Senin, 30 April 2012

Cannibal shrimp: The invasion has begun

Do not be alarmed, but the cannibal shrimp invasion has begun.
The influx of the jumbo-sized shrimp (which look more like a small lobster than the little pink crustaceans you see at the grocery store) has increased 10 times in the last year, according to a report from the U.S. Geological Survey—from 32 in 2010 to 331 in 2011. The shrimp-eating shrimp have been spotted in waters from North Carolina to Texas.


Tony Reisinger of the Texas Sea Grant Extension Service, told CNN that the tiger prawn "are cannibalistic as are other shrimp, but it's larger so it can consume the others."
The black-and-white-striped sea creatures have shown up in the Gulf of Mexico and Southeast coast and, unlike their bottom-feeding cousins, are big enough—up to 13 inches long and up to a quarter-pound—to gobble up smaller shrimp.
Researchers worry that the Asian cannibal species is preying on the smaller, native sea life, competing for resources and carrying disease.
The increase "is the first indication that we may be undergoing a true invasion of Asian tiger shrimp," said marine ecologist James A. Morris, who works for the National Oceanic and Atmospheric Administration's Center for Coastal Fisheries and Habitat Research.
Scientists don't know exactly how the Asian variety got to the Gulf Coast—the possibilities include breeding in the local waters or being carried to the area by currents.
No matter how they got to the U.S., they're not welcome. Said Morris, "The Asian tiger shrimp represents yet another potential marine invader capable of altering fragile marine ecosystems."
The  numbers are probably much higher than the reported amount. Pam Fuller, the USGS biologist who runs the agency's Nonindigenous Aquatic Species database, said, "The more fisherman and other locals become accustomed to seeing them, the less likely they are to report them."
The USGS will next look into the tiger shrimp DNA for clues to its origins, and asks anyone who spots a tiger shrimp to report its location to the USGS.

Jumat, 27 April 2012

Cadangan Air Raksasa di Perut Afrika

TEMPO.CO, London-- Afrika selama ini dikenal sebagai benua kering, panas, dan kaya gurun. Tapi siapa menyangka jauh di bawah tanah Afrika terdapat cadangan air bersih yang berlimpah.

Cadangan air tanah berukuran besar itu terdapat di beberapa bagian paling kering di Afrika. Sumber air itu diprediksi bisa menjadi penyangga kehidupan warga Benua Hitam terhadap dampak perubahan iklim pada tahun-tahun mendatang.

Para peneliti dari British Geological Survey and University College London, Inggris adalah tim pertama yang berhasil memetakan akuifer (air tanah) di seluruh Afrika beserta jumlahnya. Mereka memperkirakan cadangan air tanah di Afrika sebesar 0,66 juta kilometer kubik, atau 100 kali lipat jumlah yang ditemukan pada permukaannya.

"Cadangan air tanah terbesar ditemukan dalam sedimen akuifer di negara-negara Afrika bagian utara, seperti Libya, Aljazair, Mesir dan Sudan," kata para peneliti dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Environmental Research Letters.

Bahkan beberapa cadangan air tanah terbesar berada di bawah Sahara, gurun terkering di Afrika, pada kedalaman 100-250 meter di bawah permukaan tanah. Cara mengakses air tanah menjadi persoalan utama yang harus dihadapi penduduk Afrika.

“Air pada lapisan lebih dalam dari 50 meter tidak dapat diakses pompa tangan dengan mudah,” kata pemimpin penelitian, Alan MacDonald, dari British Geological Survey. "Pada kedalaman lebih dari 100 meter biaya pengeboran meningkat signifikan karena kebutuhan untuk peralatan yang lebih canggih."

Menurut para peneliti, pengambilan air tanah pada skala kecil menggunakan pompa tangan akan jauh lebih baik daripada proyek pengeboran skala besar yang dapat dengan cepat menguras cadangan air dan membawa dampak tak terduga lainnya.

Metode pengambilan air tanah menjadi hal krusial. Sebab, air tanah menjadi bagian penting dari strategi menghadapi permintaan air yang diprediksi akan meningkat tajam seiring pertumbuhan populasi di benua tersebut.

Beberapa perkiraan menyebutkan penduduk Afrika yang tidak memiliki akses ke air bersih berjumlah lebih dari 300 juta. Hanya 5 persen lahan pertanian yang memperoleh pengairan.

"Ini tidak sesederhana mengebor lubang besar dan melihat sawah bermunculan di mana-mana," kata Stephen Foster, seorang pakar air tanah dan penasihat organisasi Global Water Partnership yang berbasis di London.

Foster mencatat proyek penyedotan air tanah sering gagal karena persoalan biaya dan logistik. Proyek irigasi air tanah di Nigeria utara, misalnya, gagal karena meningkatnya biaya bahan bakar. "Ini merupakan faktor utama dalam biaya pengeboran, selain kesulitan distribusi," ujar dia.

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/04/25/061399510/Cadangan-Air-Raksasa-di-Perut-Afrika


ADES - Kemasan Baru Ramah Lingkungan

Peluncuran AdeS baru dari The Coca-Cola Company ini menampilkan AdeS sebagai air minum dalam kemasan yang Murni, Aman dan Terpercaya, yang dijamin oleh The Coca-Cola Company.

Botol Ades 600 ml memakai bahan plastik yang lebih sedikit sehingga mudah diremukkan. Dengan volume botol kosong yang lebih kecil setelah diremukkan, maka akan menghemat ruang di tempat sampah. Dan selanjutnya juga menghasilkan jejak emisi karbon yang lebih kecil saat sampah tersebut diangkut.
Dengan tampilan baru ini, Ades memiliki misi mulia untuk menjadikan Indonesia lebih baik melalui tindakan sederhana untuk lingkungan.

Langkah kecil memberikan perubahan :

1.Pilih
Air mineral berkualitas dari The Coca-Cola Company

2.Minum
Nikmati teguk demi teguk kesegarannya

3.Remukkan
Botol yang diremukkan memakai lebih sedikit ruang

Ades ingin menyasar para generasi muda yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan, terbuka terhadap peluang baru, dan siap mewujudkannya dalam tindakan nyata. Harapannya, mereka juga lebih kritis dalam membeli produk yang akan dikonsumsi.

Kemasan yang tersedia :
PET : 350 ml, 600 ml, 1500 ml

Sumber: http://coca-colaamatil.co.id/products/index/40.46.107/ades

Minggu, 15 April 2012

Mobil pribadi mengkonsumsi dana BBM subsidi Rp 77,9 triliun

Konsumsi terbesar premium di Indonesia untuk sektor transportasi darat sepanjang tahun lalu dinikmati mobil pribadi dengan presentase 53%, sedangkan terkecil angkutan umum yang hanya 3%.
   Dirjen Pruhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Suroyo Alimoeso mengatakan data yang dilansir laporan Ditjen Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sepeda motor mengkonsumsi premium sebesar 40%, dan mobil barang sebesar 4%.
   Bila dirupiahkan, menurutnya, seperti dikutip www.dephub.go.id, angkutan umum hanya kebagian subsidi sekitar Rp 4,1 triliun, mobil barang Rp 5,9 triliun, sepeda motor Rp 58,8 triliun, dan mobil pribadi menguras APBN Rp 77,9 triliun.

Mobil pribadi    53%   Rp 77,9 T
Sepeda motor   40%   Rp 58,8 T
Mobil barang      4%   Rp   5,9 T
Angkutan umum  3%   Rp   4,1 T

Sumber: Bisnis Indonesia, 02/04/2012

BBIPK siap sertifikasi ekolabel kantong plastik

   Balai Besar Industri Pulp dan Kertas akan memperluas layanan sertifikasi ekolabel produk kantong plastik setelah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).
   "Setelah mendapatkan akreditasi dari KAN, kami bisa memberikan sertifikasi produk kantong plastik. Selain pulp dan kertas, kami akan perluas layanan untuk sertifikasi kantong plastik." kata Ngakan Timur Antara, Kepala Balai Besar Industri Pulp dan Kertas (BBIPK), pekan lalu.
   Dia menjelaskan peraturan memungkinkan BBIPK mendapatkan akreditasi sebagai lembaga ekolabel untuk produk kantong plastik, sepanjang memiliki tenaga ahli dan laboratorium pengujian.
   Menurutnya, setelah diakreditasi oleh KAN, BBIPK merupakan satu-satunya lembaga sertifikasi ekolabel yang dapat melakukan sertifikasi produk kemasan plastik, selain produk kertas dan pulp. (Bisnis/BAS)

Sumber: Bisnis Indonesia 26/03/2012

Serangga Tomcat bermanfaat bagi pertanian

Serangga Tomcat (paederus fuscipes) atau kumbang kecil merupakan serangga biasa bagian dari ekosistem yang selama ini sudah ada dan bermanfaat bagi sektor pertanian sebagai pembasmi hama lainnya seperti hama wereng cokelat.
   Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Haryono mengatakan serangga Tomcat itu sudah sering ditemukan di semak belukar dan sawah dan banyak ditemukan di perdesaan.
   "Ini [serangga paederus fuscipes] bagian dari ekosistem, tidak harus dibinasakan, tetapi harus dipelihara, karena bagian dari pertanian, bermanfaat, habitatnya di sawah," ujarnya kemarin.
   Menurutnya, serangga itu berfungsi sebagai pemakan serangga lainnya, termasuk wereng cokelat. "Jadi, serangga itu memakan hama. Persoalannya, mengapa dia keluar tiba-tiba menyerang manusia."
   Tomcat sebenarnya tidak menyerang, tuturnya. Serangga itu menyerang karena ada gangguan ekosistem, seperti ada angin kencang atau hujan. (Bisnis/SEP).

Sumber: Bisnis Indonesia, 22/03/2012

Rabu, 14 September 2011

Cemaran Ganggu Areal Tangkap

PTTEP Siap Bayar Kerugian asal Ada Bukti Ilmiah

Jakarta, Kompas --- Pencemaran laut di Selat Timor akibat tumpahan minyak sumur Montara milik perusahaan PTTEP Australia mencapai jarak sekitar 50 mil atau sekitar 92 kilometer sebelah selatan garis pantai Pulau Rote. Perairan itu merupakan areal tangkap nelayan Timor yang sering memberu ikan hingga dekat perairan Australia.

Demikian hasil penelitian Fakultas Kelautan dan Perikanan Pertanian Bogor (FKP-IPB, Februari 2011, atas permintaan PTTEP.

"Partikel pencemar masuk zone ekonomi eksklusif Indonesia yang merupakan fishing ground berbagai jenis ikan pelagis, seperti tongkol, cakalang, dan beberapa ikan karang," kata Indra Jaya, Guru Besar yang juga Dekan FPK-IPB, Selasa (13/9), yang dihubungi dari Jakarta.

Ganguna ini diprediksi dialami nelayan selama enam bulan sejak kebocoran minyak sumur Montara, 21 Agustus 2009. Minyak tumpah selama 72 hari dengan volume 30.000 barrel.

Tumpahan dibersihkan menggunakan cairan untuk membuat sebyawa hidrokarbon minyak melayang di kolom air. Selanjutnya partikel pencemar disapu arus lintas Indonesia yang dikenal berarus kuat dari arah timur-laut melewati celah Timor menuju Samudra Hindia.

Berdasarkan permodelan dan pengukuran masa air laut, Indra Jaya memaparkan, partikel pencemar tidak mencapai pantai Indonesia. Dengan demikian ekosistem terumbu karang dan mangrove tidak terganggu.

Siap membayar
Dalam penjelasan kepada media massa di Jakarta, Selasa, Eksekutif PTTEP Luechai Wongsirasawad menyatakan siap membayar kompensasi asal pemerintah Indonesia memiliki bukti ilmiah bahwa kerugian itu disebabkan tumpahan minyak Montara. Ia mengatakan, partikel pencemar hanya mencapai 94 kilometer dari garis pantai Timor,. Menurut dia, hanya nelayan berkapal besar yang bisa mencapai lokasi itu.

Hingga kini, PTTEP dan Pemerintah Indonesia Indonesia belum menandatangani nota kesepahaman yang isinya, antara lain, menentukan pihak ketiga untuk menengahi perbedaan bukti.

Terkait dengan angka 3 juta dolar AS yang disebut sebagai nilai kompensasi yang ditawarkan, Wongsirasawad menyatakan PTTEP tidak pernah menyebut angka nominal kompensasi. Dana itu merupakan dana tanggung jawab sosial PTTEP yang memiliki bisnis di Indonesia.

Sebelumnya, dalam kunjungan ke Kompas, mengungkapkan, selain melakukan penelitian bersama IPB untuk meneliti bersama IPB untuk meneliti arus kuat di kawasan Timor yang dikenal sebagai Indoneisa Throughflow (ITF), pihaknya juga melakukan penelitian bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Univesitas Indonesia (LPEM-UI) tentang sampak tumpahan minyak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Timor.

Penelitian arus kuat laut menunjukkan, dengan kecepatan 1,4 kilometer per jam di permukaan laut, tumpahan minyak amat cepat tersapu dari Laut Timor ke arah barat daya sehingga tidak mungkin mencemari Laut Sawu sebagaimana diklaim.

Hasil penelitian dengan LPEM-UI masih dalam tahap penyelesaian, tetapi data resmi dari Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur menunjukkan peningkatan signifikan volume tangkapan ikan tahun 2009 dibanding 2008.

Ketua Tim Advokasi Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor (TALT), Masnellyarti Hilman, mengatakan, "Kami sudah melakukan studi sendiri. Berdasarkan itu, klaim kami layangkan. Kami minta mereka untuk mengklarifikasi hasil studi itu."

Untuk klaim terhadap dampak pada ekosistem, kata Masnellyari, ada beberapa perbedaan hasil, antara lain, soal luasan terdampak. Dia menuturkan, penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air laut yang diperiksakan ke laboratorium. Hasilnya, ditemukan "sidik jari" alias jejak tumpahan minyak Montara, "Awalnya mereka membantah, tapi lalu setuju," ujar dia.

Soal mangrove, Indonesia mengklaim ada dampak, sementara PTTEP mengatakan tak ada dampak. "Mereka belum setuju bahwa tumpahan minyak mencemari pantai Indonesia," kata Masnellyarti, menambahkan.

Karena itu, dibuat nota kesepahaman yang memuat kesepakatan akan ada komite netral yang akan melihat data kedua pihak. "Jika tetap tidak ada kesepakatan, komite akan memberikan rekomendasi, apa yang harus dilakukan," katanya.
(ICH/ICW/EVY)

Sumber tulisan : Kompas, 14 September 2011, hal 13
Sumber peta: http://ibrahimlubis.wordpress.com/2008/06/25/minyak-di-celah-timor/