar tertutup mantangan. Pertumbuhan tanaman ini bisa mencapai 1-2 sentimeter per hari.
Tanaman merambat ini membentuk jalinan suluran dahan yang menghambat lalu lalang harimau, badak, dan gajah. "Mantangan ini menutupi kawaqsan TNBBS selatan. Ada kecenderungan satwa-satwa berpindah ke utara, yang merupakan perkebunan sawit dan permukiman," kata Adi Susmianto, Kepala Pusat Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan.
Dampaknya, hal itu berpotensi menimbulkan konflik manusia dan satwa serta perburuan satwa. Meski tanaman invasif ini terdeteksi sejak 1980-an, hingga kini Kementerian Kehutan tak punya prosedur/mekanisme pengendalian.
Di TN Baluran, Jawa Timur, Acacia nilotica menguasai 7.500 hektar lahan. Keberadaannya memicu tumbuhnya semak dan perdu, menggantikan padang sabana, sumber pangan banteng.
Sejauh ini, ancaman tanaman invasif diatasi sporadis. "Usaha mengatasinya seperti trial and error," ujar Adi.

Indonesia menyiapkan dana pendamping 659.268 dollar AS. Lokasi percontohannya di TN Baluran dan TNBBS. (ICH)
Sumber: Kompas 31 Agustus 2012, hal 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar